I have always imagined that Paradise will be a kind of library. ― Borges
Perpustakaan utama IIUM |
Perpustakaan adalah tempat yang begitu familiar bagi saya. Perpustakaan yang pertama saya kenal adalah perpustakaan SD saya, SDN 1 Tancep, Ngawen, Gunungkidul, DI Yogyakarta. Ketika itu, perpustakaan menempati sebuah ruang kelas di sisi timur sekolah. Isinya, sebagaimana lazimnya perpustakaan di masa itu, adalah beberapa lajur rak buku dan juga beberapa lemari kayu yang kami sendiri tidak tahu apa isinya karena selalu dikunci. Di atas lemari berjajar beberapa piala ataupun plakat yang sudah demikian berdebu!
Koleksi buku didominasi oleh buku paket (buku pendamping pelajaran, saat itu semua buku masih dipinjami oleh sekolah), diikuti buku cerita rakyat semacam Asal-usul Banyuwangi, Sangkuriang dan juga buku-buku keterampilan. Saya ingat saya pernah membaca buku cara bertanam tomat, cara bertukang dan juga buku cara membuat mesin penetas. Sayangnya, perpustakaan SD kami tidak buka setiap hari. Seringkali bahkan perpustakaan dibuka karena kami mengendap-endap mengikuti guru yang masuk perpustakaan untuk mengambil buku saat jam istirahat.
Tidak ada meja baca di perpustakaan SD kami. Kami hampir selalu duduk di lantai ketika membaca. Oh ya, juga tidak ada sistem peminjaman yang jelas karena waktu itu tidak ada satupun petugas yang menjaga perpustakaan. Begitulah, perpustakaan SD kami adalah layaknya room-requirement-nya Harry Potter. Ia ada ketika memang dibutuhkan saja. Meski begitu, perpustakaan ini tetaplah bagian penting selama masa SD saya. Di sanalah saya menemukan kumpulan peta Indonesia secara lengkap untuk pertama kalinya - yang lantas membuat saya begitu mencintai peta. Di sana pula saya menemukan buku koleksi kebudayaan terbitan TMII yang menyuguhkan ragam budaya dari seluruh Indonesia. Pemantik keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat yang jauh, juga untuk pertama kalinya.
Koleksi buku didominasi oleh buku paket (buku pendamping pelajaran, saat itu semua buku masih dipinjami oleh sekolah), diikuti buku cerita rakyat semacam Asal-usul Banyuwangi, Sangkuriang dan juga buku-buku keterampilan. Saya ingat saya pernah membaca buku cara bertanam tomat, cara bertukang dan juga buku cara membuat mesin penetas. Sayangnya, perpustakaan SD kami tidak buka setiap hari. Seringkali bahkan perpustakaan dibuka karena kami mengendap-endap mengikuti guru yang masuk perpustakaan untuk mengambil buku saat jam istirahat.
Tidak ada meja baca di perpustakaan SD kami. Kami hampir selalu duduk di lantai ketika membaca. Oh ya, juga tidak ada sistem peminjaman yang jelas karena waktu itu tidak ada satupun petugas yang menjaga perpustakaan. Begitulah, perpustakaan SD kami adalah layaknya room-requirement-nya Harry Potter. Ia ada ketika memang dibutuhkan saja. Meski begitu, perpustakaan ini tetaplah bagian penting selama masa SD saya. Di sanalah saya menemukan kumpulan peta Indonesia secara lengkap untuk pertama kalinya - yang lantas membuat saya begitu mencintai peta. Di sana pula saya menemukan buku koleksi kebudayaan terbitan TMII yang menyuguhkan ragam budaya dari seluruh Indonesia. Pemantik keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat yang jauh, juga untuk pertama kalinya.
Perpustakaan lain yang mengisi masa kecil saya adalah perpustakaan masjid. Bukan benar-benar perpustakaan sebenarnya, hanya sebuah lemari kecil yang berisi majalah-majalah Islam, buku khutbah dan beberapa buku keagamaan lainnya. Di lemari itulah saya membaca cerita bersambung Ketika Mas Gagah Pergi di An-Nida. Juga begitu menyukai salah satu rubrik di majalah Ummi yang memberitakan aktivitas dakwah di pelosok-pelosok Nusantara. Perpustakaan masjid kami pulalah yang membuat saya membaca Habis Gelap Terbitlah Terang! Saya sendiri sebenarnya juga masih bagaimana ceritanya kumpulan catatan harian Kartini ini bisa sampai di lemari masjid, tetapi sudahlah.
Buku penting lain yang juga saya baca dari perpustakaan masjid adalah sebuah buku kecil dengan sampul pink gelap terbitan Mizan yang saya sendiri lupa judulnya. Intinya buku ini memaparkan peran Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Betapa bapak Kimia ternyata adalah ilmuwan Islam, betapa konsep pesawat terbang pertama kali dicoba oleh cendekiawan Muslim dan lain sebagainya.
Saat itu, perpustakaan seolah menjadi kerajaan pribadi saya karena memang bukan tongkrongan favorit teman-teman sebaya saya. Semuanya berlanjut hingga saya masuk SMP. Bedanya, perpustakaan SMP saya di Bayat, Klaten, Jawa Tengah memiliki pengunjung yang lebih banyak - walaupun tetap sedikit bila dibandingkan dengan jumlah murid. Tidak seperti perpustakaan SD kami yang menjadi satu dengan lajur ruang kelas, perpustakaan SMP kami, SMPN 1 Bayat, menempati satu bangunan terpisah di sisi selatan lapangan sekolah.
Perpustakaan SMP kamipun lebih luas. Selain itu, ia juga memiliki beberapa pustakawan - di antaranya yang saya ingat adalah Bu Marta dan Bu Sri Rejeki. Selain itu juga memiliki sistem peminjaman yang lebih jelas, ada buku pengunjung dan juga menyediakan meja baca. Rak buku menempel ke dinding. Menyisakan ruang di bagian tengah untuk membaca. Koleksi buku perpustakaan SMP kami sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perpustakaan SD: dominasi buku paket, buku cerita dan buku keterampilan. Bedaya, juga ada koleksi novel teenlit (yang tidak pernah saya jamah), buku sejarah dan buku-buku lainnya. Meski demikian, koleksi perpustakaan yang paling banyak "dibaca" adalah... BUKU TAHUNAN!
Jangan bayangkan buku tahunan ini adalah buku tahunan keren yang sudah terkonsep sedemikian rupa. Bukan! Bentuknya adalah kertas folio, ditempel foto 3x4, kemudian diketikkan identitas si pemilik foto di sampingnya. Setelah itu dijilid dan diperbanyak. Sehingga seringkali fotonyapun hanya terlihat hitam. Meski begitu, murid-murid SMP saya begitu menyukainya. Membuka lembar demi lembar, tertawa cekikikan, berpindah ke halaman lain, tertawa lagi, begitu seterusnya!
Gempa yang melanda Yogyakarta dan Klaten pada Mei 2006 membuat Perpustakaan SMPN 1 Bayat saya berubah total. Sekolah kami hampir rata dengan tanah karena digoyang gempa. Buku-buku perpustakaan lama kami, kata mbak Rini - istri tukang kebun sekolah, sebagian besar dijual ke tukang rosok (pengumpul barang bekas). Nah, Titian Foundation bersama ROTA , donor kami, membangun kembali sekolah yang sudah rata tanah, mereka turut membangun sebuah perpustakaan paling yang sangat nyaman.
Meja Sibuk - Perpustakaan SMPN 1 Bayat :D
|
Perpustakaan baru kami kala itu memiliki lebih dari 2000 koleksi dengan tajuk yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Perpustakaan baru yang memperkenal saya dengan Pramoedya, N.H Dini, Putu Wijaya, Romo Mangun, hingga penulis-penulis manca semacam J.K Rowling, Han Nolan, Khaled Hossaeni hingga Harper Lee. Juga membuat saya membaca buku-buku dongeng bergambarnya Hans Christian Andersen. Ataupun seri kocaknya Roald Dahl. Perpustakaan baru inilah yang lantas membuat saya betah di sekolah karena jam bukanya yang sampai sore. Perpustakaan yang lantas juga merombak mind-set bahwa perpustakaan itu harus sepi, bau buku yang khas, sedikit gelap dan horor!
Bagian terpenting perpustakaan baru ini adalah pustakawan yang penuh dedikasi. Donor kami memperkenalkan sistem perpustakaan yang lebih terstruktur dengan bantuan teknologi, sehingga tenaga-tenaga baru lantas direkrut. Mereka yang lebih dari sekadar menjaga perpustakaan mereka juga menjadi teman, guru dan saudara kami: mbak Ning, mbak Ratih, mbak Sungsang dan bu Marta (pustakawan lama kami). Juga tentunya Bu Naning, koordinator (sepanjang masa) perpustakaan SMPN 1 Bayat :) Saat itulah kali pertama saya menemukan ada komunitas dongeng di perpustakaan, ada komunitas menulis di perpustakaan hingga nonton film bareng di perpustakaan! :)
Di perpustakaan baru ini pulalah saya diperkenalkan dengan kerja-kerja sukarela. Perpustakaan memberi kesempatan siswa untuk menjadi sukarelawan perpustakaan, membantu pustakawan menjalankan tugasnya. Menata buku, melayani peminjaman, membantu pengunjung untuk mencari buku sampai menghias perpustakaan! Di mading perpustakaan juga puisi-puisi dan tulisan saya dimuat untuk pertama kalinya, huhu *ini bagian yang paling saya rindukan :")*
Yah, begitulah, perpustakaan lantas menjadi bagian dari keseharian saya semenjak perpustakaan baru SMP itu berhasil mengubah mind-set saya. Ketika saya SMA misalnya, walaupun kondisi perpustakaannya sama dengan perpustakaan kebanyakan, tetapi saya bisa menggali sisi-sisi menyenangkannya. Mulai dari seni berburu buku-buku lawas semacam Max Havelaar dan Sitti Nurbaya (yang seringkali sudah tidak lengkap halamannya), mencuri-curi baca novel-novel bertema kasur karya Fredy S, hingga bagaimana menjalin hubungan persahabatan dengan petugas yang nyatanya sangat bermanfaat!
Pustakawan SMPN 1 Bayat: Mbak Sungsang, Mbak Ratih, Mbak Ning
|
Dan sampai sekarang, perpustakaan bisa dibilang adalah dermaga yang paling banyak saya singgahi. Bukan untuk melulu membaca - apalagi akhir-akhir ini saya lumayan malas membaca - tetapi juga membuka keran-keran ilmu dari berbagai hal yang saya temui di sana. Mari mencintai perpustakaan :)