Bonek Persebaya, bidikan kamera Fajjar Nuggraha |
Sungguh murahkah harga nyawa di republik ini? Seorang Bonek, sebutan umum pendukung Persebaya, bernama Ari Sulistyo (18) meninggal usai menyaksikan big match Persib vs Persebaya di Stadion Si Jalak Harupat Bandung. Ari tergencet dalam gerbong kereta api yang mestinya mengantar murid SMK ini pulang ke Surabaya.
Sedihnya, Ari bukan satu-satunya korban dalam laga kali ini. Seorang remaja lain yang belum dikenali identitasnya juga meninggal dalam rangkaian kereta yang ditumpangi Ari. Sementara jelang duel klasik ini, seorang Bonek lain bernama Ahmad Fathoni (21) meninggal terjatuh dari atap kereta di Nganjuk. Ini belum termasuk korban luka yang berbilang jumlahnya.
Selain korban jiwa, kerugian material juga berderet. Sebutlah misal PT Kereta Api yang memperkirakan kerugian hingga 1 miliar. Selain rusaknya fasilitas kereta, mereka juga kehilangan pemasukan karena hampir semua rombongan suporter dari Surabaya tidak membeli tiket.
Inilah potret sepak bola ini, kalau bukan gambar buram bangsa Indonesia. Fanatisme ugal-ugalan–meminjam istilah ekonom Rizal Ramli–yang tak hanya membahayakan diri sendiri, namun juga komunitas tempat para subyek berdiam serta masyarakat luas.
Kata fanatisme saya gandengkan dengan kata ugal-ugalan bukan tanpa maksud. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000), fanatisme diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan subyek menjadi fundamentalis.
Tentu saja ada pula energi positif yang bisa diraih dari berpikir dan bertindak fanatis. Subyek dapat menenggak kesenangan saat jadi fanatis. Misalnya, penggemar fanatik grup Slank rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Subyek melebur dalam komunitas, menerbitkan jejaring sosial dan ekonomi dan akhirnya membentuknya menjadi manusia utuh. Bagi Slank, fansnya yang fanatis adalah berkah melimpah yang mempertebal keyakinannya terus berkarya dan dengan begitu mengisi pundi-pundi grup band tersebut.
Dengan optik sama, Bonek sebetulnya aset bagi Persebaya–sebagaimana juga Viking (Persib), Jakmania (Persija) atau Aremania (Arema). Dari sisi itu eksistensi Bonek layak disyukuri–bukan hanya bagi bagi klub asal Surabaya itu, melainkan bagi eksistensi sepak bola Indonesia yang sekian tahun ini kering prestasi. Bisa dibayangkan pertandingan Liga Indonesia tanpa penonton yang berjubel. Mungkin tetap pertandingan sepak bola, tapi tanpa jiwa karena tak melibatkan publik sebagai penikmat olahraga tersebut.
Kata fanatisme saya gandengkan dengan kata ugal-ugalan bukan tanpa maksud. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000), fanatisme diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan subyek menjadi fundamentalis.
Tentu saja ada pula energi positif yang bisa diraih dari berpikir dan bertindak fanatis. Subyek dapat menenggak kesenangan saat jadi fanatis. Misalnya, penggemar fanatik grup Slank rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Subyek melebur dalam komunitas, menerbitkan jejaring sosial dan ekonomi dan akhirnya membentuknya menjadi manusia utuh. Bagi Slank, fansnya yang fanatis adalah berkah melimpah yang mempertebal keyakinannya terus berkarya dan dengan begitu mengisi pundi-pundi grup band tersebut.
Dengan optik sama, Bonek sebetulnya aset bagi Persebaya–sebagaimana juga Viking (Persib), Jakmania (Persija) atau Aremania (Arema). Dari sisi itu eksistensi Bonek layak disyukuri–bukan hanya bagi bagi klub asal Surabaya itu, melainkan bagi eksistensi sepak bola Indonesia yang sekian tahun ini kering prestasi. Bisa dibayangkan pertandingan Liga Indonesia tanpa penonton yang berjubel. Mungkin tetap pertandingan sepak bola, tapi tanpa jiwa karena tak melibatkan publik sebagai penikmat olahraga tersebut.
Yang jadi soal, justru ketika fanatisme itu tidak terkelola. Yayasan Suporter Surabaya menyatakan Bonek yang berulah itu kerap kali bukan bagian dari perkumpulannya. Artinya mereka kumpulan individu (subyek) yang anonim, tak diwadahi dalam perkumpulan suporter. Berbekal uang pas-pasan, mereka bergabung dengan sesamanya dan lalu melebur menjadi kumpulan individu dalam jumlah massal. Ini yang terjadi ketika puluhan ribu Bonek ngluruk ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya bertanding. Alhasil, Bonek tanpa perkumpulan itu berulah di jalanan: mulai dari merampas makanan para pedagang hingga naik kereta api tanpa bekal tiket. Kisah pilu terjadi pada salah seorang yang tewas setelah jatuh dari atap kereta api. Bermodal Rp75 ribu, ia nekat ke Bandung bergabung dengan kawan-kawannya. Nahas, ia terpelanting dan jatuh dari kereta sehingga nyawa tak tertolong.
Inilah ironi subyek. Adalah maklum dalam kerumunan, subyek bisa terlempar jadi manusia anonim–tanpa identitas. Subyek itu melebur dalam kerumunan, sehingga tanpa sadar melakukan hal sama yang dilakukan subyek-subyek lain dalam kerumunan itu. Seorang diri manusia pastilah takut naik atap kereta api, apalagi jika harus menempuh ratusan kilometer Surabaya-Bandung. Namun, bersama individu lain dalam kerumunan, rasa takut itu akan lenyap. Subyek akan kehilangan rasa takut, ia tak peduli pada risiko. Sebaliknya dalam kerumunan, subyek bermetamorfosis jadi diri yang lain.
Itulah yang saya lihat mana kala menyaksikan Jakmania berjubel naik Metromini. Jika seluruh kursi dan ruang penumpang penuh, maka para Jakmania itu pun duduk di atap Metromini. Di jalanan menuju Lebak Bulus atau Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, mereka berjingkrak dan bernyanyi. Memang terselip masalah laten ekonomi di balik ekspresi kumpulan individu yang kini tak lagi memiliki rasa takut itu. Tapi jika saja rasionalitas masih bertahta pada kumpulan individu itu, ia akan berhitung dengan risiko.
Sungguh pun begitu. Marilah belajar dari masa silam. Saya masih ingat. Saat itu musim kompetisi perserikatan 1986/1987. Saya tinggal nun jauh dari Surabaya–kira-kira sejarak 200-an kilometer. Di Jember, mobilisasi yang dilakukan Jawa Pos [koran lokal paling berpengaruh di Surabaya dan Jawa Timur] untuk memompa semangat warga Jatim mendukung Persebaya yang lolos ke peringkat 6 Besar terasa sekali. Koran yang dibesarkan Dahlan Iskan ini menjadi semacam penyelenggara perjalanan bagi warga Jatim yang hendak menyaksikan Persebaya bertanding di Jakarta. Alhasil puluhan ribu warga Surabaya dan sejumlah kota ikut serta. Persebaya masuk final, tapi dibenamkan PSIS sehingga gagal membawa gelar juara ke Kota Pahlawan.
Pada musim berikutnya, Jawa Pos, tetap melakukan hal tersebut. Persebaya yang kala itu di bawah manajer M. Barmen, kini tak memberikan ampun pada PSIS untuk lolos ke 6 Besar di Senayan. Lewat sandiwara sepak bola gajah, Persebaya mengandaskan PSIS setelah secara suka rela dihujani 12 gol oleh Persipura. Persebaya pun terbang tinggi. Mereka menjemput gelar setelah membungkam tuan rumah Persija [3-1]. Mustaqim Cs meraih gelar itu berkat suntikan moril para pendukung fanatiknya, bukan bonek yang ugal-ugalan.
Jikalau kita sepakat “tak ada yang setara dengan nyawa”, maka mulai sekarang seluruh pihak harus mampu mengelola fanatisme itu biar tak menerbitkan anarki di jalanan. Bersama kita bisa!
dari sebuah catatan wartawan liputan enam