Misa Arwah dan Katup-katup Kecemasan

| November 23, 2015 | Sunting
Mungkin Akan Ada, bagian dari Misa Arwah & Puisi-puisi Lainnya. Terbitan Indie Book Corner, 2015.
"Apa yang terlintas dalam pikiranmu?", tanyaku padanya. Kami berdua sama-sama mendongak, tercenung pada kain putih-oranye yang menaungi kami. Ia meliuk-liuk ditiup angin. Naik turunnya begitu indah, mengalihkan nikmatnya semangkuk susu kedelai dingin di hadapan kami.

"Apa yang ada dalam pikiranmu?", kembali ku ulang tanyaku, beberapa menit setelah ia tak membalas. Perlahan ia menurunkan kepalanya lalu menatapku sambil tersenyum. "Apa?", tanyaku untuk ketiga kalinya.

"A mind is like a parachute. It doesn't work if it is not open. Frank Zappa!", jawabnya, sambil kembali mendongakkan kepala.

"Minda kita selaiknya payung terjun, berfungsi bila ianya terbuka!", gumamku lirih. Angin rasanya semakin kencang. Kain itu terguncang-guncang seolah akan jatuh. Suaranya seperti suara mesin pesawat terbang yang akan berlepas.

"Apa yang kamu pikirkan. Jangan medhit!", ia mencolek lututku.

"Aku teringat Misa Arwah, halaman empat-puluh dua. Dea Anugrah menulis, 'Ada, namun tidak lagi bisa menggerakkan apa-apa.' di ujung puisinya!"

"Seperti apa lengkapnya? Aku sudi mendengarkan."

"Mungkin akan ada, mungkin akan tidak ada, kerdip cahaya yang lewat pada detik terakhir sebelum ia yang tak bisa dielak menghamburkan pekat miasma ke arah kita..."

"Miasma itu apa?"

"Entahlah. Mungkin semacam gas atau cairan!"

"Ku ulang dari awal ya. Mungkin akan ada, mungkin akan tidak ada, kerdip cahaya yang lewat pada detik terakhir sebelum ia yang tak bisa dielak menghamburkan pekat miasma ke arah kita. Dalam selubung tulah itu, kudengar desahmu untuk terakhir kalinya: Manusia mati dan tak berbahagia… Tapi kepada apa menuntut jawab? Tinggal semesta lekas menguap bak niat baik orang dewasa. Sedang kehendak dalam diri tak lagi bisa— Ada, namun tidak lagi bisa menggerakkan apa-apa."

"Kata Oxford, miasma adalah semacam udara busuk, beracun! Dan entah kenapa kata ini terasa begitu mengintimidasi bagiku."
***
Kami memutuskan pergi ke Ipoh untuk sama-sama menertawakan diri sendiri. Pekerjaan menumpuk hingga mencekik leher. Menyisakan waktu yang begitu terbatas untuk berbagai hal, termasuk diri kita sendiri. Terakhir kali kami keluar bersama adalah beberapa bulan lalu, ketika kami berturut-turut makan sushi lalu dilanjutkan ke pameran buku keesokan paginya. Semenjak itu tidak pernah sekadar sedetikpun kami menyempatkan waktu untuk bersua. Ia, selain dengan seabrek kerjanya, juga sering pergi ke luar kota untuk berbagai agenda. Sementara aku, aktivitas kuliah sudah cukup membuatku seperti dikurung penjara.

Dan ke Ipohlah kemudian kami pergi. Berdua saja. Dari Kuala Lumpur kami menumpang kereta listrik yang berjalan dengan senyap ke utara. Hujan turun cukup deras begitu kami sampai di Ipoh petang itu. Rinyai gerimis turun hingga tengah malam. Praktis kamipun tidak kemana-mana. Duduk berjam-jam saja di meja makan, menghabiskan bergelas-gelas teh panas.

"Aku sedang membaca buku kumpulan puisi. Tipis saja. Tapi itu sudah cukup menguras perasaan. Begitu sampulnya terbuka, sekeliling seolah langsung berubah menjadi sepia. Virus-virus kecemasan berloncatan dari lembar-lembar kertasnya yang ringan."

"Maksudmu rasa cemas yang sama seperti saat kamu berkali-kali tidak bisa menghubungi Ibumu?" 

"Bukan. Ini rasa cemas yang serupa ketika kamu mulai bertanya-tanya apakah apa yang ada dalam kepalamu itu benar. Semacam kebimbangan yang muncul ketika apa yang kau lihat dan yang kau dengar sama sekali lain. Juga mungkin sama dengan ketika kau belum mempersiapkan apa-apa sementara kamu harus segera memulai satu perjalanan."

"Buku semacam itu tidak seharusnya kamu baca. Hidup sudah cukup membuatmu cemas."

"Tapi buku ini beda. Ia memang menghembuskan cemas. Tapi ia juga membuka ruang-ruang yang kemungkinan bisa menjadi penawar. Oh ya, lagi pun ini bukan sekadar buku puisi yang bisa dibaca dengan cepat. Aku harus mengulang beberapa bagian hanya demi memberikan kesempatan kepada otakku untuk berpikir."

"Contoh?"

"Seandainya kutulis sebuah nama pada kulit trembesi atau sebaris frasa di atas bangku taman ini akankah kita abadi?"

"Rasanya aku harus membacanya juga. Apa judulnya?"

"Misa Arwah & Puisi-Puisi Lainnya."

"Siapa penulisnya?"

"Dea Anugrah."

"Oh, pantas. Perempuan memang selalu begitu. Kami diciptakan untuk dapat mengaduk-aduk perasaan semudah mengaduk-aduk sup."

"Dia laki-laki. Bukan perempuan."
***

Direkam dengan telepon genggam, dalam perjalanan kereta listrik dari Ipoh ke KL.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine