Kami Makan Sushi Malam Ini

| Maret 20, 2015 | Sunting
Kami memutuskan untuk keluar malam ini. Setelah berbulan-bulan lamanya hanya bisa sekadar mencuri waktu di tengah kunjungan ke toko buku. Atau sore singkat sepulang aku mengajar di hari Minggu. Melalui pesan singkat, kami menyusun kanji untuk menonton Senyap yang ditayangkan di KL untuk pertama kalinya - bagian dari Freedom Film Fest 2015. Intinya kami sama-sama doyan, sehingga janjipun dapat dengan mudah diputuskan.

Kereta api penuh sesak. Memang jam pulang kerja. Tetapi kami beruntung masih bisa dapat tempat duduk. Tidak banyak percakapan di antara kami selama hampir limapuluh menit perjalanan. Dia hanya bertanya kapan aku akan mencukur rambut. Sudah, itu saja.

Seturun dari kereta, pemberhentian bus adalah tujuan kami. Aku sempat berbasa-basi menawarkan naik taksi sebenarnya. Tapi gampang saja ia membaca pemanis mulutku. "Gak usah sok punya duit!" Dan akupun setuju-setuju saja. Lagi pula masih ada waktu sekitar 45 menit lagi.

Sayangnya, segera setelah itu ia mulai menunjukkan dominasinya. Terutama atas pengetahuannya tentang dunia angkutan umum di KL. "Bus ini juga bisa kok ke tempat itu. Ayo, naik aja!" Dan begitulah, kami akhirnya naik bus-yang-katanya-lewat-lokasi-pemutaran-film. Walaupun aku sendiri tidak begitu yakin. Tetapi, jeda 45 menit cukup menenangkan hari: kalau salah masih bisa turun, lalu ganti kendaraan.

Bus berjalan. Agak sempoyongan karena penuh penumpang. Jalanan lengang. Syukurlah, batinku. Tetapi ternyata itu tidak bertahan lama karena bus lantas berbelok ke jalanan yang penuh sesak. Hatiku mulai tidak enak.

***

Pukul 19:57. Senyap seharusnya diputar 3 menit lagi. Tetapi aku sendiri tak tahu ada dimana kami. Dia berkali-kali mengulang maaf. Tak apa, balasku. Kalau tidak karena salah bus, kapan lagi kita bisa melihat lautan mobil seperti di Jakarta seperti ini?

***

Kami berjumpa pada suatu hari di dalam bus Transjakarta, saat bulan puasa. Jalanan macet. Waktu berbuka sebentar lagi. Tetapi tak ada tanda pergerakan sedikitpun dari bus yang kami tumpangi. Azan berkumandang begitu saja. Ia yang duduk di sampingku membuka tas, mengeluarkan botol minum. Membuka tutupnya. Kemudian menyorongkan cucup botol ke arah mulutnya.

Aku mungkin terlalu khusyuk memperhatikan botol minumnya hingga ia bertanya, "Puasa juga Mas?" Aku jawab dengan anggukan. Botolnyapun berpindah ke tanganku dengan cepat.

***

Kami beberapa kami makan bareng setelah peristiwa dalam Transjakarta itu. Kebetulan pula kegemaran kami sama: yang murah-murah saja. Kopaja atau Transjakarta sudah barang tentu jadi angkutan andalan. Kadang kami makan mie ayam di depan Kantor Pos Cikini. Kali lain kami makan Bubur Ayam jalan Tanjung, Menteng yang tersohor. Kalau sedang ingin makan masakan Padang, biasanya kami pergi ke Senen. Ada banyak Warteg enak murah juga di sana.

Kadang kala kami juga pergi nonton. Di belakang XXI TIM kebetulan ada tempat pemutaran film gratis, Kineforum. Tempat ini dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta. Film yang diputarpun macam-macam, baik film lokal maupun antarabangsa. Aku yakin kami termasuk pelanggan yang paling sering datang, saat itu. Apalagi kalau film yang diputar bertema sejarah. Pasti akan kami sempat-sempatkan datang karena memang sama-sama doyan. Apalagi jadwal pemutaran film di Kineforum adalah saat akhir pekan, jadi hampir pasti kami sedang lowong.

Satu kali kami pernah terdampar di warung sushi di Senayan. Itu makanan paling luar negeri (?) yang ia suka katanya. Aku jadi agak minder sebenarnya mendengar pernyataan tersebut. Seorang penggila sushi lain pernah menertawakanku sebelumnya karena aku menyantap sushi dengan sendok. Makanya aku kelewat girang begitu melihatnya makan sushi pakai... tangan! "Haha. Ternyata bukan aku ya yang paling ndeso!"

***

Yah, seringkali manusia membutuhkan waktu untuk sekadar mengolok-olok diri sendiri. Dan kami senang mendapatkan kesempatan itu, di tengah lautan mobil di sudut antah berantah Kuala Lumpur. Senyap batal kami tonton, tetapi ada kesenyapan lain yang berhasil kami dapatkan: kesenyapan hati masing-masing setelah sama-sama memperolok diri sendiri. Kami sekarang sedang mencari warung sushi. Lapar.

Dikirim dari Windows Phone.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine