Desa-desa Kita: Sepotong Kegelisahan

| Desember 21, 2010 | Sunting
Sebuah desa di perbatasan Klaten - Gunungkidul
Kebencian. Seperti apakah wujud binatang yang satu ini? Hmm... tak ada salahnya kita sejenak menengok deskripsi Paulo Coelho atas kebencian melalui Veronika dalam novel dengan judul yang sama, ”kebenciannya sudah lepas kendali, ia telah membuka pintu menuju neraka pribadinya. Ia membenci kasih sayang yang diberikan kepadanya, kasih sayang yang tanpa pamrih, musykil, menggelikan.

Ia adalah seorang pasien sebuah rumah sakit jiwa. Jiwanya gelisah. Kompleks: cinta, benci, impulsif, dari hari ke hari terus membangun kebencian. Letupan-letupannyapun ekstrem: dari mimpi hingga masturbasi. Ia menggugat dirinya, ”Apa yang membuat orang benci kepada diri mereka?”


Manusia-manusia yang sakit, jiwa-jiwa yang resah, oleh penulis The Alchemist ini diramu dalam pergulatan kesia-siaan, keputusasaan, dan lorong gelisah pencarian untuk bisa membenci setotal-totalnya, atau sebaliknya: menyayangi sehabis-habisnya. Tetapi, bisakah sebuah kebencian dibangun untuk dikelola, lalu dipancarkan sebagai energi positif?


Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata menciptakan nalar kekecewaan, kemarahan, kebencian, dan dendam untuk sebuah energi penaklukan. Maryamah, alias Enong, bertahan dari kesengsaraan batin akibat interaksi sosial yang tak memihak nasibnya. Sebagai anak penambang timah ia diburu oleh otoritas kekuasaan dan premanisme laki-laki, dan sebagai perempuan ia dipurukkan oleh Mataram, simbol kemachoan Melayu yang eksis lantaran rezim permainan caturnya.

Jeritan, pemberontakan, kebencian Maryamah diluapkan sebagai energi pembalasan untuk memurukkan Muhtarom di papan catur. Dan, ia hadir dari sebuah lorong bukan siapa-siapa menjadi simbol kedahsyatan eksistensial...

***
Sepotong pembelaan melekat dari kenangan masa kecilku: tentang dua orang buruh pembangunan SMP di daerahku. Tiap kali, album lama itu seperti kilas balik. Hanya karena kecurigaan dua buruh asal Sukoharjo itu mendekati dua cewek di desa kami, sekelompok pemuda mencegatnya. Hampir saja keduanya dikeroyok, untungnya argumentasi mereka dengan cepat membubarkan massa yang (sebenarnya) memang tidak beralasan untuk mengopinikan kebencian.

Yah, aku sebenarnya hanya ingin mengisahkan tentang pergerakan psiko-sosio-kultural yang entah sejak kapan persisnya, membuat desaku – desa kami kami tepatnya- perlahan berubah.


Apakah alih fungsi lahan, pertambangan liar, penggundulan hutan yang membuat pergeseran cuaca di daerah kami, menciptakan pula perubahan atmosfer karakter yang semula dibalut dinginnya cuaca khas pegunungan?


Yah, betapa mudah percekcokan dipicu oleh kerehtemehan: sepeda motor disalip di jalan, suara klakson, atau sekedar berebut tempat mencuci di sumur bersama. Semua itu, sepertinya, hanyalah dalih pembenaran dari segala bentuk tindakan responsif, yang kadang cenderung anarkis.


Sedang sakitkah desa-desa kita? Ada pergerakan di sana, yang mungkin tak disadari sebagai ekspresi melawan kediaman yang selama ini berlangsung. Ada letupan ”inilah aku” dari sekelompok orang untuk membangun status dari strata tertentu.


Tulisan: Suara Merdeka | Gambar: Paronamio

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine