Beberapa bulan silam, tidak biasanya aku mendapatkan kiriman paket. Petugas dari kantor asrama menelepon pagi-pagi. Pesannya singkat: ada paket untukku.
Sebuah amplop cokelat. Nama dan alamatku ditempelkan di muka amplop, diketik rapi dengan Arial ukuran 12 rasanya. Namun tidak ada informasi apapun tentang si pengirim. Ketika kubuka ternyata isinya buku Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia. Ini adalah kumpulan puisi Aan Mansyur - atau yang lebih dikenal dengan pseudonim @hurufkecil di jagad twitter. Diterbitkan oleh Sang Freud Press, salah satu penerbit indie Malaysia dan diluncurkan dalam satu pesta puisi di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu.
Sebuah amplop cokelat. Nama dan alamatku ditempelkan di muka amplop, diketik rapi dengan Arial ukuran 12 rasanya. Namun tidak ada informasi apapun tentang si pengirim. Ketika kubuka ternyata isinya buku Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia. Ini adalah kumpulan puisi Aan Mansyur - atau yang lebih dikenal dengan pseudonim @hurufkecil di jagad twitter. Diterbitkan oleh Sang Freud Press, salah satu penerbit indie Malaysia dan diluncurkan dalam satu pesta puisi di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu.
Aku buka setiap lembar halamannya, satu persatu. Berharap ada secuil pesan yang ditinggalkan oleh sang pengirim. Namun nihil. Karena sudah terlanjur didekap rasa penasaran, akhirnya kukirimkan pesan kepada beberapa orang yang patut kuduga sebagai pengirimnya.
Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang mengiyakan. Saran mereka hampir seragam: buku tersebut adalah semacam rejeki yang lebih baik segera dibaca, tak usah berpayah untuk mencaritahu dari siapa karena buku tersebut sudah sepenuhnya milikku.
Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang mengiyakan. Saran mereka hampir seragam: buku tersebut adalah semacam rejeki yang lebih baik segera dibaca, tak usah berpayah untuk mencaritahu dari siapa karena buku tersebut sudah sepenuhnya milikku.
Mungkin benar juga apa mereka kata. Tetapi nyatanya buku tersebut malah kumasukkan begitu saja ke dalam laci. Pada sampulnya kutempelkan kertas berwarna hijau dengan tulisan: siapa tuanmu?
***
Bulan lalu aku harus pindah kamar. Dan mau tidak mau aku kembali bersinggungan dengan buku yang tak jelas tuannya itu. Aku memang tuan barunya, tetapi tuan lamanya yang aku maksud. Di tengah pemikiran itulah mataku tersempak pada puisi pertama yang juga menjadi judul kumpulan ini. Paragraf pertamanya terbaca:
engkau tahu? kepalaku: kantor paling sibuk di dunia.
anehnya, hanya seorang bekerja tiada lelah di sana.
tidak mengenal hari minggu atau hari libur nasional.
tidak pula mengenal siang dan malam.
tidak mengenal apa-apa kecuali bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja.
Bukan kali pertama kumembaca alinea tersebut sebenarnya. Tetapi entah kenapa aku tergelak keras. Ada semacam perasaan terwakili oleh pembuka singkat tersebut. Bagaimana tidak? Buku yang harusnya bisa langsung kubaca itu malah kupendam berbulan-bulan tanpa kejelasan. Aku sibuk memikirkan siapa gerangan yang diam-diam mengirimiku buku. Padahal dengan tidak menulisankan pesan apa-apa, sudah jelas pengirimnya tak ingin diketahui.
Dan ketika kemudian berjumpa lagi dengannya, aku masih sibuk dengan pertanyaan yang sama. Kepalaku masih berusaha memecahkan pertanyaan (yang sama) yang rasanya tak mungkin akan terpecahkan.
Dan ketika kemudian berjumpa lagi dengannya, aku masih sibuk dengan pertanyaan yang sama. Kepalaku masih berusaha memecahkan pertanyaan (yang sama) yang rasanya tak mungkin akan terpecahkan.
Kenapa tidak kuputuskan saja untuk berhenti bertanya kemudian menyeru diri untuk langsung membaca? Kenapa tidak, misalnya, aku berasumsi itu hadiah dari seorang pemuja rahasia pemalu yang tak ingin diketahui namanya? Kenapa aku malah terus berputar-putar, menerka-nerka jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya aku buat sendiri?
Gelitikan-gelitikan semacam itulah yang membuatku senang membaca puisi (Aan). Ada deretan kata di hadapan mata yang bisa aku padu padankan seenaknya dengan perasaan sendiri. Memang benar, seperti ditulis Wan Nor Azriq dalam prakatanya, puisi adalah dunia dalam kepala sang penyair. Tetapi bukankah kemudian kepala pembaca sendiri yang akan menafsirkannya?
Dan di sinilah sumber kekuatan kata-kata Aan bagiku. Ia tidak saja menelurkan puisi dengan bahasa yang bersahaja saja. Namun juga memiliki kekuatan kekinian yang membuat kepala tak harus bekerja keras untuk membolak-balik memori lama, mencari keterkaitan puisinya dengan diri kita. Ada saja kejadian hari-hari ini yang terwakili begitu saja oleh kata-kata Aan (yang saling mengenalpun tidak). Ah!