Memilih: Mengejawantahkan Rasa

| Juli 09, 2014 | Sunting
Satu atau dua?
Hari ini, masyarakat Indonesia akan menggunakan hak lima tahun sekalinya untuk menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Lebih dari 190 juta jiwa - setidaknya demikian data KPU menyebutkan, akan mengungukan jari sebagai tanda tuntasnya hak (sekaligus kewajiban) mereka. Antuasisme rakyat Indonesia bisa dibilang berada pada puncaknya hari ini. Santi, adik tertua saya, misalnya terdengar sudah tidak sabar lagi untuk menggunakan hak pilih pertamanya dalam percakapan telepon beberapa malam yang lalu. Begitupun juga dengan teman-teman dan sanak kerabat yang sempat diceritakannya, "Nyoblos, ben negarane soyojoss!" - "Memilih, supaya negara kita semakin bagus!"

Tidak hanya antusiasme warga. Pemilihan presiden kali ini bisa dibilang juga membuat Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Kolumnis Jakarta Globe, Jamil Maidan Flores misalnya, menyebut bahwa Indonesia telah menjadi sebuah laboratorium demokrasi dimana dunia bisa belajar dua hal sekaligus: bagaimana demokrasi berjalan dan juga bagaimana (teori) demokrasi tidak selalu berhasil.

Sementara itu, harian Inggris, the Guardian, mengungkapkan setidaknya ada 5 alasan kenapa pemilihan presiden Indonesia kali ini begitu penting bagi dunia. Pertama, karena Indonesia salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah pemilih pemula yang cukup tinggi: lebih dari 60 juta. Dan pemilihan ini akan menjadi kali pertama suksesi antara dua presiden yang sama-sama dipilih langsung - SBY menjadi presiden pertama hasil pemilu langsung dalam sepanjang sejarah kita. Kedua,kondisi perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang sangat kuat saat ini.Setelah porak poranda akibat krisis 1998, Indonesia telah bertransformasi menjadi kekuatan terbesar ASEAN, anggota G-20 dan salah satu negara dengan performa ekonomi terbaik di dunia.Bahkan diprediksi akan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia pada 2030.

Alasan ketiga adalah karena kondisi masyarakat Indonesia yang begitu dinamis dan menjadikan transisi demokrasi Indonesia dianggap sebagai salah satu yang tersukses. Kebebasan pers dijamin. Desentralisasi kekuasaan. Juga pemilu yang bebas dan tanpa tekanan. Meski korupsi masih menjadi momok, tetapi KPK sudah bekerja sedemikian keras untuk mengamputasi penyakit bersama tersebut. Puluhan petinggi negara dijebloskan ke penjara - termasuk bekas Ketua MK yang divonis penjara seumur hidup.

Lebih dari itu, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang sering dijadikan model keselarasan antara Islam dan sistem demokrasi. Jumlah Muslim Indonesia adalah separoh dari total Muslim di dunia dengan mayoritas pemeluk yang moderat. Kebebasan beragamapun dijamin oleh konstitusi - meski beberapa kasus represi minoritas masih sesekali terjadi.

Dan yang terakhir, diprediksi akan memainkan peran penting di kancah global, Indonesia tentu membutuhkan pemimpin yang dapat menyatukan keberagaman: tujuh belas ribu pulau, ratusan etnis dan bahasa. Dan di tengah sengkarut berbagai perpecahan di dunia, Indonesia seharusnya menjadi teladan manfaat persatuan dan kebersamaan.

Yah, sebegitu pentingnya pemilihan presiden kali ini - meski dinodai oleh kenyataan bahwa pilpres kali ini adalah pemilu yang paling penuh intrik dan permainan-permainan kotor.
***
Saya sendiri sudah menggunakan hak pilih pada akhir pekan kemarin. Pemilu di luar negeri memang dijadwalkan lebih awal dibandingkan jadwal pemilu di tanah air untuk menyesuaikan, utamanya, dengan hari kerja negara setempat.Saya sebenarnya hampir tidak memilih karena urusan perut yang tidak bisa dikompromi. Saya terkapar dan terlelap tidur setelah berkali-kali bolak balik kamar mandi. Tetapi syukurlah badan terasa lebih segar begitu terbangun. Sehingga akhirnyapun saya pergi memilih ke Sekolah Indonesia Kuala Lumpur - beberapa jam sebelum TPS ditutup.

Tidak seperti saat pemilu legislatif bulan April lalu yang lengang, antuasiasme warga untuk menggunakan hak pilihnya di pemilihan presiden kali ini lebih terasa. Sejak keluar dari stasiun kereta, orang-orang berbahasa Jawa dengan kelingking bertinta ungu begitu mudah saya temukan di sepanjang jalan. Begitupun ketika sampai di tempat pemungutan suara, kendaraan yang parkir di depan SIKL terlihat begitu penuh. Begitupun lalu lalang orang yang masuk ke dalam sekolah, padahal hari sudah cukup sore dan matahari begitu terik.
Suasana salah satu TPS di KL | Credit: @migrantcare
Pemilu kali ini bagi saya sangatlah menarik. Di satu sisi, saya belum memutuskan untuk memilih salah satu calon presiden hingga saya memasuki bilik pencoblosan. Tetapi, di sisi lain, saya sendiri juga terlibat (atau melibatkan diri?) dalam pusaran gelombang pertarungan antara kedua kandidat di sosial media - utamanya Facebook. Mendengar kata Facebook mungkin akan melontarkan benak kita pada sesuatu yang abstrak, maya dan rasanya terlalu blur untuk disatukan dengan terma pemilihan presiden. Tetapi, tahukah Anda bahwa pengguna FB di Indonesia meningkat pesat dalam dua kuartal terakhir? Yah, dua kuartal terakhir yang di antaranya melibatkan hiruk pikuk pemilihan legislatif April lalu, diikuti oleh pemilihan presiden hari.

Signifikannya jumlah pengguna Facebook di Indonesia - 69 juta, bahkan hingga menarik raksasa sosial media ini untuk meluncurkan Indonesia Election Tracker dua pekan lalu demi mengamati pergerakan pendukung kedua kandidat di dunia maya. Apa yang diperkirakan oleh Facebook hampir pasti benar. Paling tidak itu yang saya lihat: beranda depan akun saya penuh dengan berbagai materi kampanye dalam beberapa pekan terakhir. Awalnya saya sendiri tidak begitu memperhatikan status-status tersebut. Bahkan saya sudah bersih-bersih newsfeed dengan meng-unfollow akun-akun teman yang gencar berkampanye. Tetapi, kemudian saya menyadari bahwa semakin hari semakin banyak informasi berputar dari satu orang ke orang lainnya mengandalkan fasilitas share. 

Yah, begitu mudahnya.

Hanya saja, kemudahan tersebut pulalah yang membuat banyak informasi salah hilir mudik ke sana kemari. Isu yang tidak jelas kebenarannya bergulir dan bersalin rupa menjadi (seperti) fakta. Pernyataan-pernyataan para tokoh dipelintir dan diputarbalikkan demi memperdekat jarak pada kemenangan. Segala bentuk materi lama - foto, berita, artikel dan sebagainya, mendadak kembali laris manis bak kacang rebus. Dan pada level inilah saya secara tidak sengaja terjerumus. #aduh, bahasaku.

Semua bermula dari keinginan meluruskan informasi-informasi tanpa dasar yang berseliweran. Dari sanalah saya mulai mengomentari posting akun-akun partisan yang menyebarkan informasi invalid dengan memberikan data ataupun berita yang saya rasa lebih valid. Yang ada dalam pikiran saya, kalau si empunya status tersebut tidak suka dengan komentar saya, ya paling akan dihapus. Atau pahit-pahitnya saya di-block. Tetapi paling tidak sudah ada upaya untuk memotong kebohongan-kebohongan agar tidak terus berputar-putar.

Tetapi, berawal dari situlah akun-akun tidak dikenal mulai rajin menyambangi inbox saya - utamanya antara petang hingga malam. Dan berhubung posting yang saya komentari hanyalah postingan yang secara tidak sengaja lihat di newsfeed, akun-akun awam tersebutpun terbelah secara dukungan. Sebagian akun memborbardir saya dengan berbagai pertanyaan mengapa saya (seolah) mendukung calon X, sementara sisanya berpikir sebaliknya. Tidak ada yang saya jawab!

Tidak hanya akun-akun tidak dikenal. Akun-akun orang yang saya kenalpun sesekali mulai mengait-ngaitkan saya dengan salah satu calon yang (mereka persepsikan) saya dukung. Beberapa orang teman bahkan - ini yang paling saya takutkan, rasanya mulai sedikit menjauh karena mereka (berpikir) pilihan saya berbeda dengan pilihannya. Aih.
***
Pada tahap ini sebenarnya saya kebingungan. Kenapa banyak dari kita yang sulit membedakan antara fakta objektif dengan pilihan subjektif. Begitu, menurut saya, menyampaikan data, berita, kutipan dan sebagainya adalah sebuah keharusan, apalagi bila data tersebut tertutupi oleh isu-isu samar dengan dasar tak kalah gamang. Di sisi lain, pilihan adalah sesuatu yang begitu personal. Pilihan adalah pengejawantahan rasa, selera. 

Gampangnya begini, walaupun saya penggemar berat Indomi*, tetapi saya tetap akan bilang bahwa Indomi* tidak terlalu baik untuk kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Atau contoh lain misal: walaupun saya tidak suka durian, saya tidak mengelak bahwa durian dapat mengatasi gejala anemia. Jelas bukan? Pilihan saya adalah: saya suka Indomi* tetapi tidak suka durian. Sementara faktanya, Indomi* ternyata tidak begitu bagus untuk kesehatan, sementara durian malah memiliki manfaat untuk mencegah anemia. Apakah pilihan saya lantas bisa dibilang salah? Tidak, karena pada dasarnya saya bebas memilih dan saya sudah tahu apa risiko pilihan saya. Tetapi bagaimana jika kemudian saya mengada-ada bahwa Indomi* bagus sekali untuk kesehatan dan durian itu merugikan kesehatan? Tidak bisa! Fakta adalah fakta. Rasa adalah rasa.

Begitupun dengan memilih calon presiden. Tidak ada yang salah dengan pilihanmu. Karena itulah manifestasi dari pandangan, pendapat dan perasaanmu. Tetapi, akan menjadi salah apabila kemudian kamu berusaha mengaburkan fakta calon presiden yang lain agar calon presiden yang kamu dukung terlihat lebih terbaik.

Memilih adalah pengejawantahan rasa. Rasa suka, rasa benci, rasa muak dan rasa-rasa lainnya. Tak jarang seseorang memilih calon X bukan karena si X adalah calon idamannya, tetapi semata-mata karena ketidaksukaannya pada calon yang lain. Yah, sesimpel itu. Seringkali begitu personal, dan susah untuk dijelaskan. Namun apakah lantas pengejawantahan rasanya salah? Tidak.

Sehingga rasanya begitu picik apabila kita harus saling menyerang karena perbedaan selera, perbedaan rasa. Bayangkan saja makanan: ada yang suka pedas, ada yang benci asin, ada yang suka manis, ada yang senang asam dan seterusnya. Begitupun pilihan atas pemimpin. Semuanya adalah sah dan merupakan ranah yang sangat personal. Apa hak kita untuk saling menghakimi?

Selamat pagi, selamat mengejawantahkan rasa (baca: memilih).

Kebaikan itu Menular

| Juni 29, 2014 | Sunting
Temukan kebahagiaan dalam menanam melebihi dari kebahagiaan memetik.
Pagi tadi saya pergi ke EUB dengan menumpang taksi. Sebenarnya saya sudah naik LRT, tetapi karena rasanya akan terlambat maka saya turun di tengah jalan dan melanjutkan perjalanan dengan taksi. Adalah taksi milik seorang Pakcik berbangsa India yang lantas saya tumpangi. Dari kartu pengenal yang dipasangnya di atas dashboard, ia berasal dari marga Singh. Mukanya menyunggingkan senyum begitu saya masuk, lantas menanyakan hendak kemana saya.

“You puasa hari ni?”, begitu kira-kira ia bertanya, beberapa saat setelah taksinya melaju. Saya menjawabnya dengan iyaan singkat, diikuti dengan anggukan.

“I senang kalau Bulan Puasa datang. Hari-hari saya dapat makanan berbuka daripada jiran. Padahal saya bukan Muslim pun! Tetapi selalunya saja mereka bagi saya makanan!”, lanjutnya kemudian.

“Takpelah Cik. Bagi kami, berbagi makanan berbuka itu semacam berbagi kebahagian. Tentu utamanya kami sangat berbahagia karena sudah berhasil menjalankan ibadah. Yang kedua, terasa lebih gembira karena bisa membagi kebahagian kepada orang lain!”, jawabku sekenanya.

“Ye, senang rasanya saya karena boleh hemat sikit lah. Selalunya, saya boleh kirim duit lebih ke anak istri saya dekat Behrang, Perak!”, ujarnya dengan muka berseri.

“Bulan puasa itu bagi kami adalah bulan yang penuh dengan pahala Cik. Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan hati yang senang dan penuh kerelaan, akan dihadiahi dengan pahala yang berkali lipat.”, tambahku.

“Istri saya tak ada kerja. Anak saya ada tiga orang. Orangtuapun ikut saya. Senanglah boleh kirim duit lebih.”, ulangnya kembali. “Hari tu saya sudah cakap kalau saya tak puasa. Tetapi jiran jawab takpe. Esoknya dia kirim makanan lagi!”

Aku hanya tersenyum senang menanggapi ceritanya. Lagu Opick terdengar dari radio yang disetel pelan, Ramadhan tiba… Ramadhan tiba… Marhaban ya Ramadhan… Marhaban ya ramadhan…
***
Aku beranjak ke kantin untuk makan, beberapa saat setelah menunaikan kewajiban sholat. Puasa pertama hari ini kami, aku dan Yuska, membatalkan puasa dengan air putih dan roti. Aku juga diberi banana pie oleh Mas Didi tadi siang, sehingga lumayan untuk mengisi perut. Oh ya, sepulang mengajar saya nebeng mobil mas Didi yang kebetulan juga akan ke arah Gombak. Alhamdulillah akhirnya saya di antar pulang, sekalian mau sholat Dzuhur di masjid IIUM. Tetapi, inti ceritanya adalah saya jadi sama sekali tidak menyentuh uang kembalian tarif taksi tadi pagi.

Makanya, aku lantas terkejut ketika mendapati bahwa uang sepuluh ringgit yang seharusnya tinggal lima ringgit karena sudah dipakai untuk membayar taksi ternyata masih utuh. Aku memang sedikit terburu karena takut terlambat masuk kelas, sehingga sama sekali tidak memperhatikan uang kembalian yang diberikan oleh si sopir taksi.

Aku hanya masih ingat betul betapa si sopir taksi menggenggam tanganku dengan begitu erat ketika memberikan “uang kembalian” sambil berkali-kali mengucapkan “Terimakasih, kamu sudah berpuasa!”
***
Yah, salah satu hakikat hidup adalah berbuat baik kepada sesama, menjadi rahmat untuk sekalian alam. Saya jadi ingat apa kata Pak Dedi Panigoro saat #FIM12 silam tentang mengapa kita harus berbuat baik kepada semua orang. Sederhana saja:
“Karena, rezeki memang dari Tuhan, tetapi Ia mengirimkannya melalui tangan orang lain.”
Dari sopir taksi tadi pagi, saya juga belajar bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah bagian dari rasa syukur. Dia yang menerima kebaikan dari tetangganya yang selalu memberi makanan saat waktu buka, meneruskan estafet kebaikan tersebut ke saya dengan memberikan tumpangan gratis.



What goes around, comes around!

Kehidupan sehari-hari kitapun rasanya tak pernah lepas dari kebaikan orang lain. Mulai dari mereka yang kita kenal, hingga mereka yang mungkin hanya kita temua selintas lalu di jalan-jalan, stasiun-stasiun dan sebagainya. Hari ini misalnya, paling tidak saya sudah menerima kebaikan dari:
  1. Pekerja kantin yang rela memasakkan saya telur dadar untuk sahur. (Telur dadar yang ada sebenarnya sudah habis).
  2. Seorang kawan kelas yang memberikan saya tumpangan ke stasiun di saat saya juga tengah terburu-buru.
  3. Sopir taksi yang memberi saya tumpangan gratis tersebut, sehingga saya sampai di EUB dan memulai kelas tepat waktu.
  4. Mbak Sinta yang mau meneruskan untuk mengajar karena panggilan alam yang mendadak datang.
  5. Mas Didi yang saya bilang mengantarkan saya pulang dan juga memberi saya banana-pie yang kemudian saya pakai untuk buka puasa.
  6. Seorang kawan kelas yang mengambilkan saya foto-copy-an tugas.
  7. Kasir kantin yang melayani saya dengan wajah berseri sehingga saya dapat makan dengan lahap dan alhamdulillah kenyang.
Masih banyak lagi tentunya apabila kemudian terus dirunut. Tetapi, untuk apa merunut sesuatu yang sudah sangat jelas? Pertanyaannya kemudian adalah, kebaikan apa yang sudah kita lakukan hari ini? :)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine