Menulis adalah Keberanian

| Oktober 18, 2012 | Sunting
Yah, demikianlah Pramoedya Ananta Toer berujar dalam Bumi Manusia. Ujaran yang akan cepat aku amini. 

Coba kita mengingat sejenak. Memutar waktu ke masa-masa SD dulu. Beberapa dari kita  pasti mempunyai pengalaman menulis surat, cerita pendek (yang hampir pasti selalu berakhir suka), atau paling tidak pantun dengan liukan rima memikat hati.  

Mendapati puisi yang kita tulis tertempel di majalah dinding sekolah adalah prestasi yang sangat luar biasa. Kita akan pandangi tulisan itu berlama-lama. Penuh bangga. Belum lagi dengan surat cinta untuk orang yang kita suka! Bahagianya tiada tara. 

Namun, apakah tulisan-tulisan itu terlahir begitu saja? Tidak bukan? Proses menulis selalunya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Ada yang mau baca tidak ya nanti?", atau "Enaknya kata pertamanya apa ya?"

Begitu bukan?

Dan keberanianlah yang akhirnya membuat tulisan tercipta. Keberanian menyudahi pergulatan batin menentukan kalimat pertama. Keberanian membubuhkan titik penutup. Dan setetusnya. Keberanian berbuah gembira, di luar bagaimanapun wujud tulisannya.

Menulis adalah keberanian karena tulisan itu sebenarnya seperti 'nyawa'. Seringkali, bahagia datang karena tulisan tersebut. Dan tak jarang petaka datang juga karena tulisan! Untuk sekadar mengingatkanmu, orang-orang seperti Pramoedya misalnya, harus hidup di penjara karena tulisannya dinilai sebagai pembangkangan.

Keberanian pulalah yang kemudian membuat mereka tetap menulis! Pramoedya, sekali lagi, bahkan menghasilkan sebagian besar mahakaryanya di penjara. Kalau ia tidak berani, mungkin karya-karya dewa seperti Tetralogi Buru tidak akan pernah kita baca.

Mas Udin 

Contoh lainnya adalah kasus Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas Jogja yang dibunuh karena berita. Lagi-lagi, penguasa saat itu berusaha mengganti skenario pembunuhan dengan alasan perselingkuhan istrinya. Namun, untuk ke sekian kali, skenario tersebut mental apabila kita melihat alasan yang lebih logis : mas Udin, panggilan akrabnya, membuat penguasa kebakaran jenggot dengan laporan-laporannya
Udin! Dibunuh karena berita. | Gambar ditambahkan September 2013, milik Anti-Tank Project
Begini: penguasa mana yang tidak merasa terancam kedudukannya, sementara rezim Orde Baru melindungi mereka dengan membungkam rakyat banyak, tetiba saja boroknya ditelanjangi di media massa. 

Mas Udin menulis serangkaian berita tentang kerja kotor Sri Roso Sudarmo, bupati Bantul yang hendak maju lagi dalam pemilihan bupati. Pada 28 April 1996 Harian Bernas menurunkan berita, "DPRD Bantul Terima Surat Kaleng: Salah satu calon dikabarkan beri bantuan satu milyar". Calon yang dimaksud tidak lain adalah Sri Roso, ia menjanjikan bantuan dana untuk yayasan milik Soeharto, Dharmais, bila terpilih lagi.

Berita lain yang sempat membuat berang Sri Roso adalah "Dana IDT Hanya Diberikan Separo", terbit pada 7 Agustus 1996. Isinya tentang penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal di Karangtengah, Imogiri. Utusan bupati bahkan mendatangi kantor Bernas, mengancam akan membawanya ke pengadilan. 

Sebelum itu, Mas Udin juga aktif memberitakan berbagai kasus dan ketimpangan dalam masyarakat seperti sengketa tanah di Guwosari, kasus pembangunan jalan Tamantirto-Pengkolan, hingga megaproyek 100 milyar di Parangtritis. Hampir semuanya menyangkut nama orang nomor satu Bantul.

Mas Udin sebenarnya sadar apa yang ia lakukan itu penuh risiko. Suatu kali, Marsiyem, istrinya, mengingatkan, "Ya, mbok kalau menulis berita jangan terlalu berani!" Namun, bagaimanakah kemudian jawabannya?
"Ya, gimana, memang kenyataannya begitu, yang saya tulis itu kan kenyataan. Kalau memang saya harus mati akan saya terima!" 
Malam, 13 Agustus 1996 Marsiyem tengah menyetrika di kontrakannya di Jalan Parangtritis KM 13, ketika lima orang tak dikenal datang mencari suaminya. Marsiyem sendiri yang membukakan pintu. Seorang lelaki berpakaian rapi mencari suaminya. Ingin menitipkan sepeda motor, katanya. Tanpa menaruh curiga, Marsiyem panggil suaminya, lalu meneruskan pekerjaannya. 

Mas Udin menemui tamu itu di teras. Beberapa saat kemudian Marsiyem mendengar suara gedebuk. Sang wartawan terkulai tak sadarkan diri, berlumur darah. Si tamu sudah tidak ada. Tiga hari berselang, mas Udin benar-benar pergi, menghadap Illahi Rabbi.

Bukankah sebuah keberanian besar bagi seorang mas Udin untuk menulis kala itu? Keberanian yang membuatnya tetap bertahan dengan idealismenya tatkala beberapa yang lain dengan mudah menukarnya dengan pengganjal perut atau segepok amplop. 

Mas Udin adalah contoh dari mereka yang bertahan untuk memberitakan kebenaran, sementara beberapa yang lain melata ketakutan di kaki kekuasaan. Keberanian untuk tetap memilih gaji 360 ribu sebulan, yang memang halal, daripada mendapatkan lebih namun dengan cara laknat.

Dalam catatannya, Goenawan Mohamad menulis, 
“Jika saya mati hari ini atau besok pagi, saya ingin berdiri, kalau diperkenankan Tuhan, di belakang arwah Udin yang sedang menghadap-Nya. Dan saya akan merasa bangga karena itu." 

Alfred Mirulewan: Hilang Karena Bisnis Gelap 

Kuingin memberikan satu lagi contoh, bahwa seringkali ada tulisan mengandung nyawa. Bahkan di masa yang konon sudah bebas seperti sekarang ini. Kemerdekaan untuk menyampaikan kebenaran belum juga jadi keniscayaan. Keberanian masih tetap sangat dibutuhkan! Selain itu, kujuga ingin mengingatkanmu pada sosok yang mungkin sudah terlupa ini. 

Adalah Alfred Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi Maluku yang dibunuh secara sadis dua tahun silam. Kenapa? Lagi-lagi karena berita yang (hendak) ditulisnya!

Jenazah Alfred ditemukan mengambang di perairan Pantai Nama, Kisar, Maluku Barat Daya, 17 Desember 2010. Saat itu Alfred tengah melakukan investigasi mengungkap bisnis minyak gelap penyebab kelangkaan BBM yang diduga melibatkan sejumlah aparat.

Alfred menghilang hanya selang beberapa jam setelah percekcokannya dengan petugas Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kisar. Dalam rekaman yang tersimpan di memori telepon genggamnya, ia diperingatkan petugas, "BBM yang tengah diturunkan malam itu milik Komandan Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) Kisar! (Jangan macam-macam)!" Hmm.

Yah, Alfred belum juga mengedarkan tulisannya, namun sudah sebegitu tragis nasibnya.

Malala, Catatan Harian Si Pemberani 

Sementara itu, kisah teranyar tentang keberanian datang dari sebuah kota kecil di Pakistan. Seorang gadis berusia 14 tahun, yah 14 tahun!, ditembak oleh Taliban sebagai buntut dari catatan harian yang ditulisnya di blog BBC Urdu, 3 tahun lalu. Kala itu, Malala Yousafzai menuliskan kisah hidupnya di bawah kuasa Taliban, ketika fatwa pelarangan sekolah bagi anak-anak perempuan dikeluarkan di kotanya.
Malala Yousafzai
Malala, dalam sebuah kesempatan
Tulisannya yang jujur sontak menarik perhatian publik kala itu. Wikipedia menyebutkan, Presiden Zardari bahkan sampai harus mengkaji ulang interpretasi hukum di kota tempat tinggal Malala.

Lebih lanjut, Malalapun mendapatkan banyak kesempatan untuk berbicara di depan umum. Menyuarakan hak-hak perempuan yang dikerdilkan, utamanya hak atas pendidikan. Namanya dianggap sebagai simbol perjuangan mendapatkan akses pendidikan. Suaranyapun semakin didengar.

Taliban berang! Ancaman pembunuhan Malala sampai ditulis di surat kabar, juga melalui tulisan-tulisan yang diselipkan di pintu rumahnya. Namun Malala tak gentar. Ia

Puncaknya adalah 9 Oktober lalu, ketika ia ditembak di atas bus sekolah, dalam perjalanan pulangnya! Taliban sudah kelewat marah (atau takut?), dan akhirnya membuktikan ancamannya!

Malala saat ini telah diterbangkan ke Inggris untuk pengobatan. Taliban mungkin sudah cukup senang karena melihatnya diam. Namun, ternyata suara dalam diamnya malah terdengar lebih keras! Tulisan-tulisan Malala dibaca lagi, memantik berbagai solidaritas untuknya.

Tutupan

Sosok keempatnya memang sama sekali tak sama. Namun, pada akhirnya, ada satu benang merah yang menautkan mereka: keberanian mereka dalam menulis!

Jaman terus berputar. Facebook, blog, twitter, tumblr, dan beragam media lainnya adalah sesuatu yang teramat lazim sekarang ini. Namun, bukan berarti semua itu menjamin keberanian untuk menulis menjadi lebih besar. Keleluasaan memang ada, namun sudah cukup beranikah kita menulis tanpa represi?

Aku sendiri misalnya, apa yang kutulis terkadang masih disetir oleh asumsi publik: yang seperti ini layak tidak ya kalau dibaca orang? Aku cenderung memikirkan lagi apa yang kutulis setelah beberapa orang bertanya, "Bastian, kamu Islam Liberal ya?", atau di kali yang lain, "Bastian, gw mau tanya-tanya nih soal Tan Malaka. Oh ya, lu marxis ya? Atau komunis?" 

Aku boleh saja berkilah, "Aku nggak mau ribet saja, ditanya terus (makanya sekarang aku lebih hati-hati nulis)!", namun bukankah itu bukti ketidakberanian menjawab pertanyaan orang?
Mari belajar berani (baca: menulis) bersama-sama
Bonus: Terjemahan catatan harian Malala

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine