Sebatang Pensil

| Januari 21, 2010 | Sunting
Sebatang pensil HB
Anda pasti tahu dan mungkin masih memakai pensil kayu, meskipun ada juga pensil dari bahan plastik dan sebagainya. Nah, dalam tulisan di hari minggu ketiga bulan Januari ini, saya mencoba menuliskan sebuah filosofi hidup, belajar dari pensil kayu. Ada tiga hal menarik tentang pensil kayu. Apa sajakah itu? Pertama, jika pensil kayu itu hanya dibiarkan begitu saja tanpa dituntun dan digerakkan oleh sebuah tangan, tentu saja tidak ada gunanya. Kedua, pensil kayu akan selalu ditajamkan dari waktu-waktu, tentu saja ini menyakitkan, namun ini diperlukan agar pensil dapat menghasilkan kualitas terbaik. Ketiga, bagian yang paling penting dari pensil kayu itu adalah di dalamnya, yaitu isi pensil kayu itu.

Selanjutnya, filosofi hidup apa yang dapat kita pelajari dari pensil kayu?

Pertama, hidup kita perlu tuntunan dan bimbingan orang lain. Kita akan menjadi manusia egois jika mengandalkan kekuatan sendiri. Seperti seorang balita yang baru belajar bicara dan berjalan, maka tuntunan dan kesabaran dari ibunya sangat berarti. Di dalam hidup ini, siapakah yang mampu hidup sendiri dan mengatasi segala sesuatu tanpa bantuan dan campur tangan orang lain? Saya rasa tidak ada! Hidup kita digerakkan untuk sebuah tujuan, dan untuk mencapai tujuan itu, kita memerlukan andil Tuhan dan orang lain. Jika tujuan kita ingin sukses, maka kita harus membiarkan diri kita digerakkan oleh motivasi dari diri sendiri dan orang lain. Kata-kata yang memberi semangat dan mensugesti diri kita, bahwa saya bisa. Jika kita ingin bahagia, maka hidup kita harus digerakkan oleh kekuatan cinta dari orang-orang di sekitar kita. Jika kita ingin sebuah kedamaian, maka hidup kita harus digerakkan oleh doa dan kepasrahan menuju pusat kedamaian itu, yaitu Tuhan. Kita akan bermanfaat bagi hidup orang lain, jika ada yang menggerakkan kita, yaitu Tuhan dan orang-orang di sekitar kita.

Kedua, kualitas hidup bukan diukur dari berapa banyak masalah yang kita dapat, tetapi berapa banyak kita dapat keluar dari masalah-masalah itu dengan sebuah senyuman dan ucapan syukur. Hidup kita memang sama seperti pensil yang diraut dan ditajamkan. Sakit memang, tapi itulah proses yang Tuhan bentuk. Bagi manusia, mungkin masalah adalah beban hidup, tetapi bagi Tuhan, masalah adalah sebuah cobaan untuk menuju hidup yang lebih berkualitas. Kita minta agar lebih rendah hati, lebih bijaksana, lebih sabar, sukses dan sebagainya, maka apa yang kita minta itu terselip lewat setiap masalah yang kita hadapi. Kesabaran, kerendahan hati dan kebijaksanaan tidak datang dalam bentuk coklat, setelah anda makan, lalu tiba-tiba anda berubah. Semua hal itu adalah proses dalam hidup yang dibentuk dari kematangan dan kedewasaan kita dalam menghadapi sebuah masalah. Setiap manusia dirancang untuk menjadi manusia sukses, bukan manusia gagal. Tidak ada manusia bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah manusia malas.

Ketiga, kualitas hidup yang terpancar di luar itu karena di dalamnya juga bagus, yaitu isi hati kita. Mungkin otak boleh berpikir, tangan boleh menggerakkan dan kaki boleh melangkah, tetapi dari hatilah segala sesuatu diputuskan. Kenapa kita merasa sakit hati ? Menangis karena sedih? Tertawa karena gembira? Itu karena kekuatan di dalam hati kita. Salah seorang sahabat saya yang menjadi dokter pernah berkata, segala obat dapat menyembuhkan, tetapi apa gunanya jika hati belum disembuhkan? Artinya, percuma minum obat tetapi masih menyimpan dendam, tidak mau mengampuni dan penolakkan untuk orang-orang yang mencintai kita? Di dalam hati, kita memerlukan dua pintu yang selalu terbuka, yaitu memberi dan menerima. Jika hanya satu pintu saja yang terbuka, kita akan menjadi manusia egois. Orang yang mempunyai kualitas hidup yang baik , juga memerlukan dua pintu di dalam hatinya, yaitu sabar dan mengasihi. Sabar menghadapai segala sesuatu dan memakai bahasa kasih dalam menghadapi segala sesuatu juga.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine