Kaos kampanye Jokowi -JK & Prabowo Hatta |
Saya masih ingat betapa 5 tahun lalu, masa pemilihan presiden adalah masa yang hangat di desa kami. Rasanya setiap waktu bersama akan selalu terselip sesi untuk membicarakan calon presiden. Terlebih, desa saya sudah lama menjadi daerah kantong suara sebuah partai peserta pemilu. Ditambah lagi, seorang calon presiden kala itu berasal dari daerah yang tidak jauh dari daerah kami. Bahkan, bisa dibilang tetangga dekat karena mirip secara kondisi geografis: kawasan gunung berbatu. Praktis pemilihan presiden menjadi buah bibir dimana-mana: dibicarakan dan didengar siapapun. Mamak sering berbagi cerita tentang berbagai topik pembicaraan ibu-ibu selama berbelanja pagi di pedagang sayur. Sementara topik pembicaraan bapak-bapak sendiri saya kadang mendengar langsung. Adik saya yang paling kecil kala itu sering membawa pulang berbagai stiker kampanye dari calon ABC, kemudian diam-diam menempelkannya di pintu lemari. Begitulah.
Lima tahun berlalu. Saya tidak sedang di rumah kali ini. Padahal, saya ingin sekali memutuskan pilihan ini di rumah. Di tengah-tengah pembicaraan bapak dan mamak yang seringkali gayeng. Mamak adalah orang yang cenderung lebih realistis, mengikut data atau paling tidak berdasarkan fakta. Sementara Bapak cenderung nggrambyang dengan mencampur adukkan berbagai materi – campuran hasil bacaan, kata orang dan klenik. Tetapi itu yang terasa asyik. Pembicaraan terasa lebih berwarna dan saling meng-cross-check.
Calon presiden yang hanya sepasang sebenarnya cukup memudahkan saya sebagai calon pemilih. Segampang, kalau tidak mau pilih dia yowis, pilih yang sisanya saja. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Benar bahwa calon yang ada merupakan calon terbaik untuk Indonesia, tetapi mereka bukanlah yang saya ekspektasikan untuk mengarungi pertarungan bernama Pilpres 2014 ini. Atau dengan kata lain, saya masih belum bisa move-on dari ekspektasi saya yang sebenarnya sudah kadaluwarsa. Ditambah lagi, ada berbagai catatan tidak mengenakkan yang sudah kadung terpatri dalam benak saya terhadap masing-masing calon.
Hal ini lantas diperparah dengan pendukung masing-masing calon yang bagi saya belum cukup dewasa untuk menjadi bagian dari pertarungan head-to-head para calon presiden kita. Facebook, misalnya, rasanya sudah berubah menjadi Fitnahbook yang penuh dengan rumor dan isu yang kadang ujung-ujungnya hoax. Tetapi mau bagaimana lagi kalau sudah kadung disebarkan oleh ribuan orang? Belum lagi dengan mesin kampanye masing-masing calon yang tidak segan untuk menyerbu orang-orang yang tidak sepaham *bagian ini adalah curhat*
Belum lagi dengan fenomena filter-bubble yang rasanya membuat banyak orang memasang jurus kaca mata kuda. Oh ya, filter-bubble itu semacam… Begini gampangnya (saya salin dari status Mas Fajar Sofyantoro), si X adalah fans berat calon ABC. Di tengah heboh copras-capres ini, ia hanya akan like dan comment status W, Y dan Z yang sama-sama pro calon ABC. Berita yang ia share-pun melulu berita yang pro pada si calon – yang juga sudah cenderung terbaca dari media mana. Setiap kali ada tautan dari media lain, terutama yang menjelek-jelekkan calon yang ia dukung, tidak akan ia hiraukan lagi.
Si X melakukan hal tersebut secara intensif, begitu-begitu saja selama lebih dari 2 pekan. Nah, karena algoritma Facebook memastikan news feed yang muncul adalah dari teman-teman yang paling dekat dengan si X (yang sering di-like, yang sering di-share dan sebagainya), maka kemungkinan besar yang muncul di dinding si Xpun hanya status-status W, Y, Z serta berita-berita yang semuanya pro ABC.
Si P yang sering mengkritik ABC misalnya, walaupun berteman dengan X, W, Y dan Z tetapi statusnya mungkin jarang muncul di news-feed si X. Kenapa? Karena baik W, Y dan Z juga tidak pernah like atau comment di status P. Algoritma Facebook pun kemudian menyimpulkan bahwa P adalah teman jauh.
Akhirnya si X jadi sangat jarang menjumpai opini-opini yang berlawanan, dan membuatnya terisolasi di bubbles atau gelembung-gelembung ide dan keyakinan kelompoknya sendiri. Inilah yang kira-kira disebut dengan konsep filter bubble, diperkenalkan oleh Eli Pariser pada 2011. Apa kira-kira efek negatifnya?
- Bisa menciptakan pemahaman paling benar sendiri dan bebal terhadap kritik.
Karena selalu disodori opini dan pandangan pro ABC, X semakin jauh dari opini dan pandangan di luar itu. Walaupun si P menulis kritik bagus dan konstruktif tentang ABC, tidak akan sampai ke newsfeed si X. Akhirnya semakin lama semakin terbentuk pemikiran “pokoknya ABC yang paling benar, yang lain salah”. - False-consensus effect.
Kalau X ditanya, “Seberapa tingkat penerimaan ABC di publik sekarang?”, bisa jadi serta-merta dia akan menjawab, “Wah, sangat bagus. Di news feed FB saya semuanya memuji ABC.”Ini yang disebut false-consensus effect: kecenderungan orang untuk overestimate bahwa orang lain semua sepaham dengan dia. Dalam kondisi biasa saja efek ini umum berlaku, apalagi kalau diperburuk dengan filter bubble.
Lebih jelasnya, sang empunya ide menuturkannya di sini:
Eli menjelaskan, masalah muncul karena filter-bubble membuat semacam kategorisasi informasi unik yang "sesuai" dengan diri kita, tetapi kita tahu informasi apa saja yang tidak masuk dalam kategorisasi tersebut. Ketika internet dicipta, manusia melihatnya sebagai pembebasan dari belenggu sensor yang dilakukan oleh manusia, tetapi nyatanya teknologi menggantikan posisi dalam penyaringan informasi tersebut.
Dan, yah, kira-kira itulah yang terjadi – paling tidak di antara teman-teman saya. Para pendukung calon satu sudah bisa ditebak apa saja makanannya: berita baik calon satu dan berita buruk calon dua. Begitu pula dengan pendukung calon dua, makanan sehari-harinya adalah berita baik calon dua dan berita buruk calon satu. Kalau terus begitu, bagaimana mau nyambung? Padahal, rasanya, Indonesia butuh sosok-sosok yang dewasa, fair dan objektif, serta berpikiran terbuka. Bukan hanya yang selalu memuji-muji kebaikan calon yang didukungnya, tetapi juga bagaimana caranya mengakui apabila calon yang lain mempunyai kelebihan atau kebaikan.
Pada tahap ini, mungkin kita bisa menyangkal, Facebook dan berbagai sosial media lainnya kan "hanya" rumah bagi segelintir masyarakat Indonesia. Belum lagi akun-akun bodong, online-shop dan seterusnya. Tetapi, kerasnya guliran kampanye hitam di media sosial misalnya, nyatanya disebut-sebut sudah masuk ranah mempengaruhi pemilih. Selain itu, Kompas juga mencatat, "Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye menginggung secara langsung realitas kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan."
Di tengah kondisi yang sedemikian rumit inilah Tuan Presiden berpetuah. Melalui laman Facebook pribadinya, Tuan Presiden menulis, "Di dalam Al Quran Allah SWT menegaskan, kadagkala manusia sangat suka akan sesuatu padahal dibalik yang disukai itu terdapat hal-hal yang tidak baik bagi mereka.. Kadangkala manusia sangat tidak suka akan sesuatu, pada dibalik yang tidak mereka sukai itu terdapat banyak hal yang membawa kebaikan."
Petuah Tuan Presiden tersebut paling tidak menyiratkan beberapa pesan. Terutama agar kita lebih terbuka dalam soal pilihan. Benar, memilih adalah proses mengejawantahkan rasa yang sangat personal. Tetapi, di luar itu, kita tetap rasional dalam membedakan fakta yang objektif dengan pilihan subjektif kita. Fakta adalah fakta, premis positif yang kemungkinan ternegasikan kebenarannya begitu kecil. Sementara pilihan adalah suara hati yang sangat tergantung pada diri kita sendiri. Pilihan kita bisa jadi sudah sangat benar untuk diri kita sendiri, namun bisa jadi sebaliknya ketika dilihat oleh orang lain. Mari belajar membuka mata, melihat lebih jauh, lebih terbuka.
Selamat menentukan pilihan. Sampai jumpa 9 Juli nanti.
Sumber Foto: Sinar Harapan
Eli menjelaskan, masalah muncul karena filter-bubble membuat semacam kategorisasi informasi unik yang "sesuai" dengan diri kita, tetapi kita tahu informasi apa saja yang tidak masuk dalam kategorisasi tersebut. Ketika internet dicipta, manusia melihatnya sebagai pembebasan dari belenggu sensor yang dilakukan oleh manusia, tetapi nyatanya teknologi menggantikan posisi dalam penyaringan informasi tersebut.
Dan, yah, kira-kira itulah yang terjadi – paling tidak di antara teman-teman saya. Para pendukung calon satu sudah bisa ditebak apa saja makanannya: berita baik calon satu dan berita buruk calon dua. Begitu pula dengan pendukung calon dua, makanan sehari-harinya adalah berita baik calon dua dan berita buruk calon satu. Kalau terus begitu, bagaimana mau nyambung? Padahal, rasanya, Indonesia butuh sosok-sosok yang dewasa, fair dan objektif, serta berpikiran terbuka. Bukan hanya yang selalu memuji-muji kebaikan calon yang didukungnya, tetapi juga bagaimana caranya mengakui apabila calon yang lain mempunyai kelebihan atau kebaikan.
Pada tahap ini, mungkin kita bisa menyangkal, Facebook dan berbagai sosial media lainnya kan "hanya" rumah bagi segelintir masyarakat Indonesia. Belum lagi akun-akun bodong, online-shop dan seterusnya. Tetapi, kerasnya guliran kampanye hitam di media sosial misalnya, nyatanya disebut-sebut sudah masuk ranah mempengaruhi pemilih. Selain itu, Kompas juga mencatat, "Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye menginggung secara langsung realitas kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan."
Di tengah kondisi yang sedemikian rumit inilah Tuan Presiden berpetuah. Melalui laman Facebook pribadinya, Tuan Presiden menulis, "Di dalam Al Quran Allah SWT menegaskan, kadagkala manusia sangat suka akan sesuatu padahal dibalik yang disukai itu terdapat hal-hal yang tidak baik bagi mereka.. Kadangkala manusia sangat tidak suka akan sesuatu, pada dibalik yang tidak mereka sukai itu terdapat banyak hal yang membawa kebaikan."
Petuah Tuan Presiden tersebut paling tidak menyiratkan beberapa pesan. Terutama agar kita lebih terbuka dalam soal pilihan. Benar, memilih adalah proses mengejawantahkan rasa yang sangat personal. Tetapi, di luar itu, kita tetap rasional dalam membedakan fakta yang objektif dengan pilihan subjektif kita. Fakta adalah fakta, premis positif yang kemungkinan ternegasikan kebenarannya begitu kecil. Sementara pilihan adalah suara hati yang sangat tergantung pada diri kita sendiri. Pilihan kita bisa jadi sudah sangat benar untuk diri kita sendiri, namun bisa jadi sebaliknya ketika dilihat oleh orang lain. Mari belajar membuka mata, melihat lebih jauh, lebih terbuka.
Selamat menentukan pilihan. Sampai jumpa 9 Juli nanti.
Sumber Foto: Sinar Harapan
Benar bro.. Ana aja kecewa udah mutusin untuk milih Jokowi cuma berdasarkan apa yang ana lihat di FB aja. Nyatanya sekarang ana dibuat kecewa oleh manuver-manuver politik Jokowi. Ada banyak hal yang dulu ana baca di FB dimentahkan sendiri oleh tindakan dia. Gak lagi-lagi deh ana. Harus lebih bisa memilah dan memilih informasi nih. Salam.
BalasHapusHehe. Saya tidak mau ikut campur kalau soal hal tersebut. Dan lagipula yang bersangkutanpun belum juga dilantik, rasanya terlalu prematur untuk menyebutnya ingkar. Salam.
Hapus