Susno Duadji |
Tetapi, ngomong-ngomong, kenapa ya ontran-ontran Susno berdekatan dengan keberhasilan Polri membongkar jaringan terorisme? Tak juga jauh dari heboh skandal Bank Century? Lalu mengapa pula kasus Mbah Priok sekonyong-konyong muncul di pentas keamanan negeri?
Ribuan pasang mata dan telingan memang tengah tertuju padanya, apakah memang ia malaikat juru selamat bagi kepolisian
Berani dan nekat! Itulah yang terkesan dari sosok Susno. Berani karena memang tidak lazim seorang yang berada dalam sebuah korps besar seperti Polri dengan seabrek kode etik yang kudu dijunjung tinggi sekan-akan diacak-acak begitu saja oleh orang yang lama
Mungkin lelaki satu ini masuk dalam spesies manusia langka yang dalam komunitasnya dianggap tak lumrah dan nganeh-nganehi. Untuk popularitas atau panggilan hati atau membayar kekecewaan terhadap kepolisisan yang seolah membuatknya terkatung-katung tak menentu nasibnya setelah dilengserkan November tahun lalu? Entahlah, hanya Susno dan Tuhan saja yang tahu. Dulu, kita mengenal nama Pak Lopa yang juga begitu. Suka berpikir dan bertindak inkonvensional dalam dunia hokum namun begitu cepat dipanggil Yang Kuasa sehingga tak sempat menikmati hasil jerih payahnya yang berhasil membangun budaya hukum yang baik di negeri ini.
Socrates tak akan pernah dilupakan orang ketika memilih meminum racun Hemlock demi mempertahankan kebenaran yang oleh lingkungannya dianggap melanggar norma kepatutan. Ia boleh mati konyol. Tetapi generasi sesudahnya akan mencatat bahwa penguasa sering tak menggunakan nurani dan akal sehat dalam memelihara kebenaran. Mereka lebih mentingin stabilitas ketimbang ikut mencari kebenaran. Lebih mentingin pertemanan daripada mencari kearifan. Namun bagi kelompok orang-orang seperti Socrates juga akan dicatat sebagai seorang yang tidak pandai menyesuaikan diri dengan situasi politik yang melingkupinya. Ia bisa dianggap berani melawan trandisi namun juga bisa dianggap orang nekat yang mengacak-acak tatanan masyarakat.
Kembali ke soal Mbah Priok, di Indonesia ini memang kaya akan cerita aneh, orang yang sudah mati dianggap mampu mempersatukan orang yang masih hidup karena yang pernah berkunjung ke makam itu tak pernah bertanya pada afiliasi politik dan warna bajunya. sebaliknya, ia mampu mengobarkan konflik berdarah-darah kalau ada yang mengusik penggemarnya.
Dalam perspektif ekonomi materialistik apalah artinya seorang Mbah Priok toh bisa direlokasi ke tempat lain yang lebih tenang ketimbang berhimpitan dengan lalu-lalangnya kontainer di pelabuhan. Mereka ini lupa akan harga dari sebuah keyakinan terhadap orang alim yang dianggap dekat dengan Gusti Allah. Pun bangsa ini sudah terlanjur akrab berurusan dengan makam keramat yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Rote sampai ke Talaud (hehe, kok jadi iklan?). Dari aspek ekonomi, rakyat kecil sering mendatangi makam tersebut dengan alasan akan mendatangkan rejeki. Juga membawa rejeki untuk mereka yang menangkap kesempatan lewat pasar tiban akik hingga minyak Arab ataupun persewaan toilet.
Nanti entah ada masalah apalagi yang menjadi pekerjaan rumah besar untuk negeri ini hingga secara sadar kemudian kita dikelilingi oleh berbagai jenis komoditas asing yang membuat pengusaha lokal perlahan-lahan jatuh kelimpungan. Usaha kecil dan menengah rontok satu persatu karena tak mampu bersaing dengan produk asing. Sumber kekayaan alam banyak yang mangkrak dan kalaupun dieksploitasi itu oleh pihak asing, paling tidak kudu bermitra dulu dengan mereka, seperti