Dolananku Bukan Dolananku

| Juli 13, 2010 | Sunting
“Hayo.., Kejar.., Kejar.., Tendang.., Tendang.., Ayo.., Tendang.., Gooooll…!” Riuh rendah, teriakan anak-anak belasan tahun seperti sedang bermain sepak bola terdengar dari sebuah rumah bercat hijau di pinggir jalan antar kecamatan itu petang kemarin, sekira pukul 18.30 WIB. Tetapi kok dari dalam rumah? Tidakkah untuk bermain sepak bola dibutuhkan sebuah lapangan yang luas? 

Aku tergeragap. Ini abad ke dua puluh Bas! Sepak bola tak lagi membutuhkan lapangan berukuran 110 m x 75 m. Tak lagi perlu dua tim kesebelasan. Teknologi sudah berhasil memindahkan permainan sepak bola ke dalam sebuah televisi saja dengan bantuan seperangkat alat bernama Play Station (PS). 

Tak perlu lagi berlarian menggiring bola ke gawang lawan, apalagi berkotor-kotor karena meluncur di lapangan yang becek. Hanya cukup dengan jari-jari cekatan untuk mengendalikan para pemain di layar televisi, dan juga sebuah permainan serupun akan tercipta. Setiap anak cukup membayar. Cukup mahal sebenarnya, apalagi bila dibandingkan dengan lapangan sepak bola yang bisa mereka gunakan secara cuma-cuma. 

Namun, kenyataannya tempat penyewaan PS itu tetap saja ramai. Setiap hari, bahkan terkadang masih lengkap dengan seragam sekolah, anak-anak datang, duduk dengan tenang di depan layar TV dengan joy stick di tangan, dan kemudian larut dalam permainan selama berjam-jam. “Eko, hayo pulang! Sudah malam, Ibu jewer lho nanti! Hayo pulang!” hanya teriakan-teriakan seperti itulah yang bisa membuat anak-anak bubar dan bergegas pulang.
***
Suasana seperti itu mungkin akan menjadi biasa saja di Jakarta, Surabaya, ataupun kota-kota besar lainnya yang memang lahan bermainnya sudah semakin berkurang. Namun, semua itu terjadi di Bayat: sebuah kota kecil, satu jam perjalanan dari Yogyakarta, yang masih memiliki cukup lahan bermain. Lapangan-lapangan hijau terhampar berdampingan dengan permukiman warga. Sawah-sawah juga masih menyisakan tempat untuk bermain. Namun, ternyata lapangan baru dalam PS lebih menarik bagi anak-anak Bayat. 

Yah, mungkin inilah yang disebut sebagai proses globalisasi oleh para pakar dan pemikir. Suatu proses yang kemudian menghasilkan sistem budaya yang global -mendunia- sehingga di belahan dunia manapun kita berada, kita akan terhubung dengan sebuah jaringan besar dan membuat kita semua di seluruh penjuru dunia terlibat dalam sebuah mata rantai, saling mempengaruhi. 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi misalnya, dapat mempertemukan berjuta orang di dunia dalam sebuah pengalaman yang sama. Anak-anak Bayat contohnya, mereka bermain PS sebagaimana anak-anak di Jepang ataupun Amerika. Bagus memang bila dilihat dari labelnya. Wah, anak-anak Bayat sama seperti anak-anak bule yang berbahasa Inggris di Amerika sana. 

Namun, ada satu yang perlu diingat, segala sesuatu adalah gabungan dari positif dan negatif. Ada bukti perkembangan teknologi di satu sisi, namun ada sebuah kekhawatiran besar di balik proses ini di sisi yang lain. Sekali lagi karena ini terjadi di Bayat, sebuah sentra budaya tempat tumbuh berkembangnya batik dan keramik sejak ratusan tahun lalu. Sebuah tempat yang selama beratus-ratus tahun menempatkan dakon, jamuran, cublak-cublak suweng, betengan, maupun pasaran sebagai media pengkomunikasian ilmu hidup kepada anak-anak.

Dan selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah: ilmu hidup yang seperti apakah yang anak-anak dapatkan ketika semua itu digantikan dengan seperangkat PS?
***
Masih teringat olehku belasan tahun lalu. Masa kecilku aku lalui dalam kesederhanaan. Televisi baru ada ketika aku masuk SD, sehingga segala sesuatu aku dapatkan dari kearifan lokal warisan nenek moyang. Ibu mengajarkan cara berhitung dengan permainan dakon atau yang kita kenal dengan congklak. 

Aku harus bisa berhitung agar aku dapat memasukkan banyak buah dakon, biasanya batu atau jagung, ke dalam lumbungku penyimpananku. Dan memang dari permainan inilah aku mulai pandai berhitung. Dan secara tidak langsung pula aku belajar tentang berbagai ilmu lainnya. Jauh sebelum aku mempelajari apa itu homo economicus di sekolah, aku ternyata telah mempelajarinya dari dakon. Dengan memberikan buah dakon yang sesedikit-sedikitnya aku harus mendapatkan biji dakon lawan sebanyak-banyaknya. Yah, kata ibu dakon adalah bekal awal untuk meniti hidup: harus ada stategi dan juga upaya untuk mensiasati segala sesuatu.

Mayoritas dolanan-dolanan Jawa juga menyisipkan pesan kebersamaan selain berbagai pesan hidup lainnya. Aku masih ingat betapa lapangan volly di depan rumah nenekku akan penuh dengan anak-anak saat malam minggu tiba beberapa tahun lalu. Semuanya larut dalam kebersamaan. Biasanya kami bermain jamuran.Hom pim pah alaihom gambreng... Yah, semuanya dimulai dengan prosesi hom pim pah untuk menentukan siapa yang jaga. Dan, setelah diperoleh satu satu orang yang jaga, permainanpun dimulai. Horreee.... Pertama, anak- anak membentuk lingkaran besar yang disebut pager, sementara yang terkena giliran jaga berdiri di tengah lingkaran, disebut wong gunung. Setelah itu, para pager mulai berputar sambil menyanyikan tembang jamuran yang bunyinya seperti ini, Jamuran ya gegethok. Jamur opo yo gegethok. Jamur gajih bejijih sak oro-oro. Siro bade jamur opo wong gunung? 
Cublak-cublak suweng
Setelah lagu selesai dinyanyikan, barulah kemudian si wong gunung menyebutkan salah satu nama jenis jamur. Dan, para pager berkewajiban untuk mempraktikkan jamur apa yang disebutkan oleh si wong gunung tadi. Misalnya saja jamur bandulan (ayunan), maka para pager harus bersiap-siap untuk mencari pasangan, lalu saling mengaitkan tangan mereka agar si wong gunung dapat duduk. Bisa dibilang, semakin kreatif si wong gunung, maka permainan akan semakin seru. Bayangkan saja kalau misalnya si wong gunung memilih jamur kendil borot, maka para pager harus bersiap-siap untuk kencing, hehe... Saat itu, kami berpikir bahwa yang penting senang bisa bermain bersama, namun ternyata banyak pelajaran yang kami temukan dari permainan ini, dan aku sendiri baru menyadarinya sekarang, setelah belasan tahun berlalu.

Permainan ini menurutku mengasah kecerdasan otak. Mengapa? Ya karena memang setiap bagiannya menuntut para pemain untuk jeli. Kecerdasan dan pemahaman tentang musik kupelajari dari tembang yang kami nyanyikan. Bahkan, ketika aku kelas 1 SMP, guru seni musikku menyuruh murid-muridnya bermain jamuran di dalam kelas untuk menunjukkan bahwa musik sudah kami pelajari sejak kecil. Kemudian, diasah pula kecerdasan kinestesik, kecerdasan yang ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk membangun hubungan yang penting antara pikiran dengan tubuh, yang memungkinkan tubuh untuk memanipulasi objek atau menciptakan gerakan, karena seperti yang telah aku jelaskan, pada permainan jamuran ini kita akan berguling, menari, berlarian, bahkan memanjat pohon. Simpel memang, namun ternyata banyak manfaatnya: meningkatkan kemampuan psikomotorik, meningkatkan kemampuan sosial dan sportivitas, membangun rasa percaya diri dan harga diri dan tentunya meningkatkan kesehatan.

Kecerdasan emosi diasah melalui proses pembuatan aturan permainan karena biasanya ada konflik-konflik karena perbedaan pendapat. Suatu kali pernah ada anak yang mengusulkan agar jamur kendil borot dihapus saja karena dia sedang tidak ingin kencing. Sempat terjadi cekcok mulut beberapa anak, sebelum disepakati bahwa jamur kendil borot akan gugur kalau para pager sedang tidak ingin kencing, namun sebagai konsekuensi maka akan diganti dengan jamur lain. Sederhana memang, namun sepertinya merupakan awal yang baik. Bijaksana, karena dapat mendengar dan memutuskan berbagai usulan. Dan tentunya melatih kejujuran, karena terkadang ada yang sebenarnya mau kencing namun karena malu jadi pura-pura sedang tidak ingin kencing.

Dan tak lupa adalah kecerdasan bahasa yang menurut para ahli sangat mempengaruhi kecerdasan manusia secara keseluruhan. Dari permainan jamuran ini, kecerdasan bahasa dipelajari dari berbagai nama jamur. Suatu kali kami para pager sempat terheran-heran karena si wong gunung menyebutkan jamur pawon. Ternyata kami disuruh untuk menirukan bentuk tungku tradisional dengan membentuk posisi tubuh seperti merangkak tapi diam. Si wong gunung akan berpura-pura sebagai kayu yang masuk di bawah perut para pager, kemudian mengangkatnya. Para pager harus mempertahankan posisi merangkak tersebut kalau tidak ingin menggantikan posisi si wong gunung.
***
Sayang, bisa dibilang saat ini permainan tersebut sudah jarang dilakukan. Televisi, kotak ajaib yang kemudian datang, perlahan menyedot perhatian anak-anak untuk lebih memilih duduk di depan televisi dari pada berkumpul bermain bersama. Apalagi ketika PS mulai ada, permainan anak-anak semakin tersisih. 

Padahal, bila dipikir-pikir efek televisi maupun PS tidaklah terlalu baik. Anak-anak sekarang cenderung mengalami obesitas karena asupan kalori yang masuk dalam tubuh mereka tidak dibakar dengan melakukan gerakan fisik. Anggota tubuh yang bergerak sebatas kepala, bola mata dan tangan untuk memencet remote atau menggeser joystick.

Globalisasi adalah proses yang tidak mungkin kita hindari, namun sebaiknya kita dapat lebih arif dalam menyikapinya. Dan bagaimanapun budaya kita adalah suatu cara yang disiapkan oleh nenek moyang sebagai salah satu pelindung generasi mendatang dan salah satunya adalah dolanan bocah yang dikomunikasikan melalui wujud permainan agar mudah dimengerti. Sehingga sudah kewajiban kita semua untuk berpartisipasi melestarikannya bagaimanapun caranya (saat ini aku sudah memulainya dengan memberikan saran kepada guru play group di desaku agar mulai memperkenal beberapa permaian tradisional kepada anak-anak, dan ternyata ditanggapi secara positif oleh para guru).

Jangan sampai suatu saat permainan-permainan anak itu benar-benar hilang. Dan anak-anak mulai berkata, “Dolananku bukan dolananku. Diciptakan untukku, namun aku sendiri tak mengenalnya sama sekali apakah itu.”

1 komentar:

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine