Kasih Ibu

| Maret 16, 2010 | Sunting
Kasih Ibu - Wazari Wazir
“Bolehkah saya melihat bayi saya?” pinta seorang ibu yang baru saja melahirkan, tampak penuh dengan kebahagiaan. Namun, saat gendongan bayinya itu berpindah ke tangannya dan kemudian ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungilnya itu, ibu tersebut menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit; bayi itu lahir tanpa kedua belah telinga.

Namun, seiring berjalannya waktu, kendati dalam bentuk tidak sempuna, pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan baik.Pada suatu hari, anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah lantas membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu sambil menangis sedu sedan. Di tengah isakannya ia berkata, “Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh,” Ibunya mafhum bahwa hidup anak lelakinya itu penuh dengan kekecewaan dan tragedi. 

Waktu pun terus berlalu, dan tidak terasa anak lelaki itu pun kini telah tumbuh dewasa. Kendati mempunyai ketidaksempurnaa, namun ia begitu tampan, sehingga ia pun banyak disukai teman-teman sekolahnya. Bahkan, ia memiliki bakat yang luar biasa dalam bermain musik dan menulis.

Di tengah rasa bangga dan haru, ibunya dalam hati tetap merasa kasihan atas kondisi anak satu-satu itu, sehingga suatu hari, ayah dari anak tersebut bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya.

Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya,” kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, “Nak, seseorang yang tidak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia.” kata sang ayah.

Alhasil, operasi pencangkokan pun berjalan sukses. Seorang lelaki tampan nan sempurna pun telah lahir kembali ke dunia. Bakat musiknya yang hebat itu bahkan berubah menjadi kejeniusan. Ia banyak menerima penghargaan dan pujian. Atas bakatnya tersebut, ia pun kini menjadi seorang penyanyi terkenal.

Dalam sebuah konsernya ia bertemu dengan seorang gadis cantik, ia pun jatuh cinta lantas menikahinya. Pada suatu hari, ia menemui ayahnya, “Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya,”

Ayahnya menjawab, “Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu.” Sesaat terdiam, ayahnya melanjutkan, “Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini,”

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga pada suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.

“Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya,” bisik sang ayah. “Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?”

Mendengar hal itu, sang anak pun tak mampu menghentikan tetesan air mata, dalam hatinya dia bangga dan beruntung memiliki ibu yang begitu baik dan rela berkorban demi anaknya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine