Idul Fitri dan Kesaktian Pancasila

| Oktober 07, 2008 | Sunting
Monumen Pancasila Sakti
Di antara gemuruh bedug dan takbir Idul Fitri 1429 H, ada pekik yang terdengar sama-samar. Yaitu pekik tentang Hari Kesaktian Pancasila dan kenangan terhadap tragedi di sekitar G30S/PKI.Lebaran tahun ini kebetulan jatuh pada 1 Oktober, bersamaan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal yang sama. Bisa jadi kebetulan ini merupakan pertanda bagi bangsa Indonesia agar sungguh-sungguh iklas menerima sejarah kelam itu kemudian memaafkannya. Khususnya para korban dan keluarga korban dari semua rentetan tragedi kemanusiaan yang terjadi setelah malam jahanam 43 tahun lampau. Baik korban dari pihak TNI dan terutama semua pihak yang ikut menanggung derita karena dituding bagian dari PKI. Memaafkan bukan tidak berarti serta merta melupakan. Bila memang kita ikhlas menerima sejarah itu, maka justru kita harus memberi penghormatan pada para korban, dari pihak manapun, dan mengambil pelajaran. Di dalam konteks itulah maka wacana penghapusan peringatan Hari Kesaktian Pancasila menjadi tidak tepat.Tinggal sekarang yang masih menjadi masalah, bahkan api dendam, yaitu interpretasi terhadap sejarah.

Penghentian pemutaran rutin film G30S/PKI di televisi nasional pada setiap 30 September dan tidak ada lagi prosesi menengok dioarama di Monumen Pancasila Sakti oleh Kepala Negara seusai upacara beberapa tahun terakhir, tidak juga menyurutkan subyektivitas yang mengiringi interpretasi sejarah.


Seiring perjalanan 10 tahun reformasi, subyektivitasnya malah kian merambat bagian sejarah lainnya bangsa setelah G30S/PKI. Salah satunya adalah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang mengawali peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru.Moment Idul Fitri yang bersamaan dengan Hari Kesaktian Pancasila ini hendaknya jadi peringatan bagi semua pihak yang mengetahui obyektivitas sejarah bangsa untuk segera mengungkapnya. Makin lama masyarakat tidak mengetahui kebenarannya, makin lama bangsa ini hidup dalam prasangka dan kian sulit untuk saling memaafkan.

Sumber: Detik

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine