Gaza, Bola-bola Mimpi yang Pupus

| November 19, 2012 | Sunting
#PrayForGaza, #StayStrongGaza, #GazaUnderAttack, dan berbagai hashtag berbau Gaza lainnya lalu lalang di twitter beberapa hari belakangan ini. Tetapi entah kenapa seruan tersebut tidak pernah benar-benar menjadi trending topic, sebagaimana ketika kasus penyerangan Mavi Marmara dulu. Di Indonesia sendiri, gaungnya di twitter tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hashtag tidak penting (menurut saya) semacam #IndonesiaBanggaPunyaSmash (?).

Ketika Mereka Datang
Namun, sudahlah, ini soal hati. Hati yang bermain soal peduli atau tidaknya seseorang atas apa yang tengah terjadi di Gaza. Hatilah yang membuat ribuan orang tergerak mengusung petisi daring menyeru para pemimpin dunia untuk melakukan sesuatu, hatilah yang menggerakkan ribuan orang mengumpulkan donasi, dan hati pulalah yang menyetir jutaan lainnya untuk sekadar mengabarkan di laman facebook, twitter maupun blog mereka tentang apa yang sedang terjadi di Palestina.

Bagaimana denganku? Entahlah. Tetapi ku tetiba teringat pada satu buku yang belum juga selesai kubaca. Buku murah seharga lima belas ribu rupiah di belakang Taman Pintar beberapa bulan silam. Judulnya Bola-bola Mimpi. Sebuah novel  yang diterjemahkan dari  A Little Piece of Ground-nya Elizabeth Laird. Novel yang sempat kutulis beberapa paragraf pembukanya di buku serbagunaku. Dan, setelah kubuka-buka lagi, ternyata masih ada.
Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,9 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal)
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal)
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).
9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian yang bisa disembuhkan tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.
10. ......
Yah, novel ini berkisah tentang Palestina, tentang dunia penjajahan. Tetapi dituturkan dengan sangat sederhana dan apa adanya oleh seorang bocah 12 tahun bernama Karim Aboudi. Babanya, Hasan, adalah pemilik toko elektronik. Sementara ibunya, Lamia, ibu rumah tangga yang nyambi bekerja paruh waktu di sebuah universitas. Jamal yang beberapa kali ia sebut tadi adalah kakaknya – 15 tahun – yang sering meleset ketika melontarkan ketapel ke tank-tank Israel.

Hidup di bawah opresi tidaklah mudah, terutama bagi Karim sendiri. Bahkan untuk sekadar menuliskan 10 hal yang ia inginkan saja ia harus berpikir begitu keras. Memastikan bahwa apa yang ia tulis itu benar-benar harus diberi prioritas. Baginya kelewat lebih mudah untuk menuliskan apa yang tidak ia inginkan tentunya.
Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti Baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan memaksaku menjadi dokter. Padahal mama tahu aku benci darah.
3. Tidak pendek
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudku rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda “kumuh”.
8. Tidak sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati
Lancar sekali Karim menuliskannya. Walaupun beberapa memang terlihat sangat lucu. Untuk tidak menikah dengan perempuan seperti Farah misalnya, sekadar karena Farah – adiknya – masih sering ngompol. Haha

Karim banyak melewatkan hari-harinya bersama sang sahabat, Joni Boutros, seorang Nasrani. Ia juga secara tidak sengaja berkawan dengan seorang anak Palestina yang tinggal di kamp pengungsian, Sami – namun memperkenal dirinya sebagai Grasshopper. Nah, bersama si Hopperlah Karim menemukan surganya, sebuah lahan sempit untuk bermain bola (demi mewujudkan mimpinya untuk menjadi pemain sepak bola sehebat Zidane).

Meraka Bombardir Sekolah Kami
Malangnya, di sekitar tempat itu pulalah pada akhirnya Karim terjebak oleh tentara Israel yang mendadak mengumumkan jam malam dan menduduki “lapangan Karim.” Selama beberapa hari ia bersembunyi di sebuah mobil bekas yang memang sudah ia dan Hopper rancang untuk keadaan darurat – bersama seekor kucing betina dan dua anaknya: Aziza, Huriyah dan Ginger. 

Saat pelarian pulang inilah ia terkena tembak. Anak Gaza ditembak tentara Israel memang bukanlah sesuatu yang asing lagi. Itupun Karim masih bisa mengucap syukur karena ia tertembak di bagian kaki, bukan di kepala atau punggung – seperti yang ia tulis dalam daftar hal terbaik yang dimaunya.

Pasca penambakan itu praktis Karim lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Berusaha untuk tidur meski tak pernah berhasil. Ia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, hingga melamun. Mengingat kembali mimpi-mimpi yang ia tulis. Sembebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game komputer, menjadi penemu – semuanya sampah, begitu pikirnya.
Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ia tambahkan agar benar-benar lengkap sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, Cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.
Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu seperti mustahil. Mereka tidak akan pernah memberikan apa yang seharusnya menjadi hak kami, gumamnya lirih.
Aku menangis di beberapa bagian. Betapa tidak mengenakkannya penjajahan. Bagaimana mimpi anak-anak seperti Karim harus pupus (walaupun mereka tidak pula lantas menyerah begitu saja pada keadaan).

Saat ini, mungkin sudah lebih banyak lagi mimpi anak-anak Gaza yang terputus. Mimpi belasan anak yang meninggal sejak operasi gencar dilancarkan oleh Israel beberapa hari lalu misalnya – diluar mimpi ribuan anak lainnya yang harus bertahan di kamp pengungsian seperti Hopper.

Sungguh, bagaimanakah perasaanmu bila menjadi seorang Karim. Dulu, sebagian darimu, bahkan sudah sangat marah hanya karena mobil-mobilan atau robot-robotanmu direbut orang lain, lantas seberapa "marah"kah engkau ketika ada orang yang mengambil tempat bermainmu, merenggut mimpi-mimpimu? – diluar juga kemungkinan hilangnya nyawa keluarga, teman, dan sanak saudaramu. Mari menunduk sejenak. Berdoa untuk Gaza, juga saudara-saudara kita di belahan bumi manapun yang masih dicabik-cabik penjajahan.  Yang pasti, perjuangan tidak akan pernah mencapai kata menyerah. We will not go down!
We will not go down! dari Michael Heart

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine