Membeli Waktu?

| Maret 16, 2010 | Sunting
Kenapa cemberut nak?
Sebuah kisah, entah settingnya dimana, di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau mungkin Jogja, hiduplah seorang ayah beserta anaknya yang masih berusia 7 tahun. Istrinya telah lama meninggal, sekira saat anaknya baru berumur 4 tahun.Karenanya, anak tersebut dirawat oleh seorang baby sitter yang disewa ayahnya. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses, sehingga waktunya selalu tersita untuk bekerja dan mencari uang.

Akibatnya, sang anak selalu merasakan kesepian, hingga pada suatu malam anaknya berkata pada ayahnya yang baru pulang dari kerja, “Ayah, kalau boleh tahu berapa penghasilan ayah untuk satu jam?” tanya anak itu polos. “Buat apa kamu ingin tahu, lebih baik tidur sana hari sudah malam,” jawab ayahnya tanpa roman. Mendapat jawaban ayahnya yang ketus, anak itu pun terdiam dan membalikkan badannya menuju tempat tidur. Lalu??

Namun, keesokkan harinya, anak tersebut kembali menanyakan hal serupa. Kesal karena ditanya terus, ayahnya pun terpaksa menjawab, “Satu jam ayah bisa menghasilkan uang 1 keping emas? Kenapa kamu selalu bertanya begitu?” tanya ayahnya penasaran. Mendengar jawaban dari ayahnya demikian, si anak itu pun lantas berlari ke kamar dan kembali ke tempat ayahnya sambil menenteng celengan, kemudian memecahkannya. Kepingan-kepingan uang yang berhamburan lantas dikumpulkannya, kemudian dihitung satu demi satu.

Melihat polah anaknya yang aneh, sang ayah menjadi penasaran, “Apa yang kamu lakukan dengan uang itu, apakah engkau ingin membeli permen, tahukah kamu ayah mencari uang dengan susah?” tanya ayahnya dengan kesal.

“Ayah, aku telah mengumpulkan uang yang ayah berikan kepadaku sen demi sen, dan aku berhasil mengumpulkan 1 keping emas. Aku ingin membeli waktu ayah 1 jam saja? aku sangat merindukan ditemani ayah sewaktu tidur, bukan oleh orang lain, aku sangat ingin dipeluk dan merasakan kehangatan belaian ayah walaupun hanya sejam, aku mohon ayah,” sahut anak tersebut sambil menahan isak.

Mendengar kalimat yang meluncur dari anaknya seperti itu, sang ayah tercekat kalimatnya, ia hanya terdiam dalam bisu, tak sanggup berkata apapun.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine