Surat dari Yangon

| Oktober 09, 2012 | Sunting
Salam,
Saudaraku, dimanapun kalian berada.

Newsweek edisi 24 September lalu dengan meyakinkan menyajikan satu artikel berjudul "Boom Days in Burma". Artikel dibuka dengan pernyataan optimistis seorang konsultan bisnis asal Italia, "Orang-orang yang belum pernah berkunjung ke Yangon pasti selalu berpikir bahwa kota ini adalah zona perang, dengan tank di mana-mana. Itu artinya mereka harus menyempatkan sekali waktu untuk kesini (dan lihat betapa semua itu tidak ada)." 

Selebihnya, artikel tersebut berusaha keras untuk meyakinkan publik bahwa isu hak asasi manusia di negeri Irawadi tersebut tidak sepelik dulu. 

Setali tiga uang dengan artikel tersebut, presiden kami, Thein Sein, dalam debut pidato- nya di hadapan Sidang Umum PBB, New York (27/9) lalu juga menyebutkan, "Burma saat ini sudah memasuki era baru dengan berbagai perubahan yang yang mengagumkan. Kami tengah menuju pemerintahan yang demokratis  pemilu sukses digelar tahun ini dan menempatkan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi di parlemen. Sensor terhadap media pun sudah dicabut. Amnesti juga diberikan kepada tahanan pemerintah!"

Namun, sayangnya, apa yang dipuji-puji sebagai kebangkitan Burma itu tidaklah seratus persen benar Saudaraku. Kami, 13 pemuda Burma, meminta izin untuk melakukan peringatan Hari Perdamaian Dunia 2012 di Yangon tanggal 21 September lalu. Sesuai hukum Burma, segala bentuk aksi massa di depan publik harus mendapatkan izin dari otoritas kepolisian . Dan tahukah kamu, permintaan izin tersebut ditolak mentah-mentah oleh sembilan kantor polisi sekaligus! Alasan yang mereka gunakan adalah peringatan tersebut bisa memicu kemacetan lalu lintas, ketidaknyamanan publik, dan bisa jadi memicu kekerasan.

Bukankah penolakan tersebut sangat kontradiktif dengan usaha Burma (baca: presiden) meyakinkan dunia internasional  bahwa kondisi Burma sudah berubah?

Namun, penolakan tak juga menggentarkan kami. Berbekal keberanian dan mimpi tercapainya perdamaian di tanah Irawadi, pada 21 September 2012,  jalan damai tetap kami lakukan dari City Hall ke Inya Lake sesuai rencana. Memprotes dan mendesak dihentikannya kekerasan terhadap berbagai etnis di Burma yang seolah tiada ujung.

Hari itu adalah hari yang penuh semangat bagi kami. Kepolisian hingga detik-detik dimulainya acara masih saja berusaha menghalangi kami, "Ini kegiatan illegal!" Namun kami berteriak melawan, "Sorry officer! Tidak ada seorangpun mau bertanggungjawab atas perang saudara yang telah mengubah kondisi negeri ini. Sekarang, Anda menuduh kami yang hanya ingin mengadakan jalan damai telah menyebabkan kekacauan? Ini sangat tidak adil! Kami tidak bisa menuruti perintah Anda. Kami akan tetap bergerak maju. Anda dapat mengambil tindakan hukum terhadap kami kemudian!"

Melibatkan ratusan pemuda, aktivis, dan juga masyarakat sipil yang datang dari berbagai kota, aksi damai tersebut berhasil mendengungkan lagu-lagu perdamaian ke langit Yangon. Dengan kaos biru terang, berikat kepala "Stop the Civil War", dan poster "Nothing Beats Peace" di tangan, kami menyeruak jalanan sibuk Yangon. Di Inya Lake, kami lantas melakukan aksi diam, untuk kemudian mendirikan miniatur monumen perdamaian.

Kami puas, telah melakukan aksi massa terbesar pertama kalinya di Burma, sejak tahun 2007. Lebih membahagiakannya, tiada darah tertumpah hari itu! Kami bangunkan publik, banyak saudara kita yang masih tertindas, bahkan terusir dari rumahnya.

Saudaraku, pada akhirnya, kepolisian memenuhi 'permintaan' kami, untuk menindak kami setelah aksi selesai. Tanggal 22 dan 23 September surat panggilan untuk melapor ke kantor polisipun datang pada kami. Kami kemudian diminta menandatangani surat pernyataan akan datang ke pengadilan apabila tuntutan sudah resmi dijatuhkan, kecuali kami mau membayar denda 1 juta kyat (sekitar USD 1160).

Kami dinyatakan telah melanggar pasal 18 Law Relating to Peaceful Assembly and Peaceful Procession Burma, melakukan aksi massa di tempat umum tanpa izin, atau lebih tepatnya walau tidak diberi izin! Kami sedari awal menyadari bahwa apa yang kami lakukan sangat berisiko, namun bukan berarti kami harus terus diam, membiarkan kekerasan terus berlanjut.

Saat ini, kami dihadapkan pada hukuman penjara maksimal 1 tahun, dan denda 30 ribu kyat (USD 35). Tetapi, kemudian angka tersebut kemudian akan dikalikan sepuluh, karena aksi jalan damai yang kami lakukan melewati 10 wilayah otoritas kepolisian. Singkatnya, ada kemungkinan kami akan dipenjara hingga 10 tahun lamanya.

Hingga saat ini, 6 orang dari kami tengah diadili di pengadilan. Dan, sisanya, akan mendapatkan perlakuan yang sama, segera. Kepolisan menangani kasus kami dengan sangat serius.

Pada akhirnya, beberapa hal yang ingin kami garis bawahi:
  • Meskipun banyak perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, namun masih banyak hal tetap sama dari waktu ke waktu. Walau sensor media telah dihapus, masih belum ada kebebasan berekspresi di Burma. Masih ada kontrol atas apa yang bisa atau tidak bisa katakan, atas apa yang dapat atau tidak dapat kita lakukan. Polisi memiliki kuasa untuk menahan izin kegiatan, seperti halnya aksi damai yang kita lakukan, ekspresi masih sangat diatur, dan kondisi aktivis-aktivis kemanusiaan masih saja sangat sulit! There is no freedom of expression in Burma!
  • Kehidupan kelompok etnis minoritas di negeri ini, seperti Kachin, tidak juga membaik. Perang saudara di Kachin State misalnya, masih terus berlanjut sejak dimulai Juni tahun lalu – mengakhiri 17 tahun gencatan senjata. Lebih dari 75 ribu warga terusir dari kampung halamannya, bahkan mengungsi sampai ke China. Di bagian barat Burma, kaum Budha, juga Muslim Rohingya, telah mengalami kekerasan selama berbulan-bulan. Menyebabkan banyak korban jiwa, dan memaksa lebih 65.000 jiwa untuk hidup di pengungsian, sebagai akibat dari pengrusakan permukiman. 
Semoga surat ini dapat memberikan pemahaman kepada saudara-saudara semua tentang apa yang sebenarnya terjadi di Burma. Perhatian khalayak atas kasus ini semoga dapat menekan pemerintah untuk membebaskan kami. Dan lebih dari itu, untuk kemudian menunjukkan bahwa hak asasi manusia, utamanya hak untuk berekspresi dan berpendapat itu masih ada dan sudah seharusnya dihormati!

Salam,

13 Pemuda Burma yang Ditangkap Kepolisian Karena Aksi Damainya


Free the thirteen
Surat ini adalah bagian dari kampanye "Free the Thirteen", #freethe13, salah satu upaya mendesak otoritas Burma untuk membebaskan 13 aktivis lokal yang ditangkap kepolisiankarena melakukan aksi jalan damai memperingati Hari Perdamaian Dunia 2012 lalu di kota Yangon. Kampanye ini juga mendukung dijaminnya hak berekspresi di Burma, pada khususnya, dan di dunia pada umumnya. Surat ini dinarasikan berdasarkan informasi terbatas yang didapat dari salah satu aktivis yang ikut di tangkap.

Kampanye ini diinisiasi oleh pemuda-pemuda lintas negara alumni Debating & Producing Media Camp 2012, Manila. 
   
Baca berita lebih lanjut soal apa yang terjadi di Burma.
Democratic Voice of Burma : A Call for Peace 
International Freedom of Expression Exchange: Burma charges Peaceful Protest Organisers

Beritahukan informasi ini ke orang-orang disekitarmu

Ajak mereka untuk menyukai page facebook kami: "Free the Thirteen"
Twit info kampanye dengan hashtag #freethe13
Sebarkan link surat ini ke orang-orang yang kamu kenal: http://bit.ly/freethe13
Sebarkan link petisi online kami di (segera)

Apa lagi yang bisa kamu lakukan?
Tulis email ke human rights organizations, UN atau US State Sect
Tulis pendapatmu mengenai kasus dan atau kampanye ini di bagian komentar, ataupun di blog atau jejaring sosialmu
Tandatangani petisi online kami (segera)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine