Malam Takbiran di Negeri Jiran

| Oktober 15, 2013 | Sunting
Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, semarak mungkin adalah kata yang terlintas dalam benak begitu mendengar Idul Fitri atau Idul Adha. Meskipun biasanya Idul Fitri terasa lebih semarak karena dibarengi dengan prosesi mudik, tetapi bukan berarti budaya perayaan menyambut Idul Adha sepi-sepi saja. 

Keduanya menyajikan sensasinya masing-masing. Idul Fitri seringkali identik dengan prosesi mengunjungi rumah tetangga dan sanak saudara untuk bermaaf-maafan, juga kebiasaan memasak ketupat ataupun kue apem. Sementara, semarak Idul Adha ditunjukkan dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang kadang dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. 

Di desa saya, pada hari penyembelihan, kawasan masjid sudah ramai sejak pagi: ada yang menonton prosesi penyembelihan hewan, membantu prosesnya, hingga menunggu pembagian daging.
Takbir Keliling - Jogja
Namun, di atas itu semua, kedua hari raya ini sama-sama identik dengan Malam Takbir. Pada malam hari sebelum perayaan kedua hari raya ini, umat Muslim bersama-sama melantunkan takbir dan shalawat-shalawat pujian dari pusat-pusat ibadah. Dari prosesi turun temurun ini lantas lahirlah berbagai variasi lain: arak-arakan bedug ataupun lampion, takbir keliling hingga lomba takbir. Semuanya dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia karena bisa kembali merasakan datangnya kedua hari suci tersebut. 

Malam-malampun lantas menjadi lebih semarak dengan kembang api ataupun terkadang petasan. Terlepas dari dalil-dalil yang sering kali diperdebatkan, bagi saya semarak tersebut sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam menyambut kedua Hari Raya. 

Dan semarak semacam itulah yang selalu membuat dua malam Hari Raya saya selama di Malaysia (Idul Adha tahun ini dan tahun lalu), menjadi mellow berbau drama. Saya sendiri setuju bahwa semangat Hari Raya seharusnya lebih pada semangat batiniyah, bukan lahiriah. Tapi, hidup jauh dari rumah membuat saya merasa bahwa semangat Idul Adha juga merupakan semangat lahiriah yang ditunjukkan dengan parade beduk, takbir keliling ataupun duduk bertakbir di masjid semalam suntuk. Dan itulah yang tidak bisa saya temukan di Malaysia. Suasanaalam takbir bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan malam-malam biasa. Suara takbir hampir tidak terdengar. Di beberapa kawasan yang banyak ditinggali oleh orang Indonesia - seperti kawasan Chow Kit, sih katanya tradisi takbiran masih ada, namun itupun cukup jauh dari kampus dimana saya belajar dan tinggal. Sehingga sayapun memilih memutar video takbir dari Youtube.

Beberapa kawan Malaysia yang saya tanyaipun tidak bisa memberikan jawaban apa-apa kecuali gelengan kepala ketika saya tanya perihal takbiran pada malam hari raya. Beberapa menambahi jawabannya dengan, "Memang dari dahulu selalu begini kok (selalu sepi)!" Bandingkan dengan apa yang ada di tanah air, tak jarang momentum Idul Adha menjadi ajang kompetisi televisi-televisi untuk meraup rating dengan berbagai acara berbau Idhul Adha ataupun Idhul Fitri.

Sepinya suasana malam takbiran di Malaysia itulah yang menurut saya membuat banyak orang Indonesia yang memilih untuk berliburan ke negera ini di libur hari raya. Kalau tidak percaya, coba saja mengunjungi pusat keramaian seperti kawasan Bukit Bintang atau KLCC di "malam takbiran", akan begitu mudah mata kita untuk menangkap tanda-tanda keberadaan pelancong Indonesia di sana. Saya sendiripun baru saja pulang dari acara ngumpul bersama beberapa kawan, yah... ngumpul haha hihi di malam takbiran!

Selamat Idhul Adha... Salam rindu untuk tanah airku, semoga ini adalah pengorbananku untuk selalu membuatmu bangga dan tertawa. :')

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine