Kisah Sepenggal Siang: Syukur

| Oktober 10, 2013 | Sunting
Entah kenapa pagi ini kumulai dengan perasaan penat. Kelas pukul 08:30 kudatangi dengan langkah gontai, malah sedikit terlambat. Ada hal yang sebenarnya sudah kuselesaikan semalam, namun seseorang mengacaukannya sehingga aku harus mengulangnya dari awal. Terang saja aku sebal. Dan perasaan ini terbawa ke kelas, kemana-mana.

Selepas kelas aku memutuskan untuk pulang ke kamar, sekitar pukul 12:30. Pikirku bisa tidur dulu sebelum melanjutkan kelas pukul 15:30. Berharap perasaanku akan membaik begitu aku bangun. Namun, keluar dari kelas aku malah mampir ke tempat jualan seorang kawan. Dan tentu saja kemudian kami malah ngobrol. Obrolan baru selesai ketika azan berkumandang, seorang karib mengajakku tunaikan kewajiban.

Perasaanku sudah sedikit lebih baik ketika aku akhirnya melangkahkan kaki ke mahallah. Namun, Sang Pembuat Rencana ternyata sudah merencanakan sesuatu yang lain. Tak biasanya dari kampus aku memilih jalan memutar menuju ke kamar. 

"Leee... Leee...", terdengar suara memanggilku. Aku yang bingung dari mana asalnya suara hanya melihat sekeliling. Panggilan kembali terdengar, kini disertai tepukan tangan. Ternyata dari bawah tangga asrama. Aku mendekat. Ternyata ada Ibu-ibu petugas kebersihan asrama yang tengah beristirahat siang. Di hadapan mereka terhidang aneka rupa buah-buahan.

"Kene... Kene.. Rujakan... Mari... Mari.. Makan rujak!" Yah, Ibu-ibu tadi tengah membuat rujak. Ada mangga, kedondong, jambu, juga nanas. Aku melepas alas kakiku, duduk bersama mereka. Adegan selanjutnya sudah jelas tentu saja: makan rujak bersama.
Mak - Full team
Oh ya, sebagian besar petugas kebersihan asrama adalah orang Indonesia, salah satunya pernah kuceritakan di sini. Dan sejak awal masuk IIUM, aku lumayan akrab dengan beberapa dari mereka. Saking akrabnya aku bahkan memanggil mereka dengan panggilan "Mak", panggilan yang selama ini hanya kugunakan untuk memanggil Mamak, ibu saya. 

Kami kadang-kadang makan siang bersama, sambil ngobrol ngalor ngidul membicarakan berbagai hal. Kami semakin akrab karena kesamaan bahasa: bahasa Jawa. Awalnya aku masih menggunakan bahasa Jawa halus ketika berbicara dengan mereka, tanda hormat kepada yang tua. Tapi, lama kelamaan aku malah ditegur dan disuruh untuk menggunakan bahasa Jawa ngoko saja, tingkatan bahasa Jawa yang salah satunya digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya. "Seperti ngomong sama siapa aja pakai bahasa halus!", ujar mereka.

Ibu-ibu tadi terkadang juga mengirim makanan: kerupuk, pisang, rempeyek bahkan pernah juga rendang dan bakso. Mereka pun tak canggung meminta pertolongan apabila memang sedang perlu: mengisikan MP3 ke handphone, mengirimkan surat ke Indonesia, mengartikan surat ataupun edaran berbahasa Inggris dan pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Namun karena satu hal yang terlalu rumit untuk saya cerita, kawan akrab saya tersebut dipindah tugaskan ke tempat lain. Dan karena itulah intensitas pertemuan kami berkurang - tapi beberapa kali mereka bermaksud memberi makanan tapi karena tidak berjumpa akhirnya diberikan seorang kawan. Sehingga, bisa dibilang pertemuan tadi siang adalah semacam reunian :')

Saya duduk begitu saja bersama mereka di lantai. Meski sebenarnya seharian belum makan, tetapi begitu melihat potongan-potongan mangga muda di atas piring, saya langsung lahap. Sambil makan, seperti biasa, kami ngobrol. Atau lebih tepatnya saya mendengarkan berbagai cerita mereka, ada terlalu banyak hal yang sepertinya ingin mereka ceritakan sepertinya. Mulai dari seorang petugas kebersihan yang sudah melahirkan, permit kerja yang tidak kunjung keluar, mesin semprot yang rusak hingga "kehidupan" yang lebih baik di tempat kerja yang baru. 

Jadi, ceritanya, mereka ini sebenarnya adalah semacam petugas kebersihan teladan. Di bawah kendali mereka, saya bisa mengatakan bahwa blok asrama di mana saya tinggal adalah blok paling bersih di antara asrama-asrama lainnya. Kamar mandi kami paling mengkilat! Toilet kamipun kinclong! Area asrama juga asri, dipenuhi berbagai macam tanaman. Dan dengan kerja yang jempolan akhirnya mereka mendapat perlakuan khusus dari kantor asrama. Dan sejak saat itulah banyak pekerja lain yang iri, termasuk team leader-nya. Sehingga berbagai intrikpun berjalan yang akhirnya berujung pada pemindahan Mak petugas kebersihan asrama kami :'(

Di satu sisi saya senang ketika mereka terbuka dengan kehidupan mereka, karena tandanya mereka nyaman dengan saya. Tapi, di sisi lain, dengan cerita yang demikian saya jadi kasihan. Dan itulah yang seringkali terjadi: orang-orang yang aktif kerja seringkali terkalahkan oleh mereka yang aktif bicara - termasuk di antaranya menebar fitnah.

Tapi sudahlah, mereka sudah menemukan kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru. :) Bahkan mereka berusaha merayu saya untuk ikut merasakan kehidupan yang lebih baik tersebut dengan mengusulkan untuk pindah kamar saja ke kompleks asrama dimana mereka sekarang bekerja, hehe.

Sang Pembuat Rencana ternyata telah menyiapkan rencana terbaiknya. Dan menghabiskan siang bersama Mak-mak tadi berhasil menjadi mood-booster saya. Apalagi tadi siang adalah hari gajian, sehingga mereka memiliki lebih banyak bahan obrolan.
Menghitung Gaji
"Duit wolungngatus ringgit, telungatus dikirim kat Indon! Isih limangatus, sik rongatus dinggo arisan. Isih telongatus. Utang ke Kak Tinah, tujuh puluh, isih rongatus telungpuluh. Bayar pulsa sepuluh, rongatus rongpuluh! Yah, lumayan iso mlebu celengan!"

Terjemahan: (Dapat) gaji delapan ratus ringgit, tigaratus ringgit dikirim ke Indon! Masih limaratus ringgit, yang duaratus untuk arisan. Masih sisa tigaratus. Untuk bayar hutang ke Kak Tinah tujuhpuluh, masih duaratus tigapuluh. Untuk bayar pulsa sepuluh ringgit, masih ada sisa duaratus duapuluh. Yah, lumayan bisa ditabung!

"Koseeekk. Duit klambi seket urung dibayar. Duit emas satus rongpuluh. Hayoo!"

Terjemahan: Sebentar. Uang membayar jahitan baju belum dibayar, limapuluh ringgit. Uang emas, seratus duapuluh ringgit. Hayooo!
Membayar Hutang
Oh ya, uang emas yang Mak-mak ini maksud bukan uang untuk membeli emas, tetapi biaya menitipkan emas! Akhir-akhir ini pemerintah Kerajaan Malaysia sedang gencar melakukan razia pekerja asing tanpa izin. Mereka yang tertangkap biasanya langsung dideportasi, sehingga akhirnya mereka menitipkan harta benda mereka ke seseorang dengan membayar sejumlah uang. Dan akhirnya, uang delapan ratus ringgitpun bersisa limapuluh ringgit! Tapi, mereka tetap saja tertawa, dengan begitu bahagia.

Sepenggal siang yang benar-benar mengembalikan mood saya. Saya merasa begitu senang. Apalagi di akhir perjumpaan mereka mengundang saya untuk ikut santap Jum'at besok pagi. Horee.. Dan, menunya.. Tebak apa coba? Menunya katanya bubur sumsum! Aaaa, pelepas rindu banget!

Yah, konklusi saya: hidup kadang memang terasa begitu sulit. Namun, ada banyak hal yang seharusnya membuat kita lebih banyak bersyukur. Orang-orang yang jauh dari tanah kelahiran. Orang-orang yang bekerja di bawah rasa takut. Orang-orang yang menerima gaji untuk kemudian habis sekali waktu. Orang-orang yang masih bisa tertawa meskipun seharusnya mereka bisa saja memilih untuk menangis ataupun mengeluh. Semoga kita menjadi makhluk yang senantiasa bisa bersyukur :')

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine