Demokrasi Setengah Hati

| Juli 19, 2009 | Sunting
Para kontestan
Ada berbagai kejadian menarik selama pertapaanku yang rasanya harus segera kutuliskan pendapatku selagi ianya tersebut masih segar dalam ingatan. Dan juga belum menjadi sesuatu yang basi. Yang utama tentunya perhelatan besar di awal bulan ini yang cukup menyita perhatian dunia sebagai sebuah lembaran baru sejarah bangsa kita. Pendeknya, salah satu proses yang ikut menentukan bagaimana nasib kita lima tahun ke depan.

Di sini, aku tak akan membicarakan apa dan siapa mereka yang beradu untuk memperebutkan kursi orang pertama negeri ini karena semua oranpun sudah tahu. Muka mereka hingga hari-hari terakhir sebelum pemilihan masih menjadi pemanis televisi-televisi nasional dengan berbagai janji yang mereka umbar dengan begitu mudah, seperti pedagang pasar yang menawarkan jengkol. Umbar senyum mereka juga hampir-hampir menjadi selingan di sepanjang jalan yang dari awal sudah sesak dengan berbagai iklan dan penawaran barang. Bahkan bisa dibilang cara mereka - para calon "pengadeg" negara itupun, kurang lebih sama dengan iklan-iklan kebanyakan. Ada yang seperti iklan sabun, ada yang serupa iklan mie instan, bahkan ada yang mirip iklan rokok.

Aku juga tidak akan mempermasalahkan siapa yang menang? Dari partai mana ia? Karena bagaimanapun dari awal siapa yang akan tersenyum penuh kemenangan di akhir pertandingan sudah dapat diraba, bahkan dilihat dengan jelas. Tidak salah pula apabila Arswendo Atmowilopo dalam sebuah forum berani bilang, "Ini adalah sekadar perhelatan pemilihan wakil presiden, bukan pemilihan presiden."

Sehingga apabila kemudian dikaji lebih lanjut, tidakkah mubadzir mereka yang berusaha mengeruk suara melebihi si "pemenang" dengan dana yang tak terkira sementara mereka sendiri sudah melihat siapa yang akan menjadi bintang pentas? Bodohkah mereka? Tidak tentunya, tetapi mungkin mereka sudah cukup kesepian karena lama tak disorot kamera dan dielu-elukan masa. Sehingga, simsalabim, mencalon dirikanlah mereka.

Yang ingin saya catat disini adalah remah-remah yang tenggelam di antara catatan-catatan besar yang tak pernah terlihat oleh orang. Misalnya saja ternyata masih banyak dari saudara kita yang tidak mengetahui orang-orang yang akan mereka pilih sebagai orang yang akan memimpin mereka dan menentukan sedikit dari nasib mereka selama lima tahun ke depan. Di desa kecil di belahan utara Gunungkidul misalnya saja. Sebagian besar dari mereka, ketika hingar bingar kampanye presiden di luar sana seolah menjadi sebuah menu harian, mereka tetap hidup dalam ketenangan tanpa "nggagas" apa yang akan calon-calon itu perjuangkan untuk nasib mereka di hari yang akan datang. Jangankan mengetahui janji-janji yang diumbar dalam rangka memperbaiki kehidupan mereka, siapa saja yang akan mereka pilih saja mereka tidak tahu. Ckck.

Sesekali yang ada hanyalah selentingan-selentingan kecil yang mereka dapat entah dari mana. Misalnya saja, "Kabare ono cah etan kono arep nyalon presiden. Po mlaku? Panganane yo mung telo koyo awake dhewe e kok...." (Kabarnya ada anak daerah timur situ -Pacitan terletak di sebelah timur Gunungkidul- mau jadi presiden. Apa bisa? Makanannya saja juga cuma seperti kita, ketela)

Hah? Itu adalah kenyataan... Mereka terbingkai ketidaktahuan. Mereka tersekat dalam keterpencilan sehingga apabila kemudian pemilihan presiden diklaim sukses, berarti itu adalah sukses tanpa mereka. Sukses dengan melewatkan beberapa kegagalan mendasar yang sebenarnya adalah bukti bahwa proses pen-demokrasian negeri ini masih perlu dikebut sehingga pada suatu saat, sukses demokrasi adalah sukses bersama tanpa menghilangkan orang-orang tadi. Mungkinkah?

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine