Sekantung Paku

| Maret 16, 2010 | Sunting
Paku, semacam luka yang bekasnya abadi
Tersebutlah, di suatu tempat, seorang anak laki-laki yang berperangai buruk. Selain suka berselisih dengan teman-teman sebayanya, diapun tak segan untuk menjahati teman-temannya itu dengan kayu, batu, ataupun benda-benda lainnya.

Akibat kenakalannya tersebut, sang ayah kerap dibuat gusar. Ia pun bermaksud untuk mengubah perangai anaknya itu. Maka, suatu pagi, diberikannya sekantung penuh paku pada anaknya intu. Ia kemudian menyuruh anaknya itu untuk memakukan satu batang pagu ke pagar di pekarangan rumah setiap kali anaknya itu kehilangan kesabarannya, atau lagi-lagi berselisih dengan teman-teman bermainnya.

Hari pertama. Si anak memakukan 26 batang paku ke pagar pekarangannya. Namun, pada minggu-minggu berikutnya ia berusaha untuk menahan diri sehingga jumlah paku yang dipakukannya berkurang dari hari ke hari. Sang anakpun menjadi sadar, ternyata lebih gampang menahan diri daripada memakukan puluhan batang paku ke pagar.

Akhirnya tiba di saat dia sudah tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya. Sang ayah yang sangat bijak itu kemudian menyuruhnya untuk kembali mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri.


Hari demi hari berlalu dan akhirnya tiba waktunya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar. Sang ayah lantas membawa anaknya itu ke depan pagar tersebut dan berkata, “Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pagar ini, dan pagar ini tidak akan seperti sedia kala,” ujar sang ayah.

“Apa maksud ini semua ayah?” tanya anak itu penasaran.

“Setiap kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, maka hal itu akan selalu meninggalkan luka seperti halnya pagar ini,” jawab ayahnya.
“Kamu bisa menusukkan pisau di punggung temanmu dan mencabutnya kembali dengan meninggalkan luka. Tak peduli seberapa besar kamu meminta maaf atau menyesalinya, bekas luka itu akan tetap ada,”
“Begitupun dengan ucapanmu. Kamu menyakiti orang lain dengan ucapanmu lantas kau menyesalinya, tetap saja meskipun kamu mencabut kembali kata-katamu itu, namun ucapmu akan selamanya tersimpan jauh dilubuk hatinya,”

Anak itu pun diam termangu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun,“Anakku, hati-hatilah selalu dalam bersikap dan bertutur ucap, jika kau hendak berselisih atau bertengkar dengan orang lain, ingatlah selalu nasib pagar ini, cacat, penuh lubang dan takkan pernah bisa berwujud seperti sedia kala,” tutur sang ayah.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine