Santi Lulus SNMPTN

| Juli 31, 2015 | Sunting
Alhamdulillah lulus Mas, selarik SMS itu masuk begitu saja sementara aku duduk dalam bus, suatu petang sebulan silam. Iman, teman yang duduk di sampingku kaget melihatku yang mendadak terpaku. Bas oke? Aku diam saja, tetapi dengan memasang muka merona. Bas ada apa-apa?, ia mengulang pertanyaannya. Berselang beberapa menit beru kukabarkan bahwa adikku lulus seleksi masuk universitas. Ia diterima di Jurusan Pendidikan Teknik Busana, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta.
***
Umur kami tak terpaut jauh. Ketika ia lahir aku baru berumur empat tahun, kurang beberapa bulan malah. Aku ingat: begitu ia dibawa pulang dari bidan, tetangga-tetangga datang menjenguk. Televisi kami yang biasanya berada di dalam rumah dipindahkan ke ngemper, teras, tepat di sebelah barat pintu. Lagu-lagu campursari disetel sepanjang hari. Aku sendiri baru berani memegangnya beberapa hari kemudian, sesaat setelah ia dipijat oleh Mbah Muh, dukun bayi desa kami. Kulitnya lembut, rambutnya tipis. Ia tidak suka menangis. Oleh Bapak ia diberi nama Santi. Lengkapnya Miladiah Susanti.

Suatu hari ia dibawa ke rumah sakit. Umurnya sudah beberapa tahun. Sepulang dari rumah sakit itu Mamak menunjukkan plastik bergambar rongga dada yang berbercak putih — yang lantas kuketahui sebagai hasil ronsen. Sejak itulah ia secara rutin dibawa ke rumah sakit. Bapak dan Mamak akan berangkat pagi-pagi dari rumah ke Wonosari dan baru akan pulang siang atau sorenya. Berbulan-bulan demikian itu. Dan tentu saja mereka pulang dengan aneka warna obat. Dari Mamak aku tahu ia sakit flek paru-paru, tetapi tak tahu pasti penyakit apa itu. Yang pasti sejak itu ia rutin meminum obat.
***
Kami bersekolah di SD yang sama, beberapa menit saja dari rumah. Bedanya aku masuk TK terlebih dahulu. Sementara ia tidak. Ia dititipkan di kelas satu ketika baru berumur ..., ku tak ingat pasti, tetapi sekitar satu tahun lebih awal dari usia minimal masuk SD. Yang kemudian menarik adalah ketika pembagian rapor nilainya hampir selalu lebih bagus dibandingkan murid-murid lain yang umurnya sudah 'cukup'. Hanya saja itu tidak juga mempengaruhi statusnya sebagai murid titipan, sehingga ia tetap duduk di kelas satu pada tahun ajaran berikutnya.

Dari sedini itu aku sadar bahwa Santi adalah anak yang cerdas. Bukan apa-apa. Ia hampir tidak pernah belajar di rumah. Lebih banyak bermain malah. Tetapi nilainya selalu saja bagus. Ketika aku harus demikian bersusah payah belajar demi menuntaskan pelajaran, ia hanya butuh sesekali membuka buku. Selebihnya ia gunakan untuk membaca buku-buku cerita, atau tidur. Mamak yang berasal dari satu generasi di atas kami tidak pernah mau tahu tentang kenyataan itu. Ia tetap akan memaksa Santi belajar. Walaupun seringkali hanya akan berakhir dengan marahan-marahan panjang. Adikku itu kerap jatuh tertidur begitu membuka buku pelajaran, haha.
***
Selama di SD, kami hampir jarang diberi uang saku secara terpisah. Biasanya aku akan pulang ketika jam istirahat untuk mengambilnya. Tapi kadangkali Santi yang pulang untuk mengambil. Jatah kami 500 Rupiah. Aku akan mendapat bagian 300 Rupiah, sisanya untuk Santi.

