Kantin - Ilustrasi | Credit: OmaQ |
Skenarionya adalah, ia berdiri di belakang mesin kasir lantas menarik senyum begitu pembeli datang dan bertanya, "Nak minum apa? Mau minum apa?" Sejurus kemudian ia bergeser dari mesin kasir ke tumpukan gelas dan jejeran porong begitu mengetahui minuman apa yang dipesan si pembeli. Segera setelah minuman siap ia akan kembali ke mesin kasir, menghitung berapa ringgit yang harus dibayar oleh si pembeli, menerima uang (dan memberikan kembalian bila ada).
Hal tersebut tentu terlihat gampang. Tetapi skenario tersebut barulah untuk satu pembeli bukan? Pada jam makan siang yang padat, skenario tersebut harus dikali-lipatkan menjadi lima puluh, bahkan seratus.
Belum lagi ia harus dihadapkan pada orang-orang yang tengah lapar dan harap segera mendapatkan pelayanan. Tak jarang ia mendapatkan pertanyaan semacam, "Boleh cepat sikit Kak? Bisa cepat sedikit Kak?". Dan pada titik inilah rasa iba itu datang. Atau mungkin lebih tepatnya jengkel.
Tidakkah orang-orang melihat bahwa si kasir hanya memiliki dua tangan? Dua tangan yang hanya bisa digunakan untuk melakukan satu pekerjaan. Waktu yang digunakannya untuk melayani pembeli selalu saja menggunakan operasi penjumlahan, tanpa operasi pengurangan (waktu).
Jadi, ketika taruh saja masing-masing sequence dalam skenario yang sebut tadi memakan waktu 5 detik untuk menanyakan order, 3 detik untuk berjalan ke tempat miniman, 30 detik untuk membuat minuman pesanan, 3 detik untuk kembali ke mesin kasir, 10 detik untuk menghitung total uang yang harus dibayar, 7 detik untuk menerima dan memasukkan uang ke mesin kasir (dan 3 detik tambahan bila harus memberikan kembalian), maka total waktu yang dibutuhkannya akan selalu 61 detik, tidak mungkin dikurangi. Kecuali, ada pembeli yang tidak memesan minuman. Atau jika misalnya skenario diganti si pembeli membungkus makanannya, maka perlu ditambahkan waktu memasukkan makanan ke dalam plastik dan sebagainya.
Yang pasti, tidak pernah akan berkurang waktu yang dibutuhkan si kasir bila yang diharapkan ia bisa membuat minum sambil menerima uang pembayaran misalnya.
Lantas mengapa saya harus merasa iba? Bukankah ia bisa meminta bantuan kepada pegawai kantin lainnya misalnya, atau mungkin meminta pegawai tambahan kepada majikannya? Dan bukankah pembeli adalah raja yang mempunyai hak untuk dilayani dengan baik (dan bahagia)?
Lagipula bukankah itu memang bagian dari pekerjaannya? Yang profesional dong, dia tahu kok pasti seperti apa risiko menyanggupi pekerjaan semacam itu.
Tenang. Karena alasan 'memang pekerjaannya' itulah perasaan iba ini muncul. Si kasir ini memang mendapatkan gaji untuk pekerjaan yang digelutinya. Dan anggap saja, gaji tersebut termasuk untuk melayani berbagai macam permintaan pembeli, konsumen. Tetapi, pada tahap ini saya merasa ada batas yang lantas harus ditarik jelas.
Lebih dari sekadar konsumen yang konon memang pantas mendapatkan pelayanan nomor satu, kita tetap memosisikan diri sebagai manusia biasa yang, "Kami kan juga punya batas sabar!", "Kami kan buru-buru, cepat lah!", "Kami kan...!" dan kami, kami lainnya.
Lantas, kenapa pada waktu yang sama kita lupa (atau berlagak lupa?) bila sebenarnya si kasir juga memiliki hak untuk misalnya menjawab, "Kami cuma ada dua tangan dan dua tangan kami baru bisa bekerja secepat ini!", atau bila mereka tega bisa saja mereka jawab, "Tidakkah cukup dua tangan kami, apa perlu kami gunakan pula dua kaki kami untuk melayani kalian?".
Yah, mereka punya hak dan kesempatan untuk melakukan semua itu. Tapi mereka memilih tidak. Kenapa?
"Saya paham kok pasti mereka ini sedang lapar, jadi wajarlah kalau minta cepat. Maaf juga kalau mungkin saya yang terlalu lambat bekerja, namun sepertinya ini sudah batas maksimal saya."
semacam potret alienasi pada pekerja?
BalasHapusbtw, salam kenal :)
Pengingat diri saja mas sebenarnya, hehe.
HapusSalam kenal.
Bastian