Suatu kali penulis Eka Kurniawan mengunggah gambar paket kiriman dari Malaysia. Eka tidak menulis banyak, hanya bahwa isinya buku dari dua penulis yang ia rasa akan menonjol dalam kesusasteraan negeri jiran. Kedua nama penulis itu lantas kucatat. Berharap dapat menemukan buku mereka suatu saat. Susah ternyata. Catatan itu lantas tertimbun oleh catatan-catatan lain. Hingga suatu waktu aku tak sengaja menemukan satu di antara bukunya di koperasi kampus saat mencari buku kuliah.
D.U.B.L.I.N, begitulah tajuk novel tersebut. Penulisnya Wan Nor Azriq. Ditulis berdasarkan tradisi jalan kaki yang digemari oleh kalangan sastrawan dan pengarang dunia. Dari sini Azriq membawaku pada hidup Encik H, pengarang uzur yang tengah membacakan karyanya di Kedutaan Irlandia. Labirin cerita bergulir liar dari pembacaan Encik H tersebut, ke lipatan-lipatan cerita dalam lipatan-lipatan lainnya. Lengkapnya mungkin akan kuceritakan dalam tulisan lain. Intinya novel ini unik. Azriq memperkenalkanku pada semesta yang lebih luas dari sekadar Dublin, ibukota Irlandia.
Dari pembacaan D.U.B.L.I.N inilah mulai aku ikuti dunia-dunia Azriq yang lain. Mulai dari laman pribadinya. Juga buku-bukunya yang seperti tak henti terbit setelah itu. Dunia dalam dompetnya kunikmati dari buku yang kudapat di KL Alternative Bookfest 2015 petang itu. Dompet Kulit Buaya, demikian judulnya, penuh dengan kartu nama, tiket parkir, tiket bus, tiket bioskop hingga berbagai macam kuitansi yang sudah penuh coret moret tulisan tangan.
Pun dengan novel Azriq yang lain, Boneka Rusia Guido. Aku begitu menikmati dunia bocah 13 tahun bernama Chairil Gibran yang baru saja pindah ke Kuala Lumpur bersama emaknya. Dunia yang lantas bertaut dengan dunia Tuan Megat Guido, jirannya yang seorang novelis cum pemain boneka. Sama dengan di D.U.B.L.I.N, Azriq juga memasang banyak labirin cerita dalam bukunya yang satu ini.
Dari pembacaan D.U.B.L.I.N inilah mulai aku ikuti dunia-dunia Azriq yang lain. Mulai dari laman pribadinya. Juga buku-bukunya yang seperti tak henti terbit setelah itu. Dunia dalam dompetnya kunikmati dari buku yang kudapat di KL Alternative Bookfest 2015 petang itu. Dompet Kulit Buaya, demikian judulnya, penuh dengan kartu nama, tiket parkir, tiket bus, tiket bioskop hingga berbagai macam kuitansi yang sudah penuh coret moret tulisan tangan.
Pun dengan novel Azriq yang lain, Boneka Rusia Guido. Aku begitu menikmati dunia bocah 13 tahun bernama Chairil Gibran yang baru saja pindah ke Kuala Lumpur bersama emaknya. Dunia yang lantas bertaut dengan dunia Tuan Megat Guido, jirannya yang seorang novelis cum pemain boneka. Sama dengan di D.U.B.L.I.N, Azriq juga memasang banyak labirin cerita dalam bukunya yang satu ini.
Nah, dunia Azriq yang lebih beraneka warna baru saja habis kubaca. Judulnya 86, yah sependek itu. Dibaca 'lapan puluh enam'. Sebagaimana tertulis di kulit belakangnya, buku ini adalah himpunan 86 tulisan, terdiri dari prosa dan puisi (juga catatan-catatan singkat yang kurasa adalah kenyataan, non-fiksi).
Bila buku-buku Azriq sebelum ini memiliki alur cerita dan penokohan yang jelas, 86 sama sekali berbeda. Tidak ada alur yang dapat dikenali dengan mudah, kalau bukan memang tanpa alur. Kesan yang kutangkap adalah terdapat 86 tulisan lain yang dikumpulkan dalam satu buku. Beruntung ada benang merah dalam penokohannya yang meyakinkanku bahwa isi buku ini memiliki dunia yang sama. Buku ini berkutat pada ayah, isteri, abang, dan aku. Meski kemudian tetap saja berkecamuk berbagai tanya: apakah isteri yang tengah berziarah ke Kathmandu misalnya, adalah juga isteri yang menjerit karena menemui bangkai tikus dalam stor? Tidak pasti. Tidak ada garis jelas yang mengisyaratkan mereka adalah orang yang sama, terlebih memang tiada satu pun yang bernama.
Satu hal yang lebih mudah dicerna adalah konsep buku secara umum yang terlihat acak. Meskipun menggunakan jenis huruf yang sama, tetapi ukurannya berbeda-beda. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang disusun mengikut rata kiri, rata tengah, atau kanan-kiri. Ada paragraf-paragraf yang dimulai dengan paragraf menjorok ke dalam, ada yang tidak. Begitu seterusnya. Dengan citra semacam itu, bagiku buku ini semacam kisah 'dunia' yang tengah kacau. Dan anggapan ini rasanya mendekati betul, karena nama Imam Mahadi yang dipercaya akan menyelamatkan akhir zaman disebutkan beberapa kali.
Tetapi siapa di zaman ini yang tidak percaya Imam Mahadi...; Tidak kusangka isteriku sanggup pergi sampai ke puncak Kathmandu untuk mencari kelibat Imam Mahadi; Katanya Imam Mahadi tengah mengejar Yeti... (Nepal, 16-17) Semua orang juga mencari Imam Mahadi. Dan kau sudah jumpa Imam Mahadi? (Pengembara, 66) Imam Mahadi dah beri amaran! (Komputer, 103)
Kesan lain yang aku tangkap adalah proses mencari yang terasa menguasai jalinan cerita. Apa yang dicari? Entah. Bisa jadi memang hal-hal berbentuk semacam barang atau orang. Tetapi bisa saja proses pencarian jati diri. Pertanyaan-pertanyaan menyeruak. Potongan-potongan ingatan dicatat. Puisi-puisi digelar. Banyak di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Atau juga pertanyaan ke orang-orang dengan relasi kuasa yang lebih tinggi: ayah, abang, dokter.
86 berisi tulisan-tulisan pendek (dan amat pendek). Satu dari sedikit yang panjangnya sampai beberapa halaman adalah kisah berjudul Buli. Ada enam belas halaman, berkisah tentang kasus buli yang tengah merebak di sebuah sekolah. Menariknya, meski cerita terjalin jelas, Buli disusun melalui potongan-potongan kisah yang mewakili tokoh atau sudut pandang tertentu. Dirunut dari sudut pandang korban pertama, seorang siswa bernama Hasrul Nizam, disusul oleh tokoh-tokoh lainnya. Baik itu cikgu, korban lain, bahkan juga sudut pandang 'Berita'. Menarik.
Pada akhirnya, membaca 86 adalah membaca dunia sang penulis. Dunia yang beraneka rupa. Dunia yang terlihat acak, namun sebenarnya terhubungkan oleh benang-benang cerita yang berkelindan satu sama lain. Bila dibaca satu per satu saja, benak kita mungkin akan menangkap Coelho (atau malah Borges) di satu tulisan, Haruki Murakami di tulisan lain, dan Sapardi Djoko Damono, juga Joko Pinurbo, pada satu-dua tulisan. Tetapi, jalinan tulisan yang dibaca secara padu akan membawa kita pada dunia yang sama sekali lain. Dunia Azriq.
Bila buku-buku Azriq sebelum ini memiliki alur cerita dan penokohan yang jelas, 86 sama sekali berbeda. Tidak ada alur yang dapat dikenali dengan mudah, kalau bukan memang tanpa alur. Kesan yang kutangkap adalah terdapat 86 tulisan lain yang dikumpulkan dalam satu buku. Beruntung ada benang merah dalam penokohannya yang meyakinkanku bahwa isi buku ini memiliki dunia yang sama. Buku ini berkutat pada ayah, isteri, abang, dan aku. Meski kemudian tetap saja berkecamuk berbagai tanya: apakah isteri yang tengah berziarah ke Kathmandu misalnya, adalah juga isteri yang menjerit karena menemui bangkai tikus dalam stor? Tidak pasti. Tidak ada garis jelas yang mengisyaratkan mereka adalah orang yang sama, terlebih memang tiada satu pun yang bernama.
Satu hal yang lebih mudah dicerna adalah konsep buku secara umum yang terlihat acak. Meskipun menggunakan jenis huruf yang sama, tetapi ukurannya berbeda-beda. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang disusun mengikut rata kiri, rata tengah, atau kanan-kiri. Ada paragraf-paragraf yang dimulai dengan paragraf menjorok ke dalam, ada yang tidak. Begitu seterusnya. Dengan citra semacam itu, bagiku buku ini semacam kisah 'dunia' yang tengah kacau. Dan anggapan ini rasanya mendekati betul, karena nama Imam Mahadi yang dipercaya akan menyelamatkan akhir zaman disebutkan beberapa kali.
Tetapi siapa di zaman ini yang tidak percaya Imam Mahadi...; Tidak kusangka isteriku sanggup pergi sampai ke puncak Kathmandu untuk mencari kelibat Imam Mahadi; Katanya Imam Mahadi tengah mengejar Yeti... (Nepal, 16-17) Semua orang juga mencari Imam Mahadi. Dan kau sudah jumpa Imam Mahadi? (Pengembara, 66) Imam Mahadi dah beri amaran! (Komputer, 103)
Kesan lain yang aku tangkap adalah proses mencari yang terasa menguasai jalinan cerita. Apa yang dicari? Entah. Bisa jadi memang hal-hal berbentuk semacam barang atau orang. Tetapi bisa saja proses pencarian jati diri. Pertanyaan-pertanyaan menyeruak. Potongan-potongan ingatan dicatat. Puisi-puisi digelar. Banyak di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Atau juga pertanyaan ke orang-orang dengan relasi kuasa yang lebih tinggi: ayah, abang, dokter.
86 berisi tulisan-tulisan pendek (dan amat pendek). Satu dari sedikit yang panjangnya sampai beberapa halaman adalah kisah berjudul Buli. Ada enam belas halaman, berkisah tentang kasus buli yang tengah merebak di sebuah sekolah. Menariknya, meski cerita terjalin jelas, Buli disusun melalui potongan-potongan kisah yang mewakili tokoh atau sudut pandang tertentu. Dirunut dari sudut pandang korban pertama, seorang siswa bernama Hasrul Nizam, disusul oleh tokoh-tokoh lainnya. Baik itu cikgu, korban lain, bahkan juga sudut pandang 'Berita'. Menarik.
Pada akhirnya, membaca 86 adalah membaca dunia sang penulis. Dunia yang beraneka rupa. Dunia yang terlihat acak, namun sebenarnya terhubungkan oleh benang-benang cerita yang berkelindan satu sama lain. Bila dibaca satu per satu saja, benak kita mungkin akan menangkap Coelho (atau malah Borges) di satu tulisan, Haruki Murakami di tulisan lain, dan Sapardi Djoko Damono, juga Joko Pinurbo, pada satu-dua tulisan. Tetapi, jalinan tulisan yang dibaca secara padu akan membawa kita pada dunia yang sama sekali lain. Dunia Azriq.
Kerana aku masih tidak
mendengar suaraku, aku
masih tidak bercakap
pada diriku.
(Mikrofon, 115)
Balasan