Umbrella Wisdom: Potret Indonesia di Utara Jakarta

| September 28, 2012 | Sunting
Hijau bahasa Inggrisnya...
Catatan: Kondisi terkini Umbrella Wisdom bisa dibaca di sini
"Kak, swimming kata kakak tadi artinya sedang berenang. Nah, kata Ibu Guru saya di SD, swim itu berenang. Berarti ming itu bahasa Indonesianya sedang ya Kak?" 
Alimah, gadis kecil berumur 7 tahunan tiba-tiba menyeletuk di tengah pelajaran Bahasa Inggris, suatu malam. Terdengar biasa saja mungkin pertanyaannya, bahkan beberapa darimu bisa jadi menganggap Alimah terlalu polos — sementara segelintir anak-anak seumurnya sudah begitu akrab dengan apel kotak (baca: Ipad) yang secara tidak langsung membiasakan mereka cas-cis-cus dalam bahasa Inggris: apple, angry, feeding, birds, dan sebagainya.

Namun, aku begitu bahagia mendapati pertanyaan Alimah malam itu. Alimah yang suka ramai sendiri itu ternyata memperhatikanku. Memperhatikan 'guru'nya yang tengah susah payah mengumpulkan rasa percaya diri di depan kelas. Dan lebih dari itu, pertanyaan itu bagiku adalah bentuk lain dari sifat kritis dan ingin tahu. Rasa yang ingin aku dan rekan-rekanku tumbuhkan pada Alimah, Maria, Yono, Eka, dan anak-anak lainnya. Anak-anak yang jangankan kamus elektronik, kamus saku kecilpun adalah sesuatu yang jarang mereka temukan!

Malam itu, hampir setahun yang lalu, adalah kali ke tiga aku mengajar di sebuah rumah belajar di lingkungan miskin Dao Atas, Pademangan, Jakarta Utara. Kami menyebutnya rumah, walaupun sebenarnya tak lebih dari sebuah bilik berukuran sedang yang menghadap ke utara: dengan papan tulis tergantung sedikit miring di sisi barat dindingnya.

Kemudian dua buah almari kecil berjajar di sudut timurnya, berisi buku, alat tulis, peralatan keterampilan semacam lem, kuas kecil, dan cat air, hingga beberapa obat untuk keperluan P3K.

Sementara, meja lipat — yang beberapa di antaranya sudah patah kaki, ditumpuk tepat di sebelah timur pintu. Oh ya, satu lagi, dengan Merah Putih yang terikat pada sebatang tongkat bambu berada di pojok yang sama dengan meja lipat.

Para pendirinya memberi nama rumah tersebut Umbrella Wisdom, payung kearifan. Selayaknya sebuah payung, komunitas ini juga bermimpi bisa memberikan perlindungan pada anak-anak yang ada di Dao. Namun, jangan mengartikannya sebagai sebuah penjagaan dua puluh empat jam. Perlindungan dalam bentuk lain: pendidikan!
An umbrella can't stop the rain, but it allows us to stand over the rain!
Rumah belajar tersebut berdiri di sepetak tanah di sisi rel kereta api, tidak jauh dari Stasiun Jakarta Kota. Agar mudah, dari Bakso Malang, berjalanlah ke arah timur. Kalau kamu beruntung, di ujung stasiun, di dekat toilet umum, akan kamu temui seorang volunteer dari UI. Namanya Heni, ia kerap kali menunggu volunteer lain di pojok toilet itu.

Oji
Kalau tidak bertemu dia, lurus sajalah kau. Tidak jauh dari toilet tadi, akan kau dapati pintu belakang Stasiun Kota (pintu gelap?), yang seketika akan melontarkanmu ke salah satu kawasan termiskin di Jakarta! Teruslah berjalan ke arah timur, menelusuri jalanan tanah yang sesekali becek karena hujan, ataupun karena siraman air cucian. Melewati sungai yang hitam pekat dengan beraneka ragam sampah mengapung di permukaannya, menerobos rumah-rumah petak — di mana anak-anak makan bersama kucing mereka, juga gubuk-gubuk di kolong jembatan rel kereta yang selalu gegap gempita dengan musik dangdut, tidak lupa dengan bapak-bapaknya yang selalu duduk di sana sambil bermain catur, atau sekadar memelototi TV yang menyajikan tujuh serba ter- di dunia. Oh ya, kau akan sering berpapasan dengan pengamen, waria pegawai salon, buruh pabrik shift malam, pedagang asongan, hingga tukang ojek. Yah, jangan pernah berpikir bahwa dunia ia hanyalah monopoli mahasiswa, guru, dokter, para menteri, para anggota DPR yang gemar jalan-jalan, para pejabat yang suka bermain golf, bukan hanya mereka!

Dari jalanan tanah tadi, kau akan berbelok ke utara, masuk ke jalan setapak di sisi rel kereta api dengan batu-batu tajamnya. Pemandangan tak akan jauh berbeda sebenarnya, namun lebih beragam: ada penjual kembang api, penjaja rujak, tukang bakso, pedagang makanan, bahkan terkadang ada lapak pakaian bekas juga. Ramai dengan orang-orang yang duduk ngelesot di atas rel. Terdapat juga lapak CD yang menawarkan koleksi dangdut terbaru hingga pop Korea yang sedang booming, lapangan parkir, hingga warung sembako. Teruslah berjalanlah ke timur. Kalian mungkin akan sesekali disuit-suit anak-anak muda yang kerap nongkrong di sisi rel kereta, hiraukan saja.

Hentikan langkahmu begitu sudah kau dapati sebuah mushollah kecil bercat biru yang selalu melantunkan salawat pujian sedari lepas maghrib. Di depan mushollah itulah sebuah rumah papan bercat hijau muda, beratap asbes, dengan pintu bertambal tripleks bercat merah berdiri. Dan itulah kelas kami.

Kami tidak yakin berapa jumlah pasti murid kami, namun lebih dari 80 anak usia TK dan SD. Kami para volunteer memang mendorong mereka untuk selalu datang. Menerapkan cara mengajar semenarik mungkin agar mereka selalu semangat datang. Mengajak mereka bermain, mendongengkan satu dua cerita, atau membacakan mereka buku berbahasa Inggris. Namun, anak-anak tak pernah bisa di tebak. Sakit perut, ketiduran, ikut emak kondangan, hingga malu adalah alasan yang lazim untuk absen.

Namun, Alhamdulillah, para relawan mengerti keadaan. Tak jarang mereka mendatangi rumah anak-anak untuk mengajak mereka datang. Oh ya, berapapun anak yang datang, tidak pernah menjadi alasan untuk meliburkan kelas.

Suasana kelas
Bahasa Inggris adalah mata pelajaran utama yang kami ajarkan. Mengapa? Pertama, mengenalkan anak-anak itu pada suatu hal yang benar-benar baru. Kedua, melalui bahasa Inggris diselipkan pula pelajaran-pelajaran lain seperti matematika, IPA, dan terkadang IPS. Kami pun begitu bahagia bisa menemani anak-anak itu belajar, mengenalkan mereka tentang apa itu 'baik' 'buruk', kenapa tidak harush berkelahi, apa yang harus dilakukan kalau berbuat salah, bagaimana bersikap kepada orang tua dan guru, dan sebagainya.

Mereka adalah anak-anak pandai. Anak-anak cerdas! Ada Anjas dengan kemampuan matematika di atas 'rata-rata', Maikel yang juga pandai berhitung. Juga Mujahidin yang jago menghafal. Hingga anak-anak seperti Nur, Alimah, Maria, Putri, Oji, Ahmad, Yono, Fadil, Ledi dan puluhan anak penuh semangat lainnya. Oh ya, ada si duo centil Amel dan ... (siapa sih namanya, yang suka foto dengan gaya buncis) yang suka menyanyi. Juga anak-anak yang sekarang sudah beranjak remaja: Dian, Putri, Sri Wahyuni. Ah, rasanya begitu bahagia bisa mengekspos anak-anak pintar itu pada apa yang disebut belajar, impian, dan usaha keras.

Lebih bahagianya kami adalah, setelah sekian waktu mendampingi anak-anak itu, para orang tua sudah mulai sadar akan pentingnya belajar untuk anak-anak mereka. Seringkali mereka antar anak-anak mereka ke kelas. Tak jarang, mereka bahkan terlalu semangat, "Kak, si Rere itu diajarin membaca dong, biar pinter!", padahal Rere sendiri masih balita, hehe.

Kami tak akan pernah tahu masih akan berapa lama lagi di Dao. Besar harapan kami bisa membuka kelas di daerah lain. Namun, di sisi lain kami juga masih sambil belajar mengelola sebuah organisasi. Semoga saja para relawan selalu dianugerahi nikmat dan semangat untuk terus mengabdi pada masyarakat. Meskipun harus sering berlari-lari mengejar kereta terakhir — kelas kami kadang terlambat selesai karena saking semangatnya belajar, hehe. Meskipun anak-anak kadang membuat jengkel, ahh mereka kan memang masih anak kecil :)

Yah, sempatkanlah waktumu untuk datang ke kelas kami. Kami ingin berbagi bahagia denganmu, bahagia yang sederhana, namun penuh makna.


#aku begitu rindu kelas, rindu partner in crime ku Heny yang diam-diam berbakat lari (mengejar kereta terakhir :D) juga teman-teman relawan lainnya yang sekarang sudah begitu banyak, juga anak-anak Dao yang ceria dan penuh semangat, ah.. :')

Gambar dan Video : Gavin Hamilton

3 komentar:

  1. Inspiratif sekali. Kalau ingin ikut mengajar bisa menghubungi siapa ya Bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Nurul, untuk ikut mengajar bisa langsung mendaftar melalui tautan ini. Oh ya, terima kasih apresiasinya.

      Hapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine