Rezeki sudah diatur, kita manusia berusaha. |
Aku berangkat ke kelas dengan riang tadi. Tukang sapu-tukang sapu kampus tengah duduk bersama di tangga besar. Berbagi bubur kacang hijau buatan salah satunya. Tawa mereka terdengar begitu renyah. Mangkuk-mangkuk plastik di tangan mereka hingga ikut terguncang-guncang.
Di kelas, seorang kawan berkisah-kisah. Tentang bagaimana ia harus memutar otak agar tetap bisa berkurban pada hari raya nanti meski ekonomi tengah sulit. Ia berujar sungguh tidak bersyukurnya kita bila dengan apa yang kita punya sekarang, kita tetap saja mengeluh. Bayangkan seberapa keras krisis menghantam orang-orang yang lebih tak berpunya.
Ada dari mereka itu yang bahkan hanya bisa tahu apa yang akan ia makan beberapa jam lagi. Sementara keadaan esok hari, dan esoknya, sudah lain lagi. Malam terasa semakin dingin pasti karena keterpurukan ekonomi membuat uang yang mereka punya tak lagi bisa membeli cukup makan seperti biasa.
Kawanku itu terus saja bercerita, sementara menunggu dosen datang memulai pelajaran. Aku kembali teringat pada tukang sapu-tukang sapu di tangga besar. Gajinya tak lebih dari tujuh ratus ringgit satu bulannya. Tetapi tawa mereka begitu lebar pagi tadi. Siapakah sebenarnya yang kurang bisa bersyukur?