Hari ini adalah hari kedua bulan Ramadhan menurut penanggalan Islam. Saya memulai puasa pagi tadi dengan sebuah apel, setengah mangkuk oat, dan beberapa teguk air. Amjad yang tengah menginap di kamar mengajak untuk ke kantin sebenarnya. Tetapi rasanya tengah tidak ingin makan nasi, sehingga bertahanlah saya di kamar sendiri.
Hari-hari seperti ini membuat saya rindu rumah - ah, saya memang selalu rindu rumah. Saya mulai belajar berpuasa ketika duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Sebelum-sebelumnya bulan puasa tidak ada bedanya bagi saya: sarapan sebelum berangkat sekolah, diikuti dengan makan siang dan makan malam - kecuali saat Gus Dur meliburkan sekolah sebulan penuh, Ramadan tahun 2000.
Baru di kelas 2 itulah saya mau ikut sahur dan meniatkan untuk berpuasa. Itupun sampai pukul sembilan pagi saja. Saya ingat di hari pertama saya berpuasa itu, Mamak tengah berada di Posyandu. Karena sekolah liburm saya hanya duduk di depan pintu sambil memandangi jam dinding. Tepat pukul sembilan saya pergi menyusul ke Posyandu. Oleh Mamak lalu saya diberi setangkup roti. Entahlah, saya sendiri lupa kenapa Mamak langsung memberi saya roti. Mungkin sebelumnya sudah ada perjanjian semacam, "Yen wis ra kuat nyusul mamak war nang gone mbokdhe Rati yo Yan!"
Bermula dari puasa hingga pukul 9 itulah, tahun-tahun berikutnya rentang jam puasa saya terus meningkat. Hingga kemudian saya kuat berpuasa satu hari penuh saat duduk di kelas empat. Tetapi memang ada hari-hari dimana saya akan makan diam-diam ketika Dzuhur datang karena sudah kepalang lapar. Karena itulah Mamak sengaja tidak menyimpan makan apapun di rumah. Kalau sudah begitu, tidur biasanya menjadi senjata ampuh untuk mengusir rasa lapar antara jam pulang sekolah hingga Ashar - saat kami harus berangkat mengaji.
Baru di kelas 2 itulah saya mau ikut sahur dan meniatkan untuk berpuasa. Itupun sampai pukul sembilan pagi saja. Saya ingat di hari pertama saya berpuasa itu, Mamak tengah berada di Posyandu. Karena sekolah liburm saya hanya duduk di depan pintu sambil memandangi jam dinding. Tepat pukul sembilan saya pergi menyusul ke Posyandu. Oleh Mamak lalu saya diberi setangkup roti. Entahlah, saya sendiri lupa kenapa Mamak langsung memberi saya roti. Mungkin sebelumnya sudah ada perjanjian semacam, "Yen wis ra kuat nyusul mamak war nang gone mbokdhe Rati yo Yan!"
Bermula dari puasa hingga pukul 9 itulah, tahun-tahun berikutnya rentang jam puasa saya terus meningkat. Hingga kemudian saya kuat berpuasa satu hari penuh saat duduk di kelas empat. Tetapi memang ada hari-hari dimana saya akan makan diam-diam ketika Dzuhur datang karena sudah kepalang lapar. Karena itulah Mamak sengaja tidak menyimpan makan apapun di rumah. Kalau sudah begitu, tidur biasanya menjadi senjata ampuh untuk mengusir rasa lapar antara jam pulang sekolah hingga Ashar - saat kami harus berangkat mengaji.
Tentang bangun ketika sahur, Mamak memang selalu yang paling awal. Kami baru akan dibangunkan ketika makanan sudah siap santap. Itupun tidak selalu mudah. Biasanya Mamak perlu mengusap muka kami dengan air, kadang hingga berkali-kali. Baru setelah itu mata kami perlahan-lahan terbuka.
Hal-hal semacam itu yang membuat saya rindu rumah. Ada semacam aroma lain yang tidak saya dapatkan ketika harus menjalankan puasa jauh dari rumah. Mungkin saja aroma tangan Mamak ketika mengusap muka dengan air. Atau bisa jadi aroma masakan Mamak yang masing-masingnya telah bercampur dengan aroma tangannya. Ah...
Selamat berpuasa.
Saya sedang mencuci celana yang pernahsaya pakai untuk mencekik leher saya sendiri.Saya sedang mencuci kata-katadengan keringat yang saya tabung setiap hari.Dari kamar mandi yang jauh dan sunyisaya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.dari Joko Pinurbo, untuk penyair Hasan Aspahani