Saat itu 500 Rupiah sudah sangat banyak. Tetapi anak-anak tetaplah anak-anak. Aku pernah membelanjakan jatah uang saku berdua itu sendiri. Hari itu hari Sabtu. Pelajaran pertamaku olahraga saja. Nah, karena terlewat capek setelah praktik lari, aku membeli beberapa bungkus es. Dan satu bungkus besar bakso ojek. Baru setelah melahapnya habis kuingat Santi belum mendapatkan jatahnya. Aku berlari pulang, walaupun tahu tak akan mendapatkan uang tambahan. Lagipula Mamak sedang tidak ada di rumah, ke Posyandu. Tak kurang akal, aku akhirnya mendapatkan dua buah pisang dari Simbah. Pisang itulah yang akhirnya kuberikan ke Santi dengan alasan Mamak lupa meninggalkan uang.
***
Miladiah Susanti
Miladiah Susanti
Ia tumbuh menjadi gadis yang tak banyak menuntut. Kalau Mamak memberinya uang saku ia akan menerimanya dengan senang hati. Bila tidak, iapun tak lantas meminta.

Anehnya, dari uang saku yang tidak rutin itupun ia masih bisa menabung. Dan itupun bukan kemudian ia menggunakannya untuk membeli aneka warna kebutuhan pribadi seperti remaja-remaja perempuan umumnya. Ia malah akan menggunakannya untuk membelikan jajan untuk adik-adiknya, bahkan kadang saya juga.

Ia masih cerdas seperti yang kuyakini sejak dulu. Bila nilai rapor yang dijadikan acuan, ia tidak pernah keluar dari 10 besar di kelasnya. Dari sanalah ia beberapa kali mewakili sekolahnya untuk berbagai macam perlombaan. Kesempatan-kesempatan yang lantas membuatnya bisa membayari sendiri uang sekolahnya.

Ia juga menjadi tutor bahasa Inggris di sekolahnya. Beberapa orang bertanya darimana ia mendapatkan kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik dari sebayanya. Yah, ia bahkan tidak pernah mendapatkan les apapun. Namun itulah Santi. Selain dari apa yang ia pelajari di sekolah, ia menggunakan beberapa buku bahasa Inggris yang kupunyai untuk belajar di rumah. Dan meski ia cukup malas untuk beberapa hal, tetapi ia tidak pernah malas untuk membuka kamus. Lagi-lagi dari sana ia bisa mendapatkan sedikit uang pengganti iuran bulanan. 
***
Ia bersekolah di kejuruan, mengambil peminatan tata busana. Aku dulu berkeras memintanya masuk SMA saja. Tetapi keadaan sedang sulit. Untuk membayar uang pangkalnya saja harus berlari kesana kemari. "Ora popo kok mas. Aku kan malah wis isoh njahit, dadine luwih gampang!", begitu katanya menenangkanku. Dan begitulah, ia menjalani sekolahnya hingga tamat. Kemampuannya memang tidak diragukan. Walau tidak punya mesin jahit di rumah, ia sudah mahir menggunakannya sejak SMP, berkat ekstrakurikuler yang diikutinya. Untuk kemampuan design dan gambar-menggambar pun ia ada. Ia bahkan yang mengerjakan tugas akhir seni rupaku ketika SMA. Dan di atas itu semua, ketekunan dan kekuatan hatilah yang menurutku memudahkan jalannya.

Beberapa hasil kerjanya di sekolah dibeli oleh guru. Tidak biasa-biasa saja tentunya karena tak banyak hasil kerja yang dibeli. Sementara di rumah terkadang tetangga memintainya tolong untuk sekadar menjahitkan celana yang robek atau baju yang koyak. Setahun lalu ia membuatkanku kemeja batik, setelah kemeja batik kesayanganku robek. Kemeja yang lantas dengan bangga kusebutkan pada teman-temanku, "Adikku yang buat sendiri!"

Namun, dengan setumpuk kerja sekolahnya, ia tetap menjadi kakak untuk kedua adiknya di rumah. Terutama adik paling kecil kami yang senang sekali menangis, entah meminta jajan atau sekadar meminta gendong. Ada banyak cerita remeh temeh rumah yang ia bagi ketika sekali waktu kami berbicara di telefon, tanda bahwa memang ia tak lupa kewajibannya sebagai anak perempuan tertua.
***
"Mas, mbak Santi tangane kejahit. Nganti digawa nang Puskesmas!", kisah Kingkin, adik keduaku suatu malam. Aku kaget karena rasanya tak mungkin bila terkena mesin jahit di rumah saja sampai dibawa ke Puskesmas. Baru setelah itu Mamak bercerita bahwa setelah selesai mengikuti ujian akhir nasional, ia bekerja di sebuah konveksi milik tetangga. Kerjanya adalah memotong gulungan-gulungan kain menjadi berbagai macam ukuran sebelum dijahit menjadi kaos. Predikatnya tentu saja buruh. Tetapi ia 'baik-baik saja' dengan itu. "Wong muk mbangane ra ngapa-ngapa kok Mas." 

Sejak naik ke kelas tiga ia memang mulai galau dengan apa yang harus ia lakukan selepas sekolah. Guru-guru tentu saja mendorongkan untuk melanjutkan studi. Aku pun sebisa mungkin memintanya untuk mempertimbangkan itu masak-masak. Satu hal yang mengganjal hatinya kemudian adalah kondisi (ekonomi) keluarga yang (masih saja) buruk. Sehingga Mamaklah yang hampir tiap waktu kudesak untuk menghembuskan dorongan yang sama. "Insya Allah yen ragad iso digoleki Mak!"
***
9 Mei 2015. Aku terus memantaunya melalui telefon. Hari itu adalah hari pengumuman  SNMPTN Jalur Undangan. Melihat usahanya yang pontang-panting menyiapkan berbagai macam persyaratan, aku tentu saja berharap ia lulus agar tak perlu lagi bersusah payah mengikuti ujian tulis. Tetapi mungkin saja memang bukan itu jalan yang digariskan untuknya. Ia tidak lolos jalur pertama itu. "Aku sedih banget mas!", ujarnya melalui SMS. Akupun demikian, walau lantas sebisa mungkin membesarkan kembali hatinya.

Persiapan SNMPTN (yang ternyata sudah berganti nama menjadi SBMPTN) Jalur Tulis ia persiapkan kemudian. Ia sadar banyak materi pelajaran yang harus ia kejar. Ia juga rajin ke warnet untuk mencari referensi soal. Kasihan sebenarnya bila membayangkan betapa capek fisiknya. "Leren San yen kesel. Usaha sik akeh, tapi yo rasah ngoyo ndak malah lara mengko. Ndonga sik akeh!"

Dan begitulah, karena takut malah akan membebaninya, aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan progres belajarnya. Aku lebih banyak mencandainya ketika berkesempatan menelefon. Apalagi Ndayu, adik terkecil kami, selalu menyimpan setumpuk kisah-kisah lucu.

Hari-hari menjelang ujian, kuingatkan ia untuk tidak lupa makan dan istirahat. Itu saja. Sementara setelah ujian berlalu, kami sama sekali tidak membicarakannya. Aku sebenarnya menyimpan sedikit resah apabila usahanya masih juga belum berhasil. Mamak bertanya apakah perlu mendaftar seleksi mandiri, untuk berjaga-jaga. Kutanyakan pertanyaan Mamak tersebut ke Santi. Di ujung telefon ia hanya tertawa kecil, semacam penolakan. Setelah itulah aku menangkap sinyal bahwa ia optimis bisa menaklukan ujian SBMPTN. Keyakinan yang kemudian terbukti sebulan kemudian.
***
Santi masih berangkat bekerja hingga dua hari sebelum Lebaran. Kegiatan perkuliahan baru akan dimulai bulan September. Ia memang tidak terikat perjanjian apa-apa dengan si pemilik konveksi. Sekadar permintaan lisan untuk ikut bekerja selama masa menunggu. Di hari terakhirnya bekerja ia mendapatkan THR walaupun bukan pekerja tetap. "Lumayan Mas, isoh nggo sangu kuliah, haha!"

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine