Prita, Kakao dan Semangka

| Desember 14, 2009 | Sunting
Rupiah demi rupiah untuk Prita
Empat orang anak manusia perlahan mengetuk gerbang Ilahi dalam lirih meditasi suara nurani. "Tok, tok, tok...," suara pintu berdesah seirama dengan keluh kesah mereka yang tengah berusaha menemukan makna perilaku di dunia serba fana. Malaikat penjaga yang dilengkapi pedang berkilauan terhunus di tangan kanan berujar, "Silakan masuk, sebelum terdengar suara menggelegar".

Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, kini tengah duduk sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Ia menghentak publik, karena ia menanggung denda sebesar Rp204 juta untuk mengganti kerugian rumah sakit itu (yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan). Hingga kemudian dilancarkanlah aksi pengumpulan dana "Koin Untuk Prita". Gemerincing uang logam terus memalu hati bening rakyat di penghujung 2009.


Minah, seorang simbah paruh baya, tidak pernah menduga bahwa perilaku isengnya mengambil tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari (RSA) menyeretnya sebagai pesakitan di meja hijau. Ia diganjar satu bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Ranum buah kakao menyeret mbah Minah ke hotel prodeo. Dan media massa melabelnya sebagai salah satu ironi hukum Indonesia.


Basar (40) dan Kholil (51), dua pelaku pencurian sebuah semangka, ditahan di LP Kelas II A Kediri. Dalam menjalani proses persidangan, keduanya mendapatkan ancaman hukuman lima tahun penjara, karena dianggap melanggar Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian biasa. Awal Desember (1/12/2009), keduanya boleh menghirup udara bebas setelah mengajukan penangguhan penahanannya dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri. Semangka berbuah penjara.


Siapa Prita, siapa mbah Minah, siapa Basar dan Kholil? Mereka menghadapi tebasan pedang hukum dalam rumus beku pasal demi pasal. Gulita malam tanpa bintang gemerlap, itulah pelukisan rentang hidup keempatnya.


Bermaksud menuangkan curhat kepada sobat lewat surat elekstonik (e-mail) mengenai layanan sebuah rumah sakit, Prita mendapat ganjaran denda ratusan juta rupiah. Ibu ini pun berterima kepada apa yang didaulat hukum meski ia beberapa kali berlinang air mata seraya berucap syukur kepada Yang Ilahi.


Sementara Minah dengan tiga kakaonya, Basar dan Kholil dengan semangkanya, sama-sama mendongkel suara hati publik dengan mengajukan pertanyaan, "Mengapa engkau tak mengajukan protes? Mengapa diam saja? Engkau mengira di dunia ini kita bisa hidup tanpa unjuk gigi? Engkau kira di dunia ini kita bersikap begitu bebal dan tegar tengkuk?" Ini meditasi pertama yang menggelegar ketika menjejak kasus keempat anak manusia.


Tidak perlu bersegera menjawab pertanyaan menukik di relung sanubari suara hati. Di seberang sana masih ada meditasi kedua dengan meminjam kata "saya" yang lebih personal, lebih pribadi. Bukankah suara hati memiliki ciri personal? Bukankah suara hati kerapkali disebut sebagai suara Yang Ilahi, seperti pernah dinyatakan oleh filsuf John Henry Newman.


Ini meditasi kedua, "Saya ikuti dia dengan pandangan mata saya. Saya pun berpikir, alangkah mudahnya menjadi orang kuat di dunia ini. Alangkah rentannya menjadi jelata di tengah dunia yang relatif sulit mengucapkan terima kasih kepada sesama."


Bukankah suara hati dalam bahasa Latin disebut sebagai "consscientia", berasal dari akar kata "conscire", yang berarti "mengetahui bersama" dan "turut mengetahui". Suara hati menjadi saksi sekaligus hakim yang menjatuhkan penilaian dan putusan atas segala perbuatan.


Meditasi ketiga, apa persamaan tubuh dan mesin? "Tubuh dan mesin akan tampak serupa. Kesamaan tubuh dan mesin terjadi, jika tubuh meniru mesin. Dengan demikian, kepatuhan berarti pertama-tama menggerakkan tubuh sesuai perintah dan prosedur," tulis F. Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas.


Yang aduhai, di awal jaman modern, filsuf Rene Descartes memandang tubuh sebagai "l homme machine", suatu mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani.


Hardiman menulis, bukan hanya "punishment" melainkan "reward" dapat mempercepat metamorfosis tubuh. Rasa sakit dan kenikmatan adalah dua macam kode bagi tubuh untuk segera patuh, yakni meniru skema-skema njlimetnya komando dan ketatnya disiplin.Tiga meditasi menyentuh sejumlah sosok ketika menyambangi teknologi kepatuhan dalam PritaGate, CocoaGate dan SemangkaGate.

Seorang kakek bernama Mundala (65), datang kemudian menyerahkan kotak merah berisi uang recehan ke Posko Koin untuk Prita di Jalan Taman Margasatwa Nomor 60, sekitar pukul 10.00, Senin (7/12). Kumpulan uang receh ini berasal dari komunitas pemulung di Srengseng Sawah. Tak kuasa membendung linangan air matanya, ia mengaku turut prihatin dengan kasus yang menimpa Prita. “Mereka (rekan-rekan pemulung) sedih, demi keadilan, mereka berusaha mengumpulkan uang Rp 50, Rp 500,” ujar Mundala sambil menangis saat menyerahkan uang itu, sebagaimana ditulis dalam laman Kompas. “Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya lagi.

Tiga meditasi juga menyentuh suara hati ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH yang menyidangkan mbah Minah. Ia terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih. Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama tiga bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM. Mereka segera menyalami Minah karena perempuan renta itu urung merasakan dingin dan lembabnya jeruji tahanan.

Sementara, SemangkaGate mendaulat Walikota Kediri Samsul Ashar. "Saya melihatnya sebagai potret kemiskinan yang harus segera diselesaikan. Ternyata kemiskinan tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendidikan dan kesehatan gratis saja," ungkapnya saat ditemui wartawan di sela kunjungannya ke rumah Basar di Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Rabu (2/12/2009).

Tiga meditasi bermuara kepada kredo bahwa suara hati dapat memberi energi Ilahi untuk tidak meniru mesin belaka. Suara hati memungkinkan tubuh untuk membangkang dan menolak untuk meniru mesin.

Pertanyaannya, mengapa orang atau kelompok mematuhi perintah rezim, meskipun perintah itu bertentangan dengan lonceng nurani mereka? Mengapa potensi pembangkangan tubuh serta merta raib, sehingga jati diri mereka digerakkan seperti mesin-mesin?

Dan Prita Mulyasari berujar secara meditatif. "Sumbangan uang koin simbol kekuatan rakyat kecil yang begitu saya hargai," katanya di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (6/12).

Legenda Yunani kuno memberi hikmat. Setelah mengampuni Promotheus, Yupiter hendak menghukum manusia. "Manusia kini memiliki api, aku hendak membalas dendam. Tetaoi aku tidak akan melenyapkan mereka dengan kilat dan petir. Aku akan memberi suatu hadiah, itulah pembalasanku!" Siapa membuka Kotak Pandora?


*) Catatan A.A. Ariwibowo

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine