Sepotong Petang di Tokong Chin Swee

| Oktober 14, 2014 | Sunting
Pagoda sembilan lantai di Chin Swee
Jumat petang pekan kemarin, kami terjebak hujan di Tokong Chin Swee, Genting. Bukan terjebak sebenarnya, tetapi bisa dibilang menjebakkan diri. Sudah hampir dua minggi ini petang di Gombak dan sekitarnya selalu ditemani oleh guyuran hujan dan kami malah memutuskan untuk keluar sore-sore, sekitar pukul empat. Perjalanan Gombak - Genting ditempuh selama sekitar satu jam, Ali yang mengemudikan mobil. Saya duduk di kursi sampingnya, sementara Puspa dan Ami duduk di belakang. Sepanjang perjalanan kami penuhi dengan berbagai pembicaraan acak: mulai dari upacara sekolah, hingga obat-obatan.

Perbedaan utama kawasan tinggi Genting dengan Gombak ataupun KL adalah udaranya yang lebih dingin. Kelebihannya adalah jaraknya yang hanya sepelemparan batu dari KL. Itulah mengapa taipan Lim Goh Tong tertarik untuk mulai membangun kawasan ini hanya 8 tahun setelah Malaysia merdeka.

Mendiang Lim sendiri adalah Tionghoa totok. Leluhurnya berasal dari Penglai, Shandong tetapi sudah pindah dan menetap bagian selatan provinsi Fujian, pada sebuah daerah pegunungan bernama Anxi. Di tempat tersebutlah Lim Goh Tong dilahirkan pada 1918. Orang tuanya, Lim Shi Quan dan Goh Ban, adalah orang desa biasa yang bekerja sebagai penjual bibit sayuran dan kelinci untuk menghidupi ketujuh anaknya - Jing Ya, Lim Zhuang, Lim Bau, Lim See, Lim Goh Tong sendiri, Lim Mei dan Jing Kun yang paling muda.

Meski dilahirkan dalam masa transisi politik yang cukup kacau, Lim kecil tumbuh dalam kondisi yang cukup tentram di desanya. Bahkan ia diceritakan sempat mengenyam bangku sekolah. Hanya saja, kematian mendadak ayahnyalah yang lantas memaksanya berhenti sekolah untuk menghidupi keluarganya. Ia dan kakaknya meneruskan pekerjaan sang ayah menjajakan benih sayuran.

Patung Lim Goh Tong
Tahun 1937 Lim bertolak ke Malaya, waktu itu masih jajahan Inggris, melalui Singapura. Di Malaya, Lim menghidupi dirinya dengan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari tukang kayu di tampat pamannya, sub-kontraktor, bertani sayur, berjualan teh, berjualan barang bekas hingga akhirnya bergelut di bidang kontruksi kembali. Dan salah satu hasil karyanya yang masih bisa kita lihat hingga sekarang ya kawasan Genting yang dimulai tahun 1963. Proses pembangunannya selesai sekitar sepuluh tahun kemudian, dengan memanfaatkan tanah pemberian dua negeri: Pahang dan Selangor. Yah, tanah tempat berdirinya pusat wisata Genting yang terkenal itu didapat secara cuma-cuma dari pemerintahan dua negeri, konon dengan campur tangan para petinggi.

Tokong Chin Swee sendiri mulai dibina tahun 1975, setelah pembangunan Genting Highlands Resort selesai. Di bangun di lereng Gunung Ulu Kali, tokong ini merupakan bentuk terimakasih Lim Goh Tong atas keberhasilannya menyelesaikan proyek Genting. Melalui tokong di tengah gunung inilah Lim Goh Tong ingin menghadirkan tanah kelahirannya di Anxi ke bumi Malaysia.

Nama Chin Swee sendiri bukanlah nama yang asing bagi sebagian besar penduduk Anxi. Dilahirkan sebagai Chen Zhao Eng sekitar 900 tahun yang lalu, ia memulai hidup sebagai biarawan sejak usia yang sangat muda. Berkat ketekunannya dalam belajar, konon ia berhasil meraih tingkatan spiritualisme tertinggi dalam kepercayaan Budha. Selain itu, ia juga belajar ilmu pengobatan tradisional China yang membuatnya juga dikenal sebagai tabib yang gemar membantu sesama.

Keluhuran budi dan pemahamannya tentang ajaran agama juga membuat doanya "ampuh". Ketika wilayah Anxi dilanda kekeringan misalnya, doanya berhasil membuat Anxi kembali tercurahi air hujan. Karena itulah namanya dikenal hingga ke pelosok-pelosok An Xi. Paska kematiannya, ia dikenal sebagai Chin Swee.

Kisah yang mengakar di kalangan penduduk An Xi itu pulalah yang membuat Lim Goh Tong lebih mudah dalam mengumpulkan donasi pembangunan tokong tersebut - di luar donasi pribadinya, dari orang-orang An Xi yang merantau ke Malaysia. Namanya begitu dihormati oleh para pengikutnya, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendukung pembangunan tokong penghormatan untuk Chin Swee. Pembangunannya sendiri selesai tahun 1994.

Tokong ini terdiri dari beberapa bagian sebenarnya, tetapi karena hari yang sudah cukup sore kami memutuskan untuk langsung ke bagian atas tokong dimana merupakan sebuah tempat terbuka dengan pemandangan utama bentang alam yang hijau. Petang ini udara cukup dingin, membuat perut terasa begitu lapar. Kami berjalan mengitari beberapa bagian saja. Beberapa kali pula harus berteduh ketika hujan turun.

Selain sebagai tempat wisata, fungsi utama tokong masihlah sebagai tempat ibadah. Sehingga para pengunjung juga harus lebih mengerti situasi dan kondisi agar tidak mengganggu aktivitas-aktivitas peribadatan.

Sebuah patung Buddha berukuran besar terduduk menempel dengan dinding gunung dengan posisi tangan Shuni Mudra yang melambangkan kesabaran (mohon dibetulkan apabila saya salah sebut).
to·kong n kelenteng; toapekong

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine