Berawal dari batalnya nonton film Senyap kemarin malam, kami menyusun rencana-akhir-pekan-yang-tak-terduga di warung sushi, sambil menunggu datang makanan kami. Ia mengusulkan untuk nonton film saja. Sementara aku mengusulkan untuk datang ke KL Alternative Bookfest 2015. Mungkin karena masih diliputi oleh rasa bersalah, ia kemudian membatalkan usulannya. Dan kamipun pergi ke acara ini petang tadi.
Pasar Buku di Malaysia
Pasar buku di Malaysia sepenglihatan saya masih dipenuhi oleh novel-novel bertema cinta. Itu juga mungkin alasan kenapa buku-buku Habiburrahman begitu laku di sini. Fakta yang sama jugalah yang kemungkinan mendorong stasiun-stasiun TV rajin mengadaptasi novel-novel cinta ke layar kaca. Serial terkenal 'Rindu Awak 200%' misalnya, diangkat dari novel dengan judul yang sama. Atau yang sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini: Suami Aku Ustaz, film bioskop yang juga diadaptasi dari novel.
Seorang dosen saya pernah satu kali berkata, "Demi kestabilan ekonomi, bisa dibilang kami harus mengorbankan banyak kebebasan. Di antaranya ya kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Memang tidak ada larangan, tetapi polisi dapat datang setiap saat!"
Itu pula alasan kenapa saya lebih banyak berkutat dengan buku-buku berbahasa Inggris selama hampir tiga tahun di negeri ini. Buku-buku kuliah berbahasa Inggris. Novel-novel berbahasa Inggris. Koran dan majalah berbahasa Inggris. Satu dua buku berbahasa Malaysia yang saya bacapun kebanyakan merupakan karya terjemahan. Fakta ini pulalah yang membawa saya lebih akrab dengan jaringan toko buku semacam Kinokuniya ataupun Times dibandingkan dengan jaringan toko buku lokal seperti MPH dan Popular. Selebihnya bertualang di kedai-kedai buku bekas. Juga ke acara semacam Big Bad Wolf kalau memang sedang ada kesempatan (walaupun faktanya selalu disempat-sempatkan, hehe).
Apakah ini berarti tidak ada buku bagus terbitan (penerbit) Malaysia? Tidak juga tentunya. Bahkan tahun lalu, Penerbit Fixi - digawangi oleh penulis dan sineas Amir Muhammad, berhasil menggondol Bookseller International Adult Trade Publisher Award di London Bookfair. Bagaimana dengan penerbit-penerbit lainnya? Banyak buku bagus yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit indie. Lalu? Ya tentunya mereka tidak memiliki cukup akses untuk menembus jaringan toko buku besar (sebagaimana pula yang terjadi di Indonesia).
Beruntung kemudian ada banyak kegiatan yang turut memperkenal penerbit-penerbit tersebut bersama buku-bukunya. Mulai dari acara pemutaran film, pergelaran musik hingga yang benar-benar pameran buku. Yang terbaru ya yang kami kunjungi sepetang kemarin: KL Alternative Bookfest 2015
KL Alternative Bookfest 2015
Kegiatan ini satu rangkaian dengan Art for Grabs - juga pameran, dan sudah rutin diadakan sejak tahun 2008. Selain ada pameran, juga ada pemutaran film, diskusi, peluncuran buku hingga pembacaan naskah. Meskipun berangkat bersama, kami berdua berpisah tujuan begitu sampai di lokasi. Dia pergi melihat-lihat pameran seni. Sementara saya mendengarkan cuplikan naskah Hikayat Raja Babi - tulisan Usup ibn Abdul Kadir, pedagang keturunan India asal Semarang (ya, Semarang, Jawa Tengah!). Hikayat ini ditulis selama perjalanan niaganya ke Palembang dan selesai pada 12 Januari 1775. Naskahnya sendiri dipegang oleh keluarga penulis secara turun temurun, sebelum akhirnya jatuh ke tangan John Crawfurd dan dijual ke British Museum, pada 1842. Dari sinilah kemudian penerbit Fixi mengambil inisiatif transliterasi (dari tulisan Jawi ke tulisan latin) dan akan diluncurkan bulan Mei ini.
Ada sekitar 20 penerbit indie yang mengambil bagian dalam kegiatan ini, menawarkan berbagai jenis bacaan: dari kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel hingga berbagai buku non-fiksi. Juga ada zine-zine bertebaran. Beberapa penulis bukunyapun hadir dan menyapa para pengunjung. Saya sempat ngobrol sebentar dengan Irwan Bajang yang datang langsung dari Jogja bersama rombongan Indie Book Corner-nya. Ia cukup kaget ternyata banyak pembaca Malaysia yang akrab dengan buku-buku (indie) Indonesia. Buku-buku yang dibawanyapun laris manis. Sepenglihatan saya sih memang buku-buku pilihan yang mereka bawa. Selain itupun harganya cukup murah untuk ukuran buku bagus, belasan ringgit kebanyakan. Buku-buku dari Indie Book Corner pulalah yang kebanyakan saya masukkan tas - setelah membayar tentunya, hehe.
Masuk tas bawa pulang... |
Victoria-nya Knut Hamsun, diterjemahkan oleh Dwicipta. Pengantar bukunya bisa dibaca di sini. Kebetulan juga saya baru selesai baca buku Hamsun yang lain, Hunger. | Kumpulan puisi terbarunya Dea Anugrah, Misa Arwah & Puisi-puisi Lainnya. Saya sebenarnya sudah mikir buku ini batal terbit karena Dea Anugrah-nya sudah 'ribut' sejak awal tahun lalu, hehe. | Lelaki yang Terus Mencari Sumbi, kumpulan cerita Hermawan Aksan. | Kumpulan esai Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolionalitas. | Love in the Time of Cholera, 5 ringgit saja dari lapak buku bekas. | Dompet Kulit Buaya, novel unik tulisan Wan Nor Azriq. Saya sempat baca novelnya yang lain, D.U.B.L.I.N, dan saya suka, keren isinya.
Saya sebenarnya kurang suka dengan konsep menyatukan pameran buku dengan beberapa acara lain yang cukup 'berisik' semacam bicarawara (terjemahan dari talk-show). Tetapi mungkin dengan cara ini pulalah kegiatan menjadi lebih menarik perhatian khalayak. Yah, setidaknya sepetang kemarin kegiatan ini sangat ramai. Ada yang lihat-lihat buku, ada yang yang lihat-lihat karya tangan, ada yang ikut diskusi, ada yang menggambar, juga ada yang menonton film. Intinya, kami pulang dengan gembira. :)
Balasan