Vanka – Anton Chekhov

| April 11, 2016 | Sunting
the Apprentice, Ivan Bogdanov
Vanka, bocah 9 tahun, yang magang di tempat Aliakhin, si pembuat sepatu
Sudah tiga bulan ini bocah sembilan tahun bernama Vanka Zhukov itu magang di tempat pembuat sembatu Aliakhin. Saat malam Natal, ia memilih untuk tidak tidur. Ia menunggu sampai sang majikan dan istrinya, juga para pekerja lain, pergi ke gereja. Sepeninggal mereka, ia ambil sebotol tinta dan sebatang pulpen yang ujungnya sudah karatan dari lemari majikannya. Setelah itu ia membentangkan selembar kertas kusut, lalu mulai menulis.

Tetapi, belum juga memulai huruf pertamanya, ia sudah berkali-kali memandangi pintu dan jendela dengan perasaan takut. Ia juga sekilas melihat ikon gelap yang terpasang di antara rak-rak sepatu.  Ia mendengus pendek. Vanka berlutut di lantai, sementara kertas terhampar di atas bangku di depannya.

"Kakekku sayang, Konstatin Makarych!" tulisnya. "Aku tulis surat ini untukmu. Selamat hari Natal, Tuhan memberkati. Saat ini aku tidak lagi memiliki ayah dan ibu. Hanya kakek yang kupunya."

Vanka memandangi jendela yang gelap. Bayangan cahaya lilinnya bekerlipan. Sosok kakeknya seperti berdiri di sana. Konstantin Makarych adalah seorang penjaga malam di Zhivarevs, lahan perkebunan milik orang-orang kaya. Tubuhnya kecil kurus. Tetapi ia masih cukup gesit dan bersemangat untuk ukuran lelaki enam puluh lima tahun. Wajahnya selalu terlihat bahagia. Matanya sayu karena kebanyakan minum. Kalau tidak tidur di kamar pembantu, ia akan menghabiskan siang harinya untuk bersenda gurau dengan para babu. Sementara di malam hari, berbalut mantel kulit tebal, ia akan berjalan keliling kebun sambil membunyikan kelentungnya. Di belakangnya dua ekor anjing mengikuti dengan malas. Mereka adalah si tua Kashtanka dan seekor anjing bernama Eel, ia dinamai demikian karena bulunya yang hitam legam dan bentuk tubuhnya yang panjang seperti ikan loach. Si Eel ini adalah anjing yang sangat penurut, lagi jinak. Ia memperlihatkan pandangan yang bersahabat ke semua orang, termasuk yang tidak dikenalinya sekalipun. Tetapi jangan pernah percaya padanya. Kepatuhan dan kejinakannya itulah yang menyamarkan tabiat aslinya. Tidak ada yang lebih mahir dari si Eel dalam hal menyergap dan menggigit kaki. Atau bagaimana ia mengendap-endap masuk ke kelder. Juga kelihaiannya menggondol ayam milik petani. Kaki belakangnya sudah berkali-kali terkena jerat. Pernah malah dia digantung, dua kali. Dan tak terhitung lagi berapa kali ia dipukuli hingga tak berdaya. Tetapi ia selalu saja pulih kembali.

Sekarang kakeknya pasti tengah berdiri di dekat pintu gerbang. Ia biasa memicingkan matanya ke arah jendela gereja desa yang merah menyala. Atau menggoyang-goyangkan sepatu butnya. Atau ya bercanda dengan para pembantu seperti biasa. Kelentung selalu tergantung di ikat pinggangnya. Untuk mengusir dingin, ia suka mendekap tubuhnya sendiri. Ia juga suka iseng mencubiti pembantu atau tukang masak, perempuan tentu saja. "Mau?" ia akan berkata, sambil menyodorkan kotak tembakaunya.

Yang ditawari akan mengambil sedikit dan terbersin. Kakeknya akan terkekeh, dan berseru: "Bagus itu untuk menghalau dingin!"

Ia bahkan juga memberikan tembakau pada anjing-anjing itu. Biasanya Kashtanka akan terbersin, mengibaskan kepalanya, lalu pergi. Tetapi si Eel yang terlalu penurut, jangankan pergi, bersin saja tidak. Cuaca begitu bagus. Udara sangat tenang, bersih, dan segar. Malam memang gelap, tetapi seantero desa dapat terlihat dengan jelas. Atap-atap rumah yang berselimut putih, dengan cerobong mengeluarkan asap tipis. Pohon-pohon berwarna keperakan, terselubungi oleh embun beku. Salju-salju beterbangan terbawa angin. Langit bertabur bintang berkerlipan. Bima Sakti terlihat jelas, seperti baru dicuci dan digosok dengan salju untuk perjamuan.

Vanka menarik nafas, mencelupkan penanya ke kotak tinta, dan melanjutkan menulis:

"Kemarin mereka memarahiku habis-habisan. Aliakhin menjambak rambutku. Lalu menyeretku ke halaman dan mencambukiku dengan ikat pinggang. Padahal hanya karena aku tertidur ketika menjaga bayinya di ayunan. Minggu lalu istrinya memintaku untuk membersihkan ikan haring. Dan karena aku memulainya dari bagian ekor, ia merebut ikan itu lalu menggosokkan kepalanya ke mukaku. Sementara teman-teman magangku gemar mengerjaiku. Mereka menyuruhku ke kedai bir untuk membeli vodka, lalu memaksaku mencuri acar timun majikan. Tak ayal Aliakhin memukuliku dengan apa saja yang ia dapat. Dan aku tidak dapat jatah makan. Sehari-hari aku mendapatkan roti untuk sarapan. Untuk makan petang mereka memberiku kasha. Lalu roti lagi di malam hari. Aku tidak pernah mendapatkan teh atau sup kubis, mereka menghabiskannya sendiri. Di malam hari, aku harus tidur di ruang depan. Dan kalau bayi mereka menangis, aku tidak akan bisa tidur sama sekali karena harus mengayun ayunannya. Kakekku sayang, demi Tuhan, bawa aku pulang ke desa. Aku tidak tahan lagi. Aku sungguh memohon padamu Kek. Aku akan selalu mendoakanmu. Ambil aku atau aku akan mati...."

Vanka menggigit bibirnya. Lalu mengusap mata dengan tangannya yang menghitam. Ia terisak.

"Aku akan melintingkan tembakau untukmu," ia melanjutkan, "Berdoa untukmu, dan kamu bisa mencambukku sekuat mungkin kalau aku nakal. Dan kalau tidak ada lagi yang bisa kukerjakan, aku akan memohon-mohon ke pelayan agar bisa membantunya membersihkan bot. Atau aku akan menggantikan Fedya jadi penggembala. Kek, aku tidak tahan lagi. Aku tersiksa sekali. Aku terpikir untuk melarikan diri dan berjalan ke desa, tetapi aku tidak punya bot. Aku takut akan mati membeku. Ketika aku besar nanti, aku akan merawatmu. Aku tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu. Ketika kamu meninggal dunia, aku akan senantiasa mendoakan arwahmu, seperti aku mendoakan ibuku, Palageya.

"Moskow adalah kota yang besar. Banyak sekali rumah mewah. Juga kuda. Tetapi tidak ada satu pun domba. Anjing-anjingnya juga tidak garang sama sekali. Tidak ada prosesi anak-anak bintang saat Natal di sini. Dan tidak semua orang bisa ikut paduan suara gereja. Aku pernah sekali melihat toko yang menjual kail pancing. Sekali dengan talinya, katanya cocok untuk segala jenis ikan. Bahkan ada sebuah kail yang kuat menahan shea-tfish seberat tigapuluh pon. Aku juga melihat toko lain yang menjual berbagai jenis senjata seperti yang majikanku miliki. Harga satunya mungkin bisa sampai ratusan rubel. Sementara di toko daging, mereka menjual daging ayam grouse, ayam hutan, juga daging terwelu. Tetapi penjaganya tidak mau memberi tahu dimana mereka mendapatkan hewan-hewan itu.

"Kek, kalau majikan kakek mengadakan pesta Natal seperti sebelum-sebelumnya, tolong ambilkan satu kacang emas untukku. Letakkan saja di kotak hijauku. Mintalah izin pada si nona, Olga Ignatievna, dan katakan kalau itu untuk Vanka."

Vanka kembali menengok ke jendela. Memandanginya. Ia ingat bagaimana kakeknya selalu pergi ke hutan untuk mencari pohon Natal untuk majikannya. Tak lupa cucunya diajak serta. Oh, betapa bahagianya masa itu. Kakeknya akan mengikik. Pepohonan yang membeku akan mengikuti. Mengikuti, Vanka pun akan ikut tertawa. Biasanya, sebelum menebang pohon, kakeknya akan merokok dengan pipanya. Atau mengambil sejumput tembakau sembari menertawakan Vanka yang kedinginan. Pohon-pohon cemara muda yang terselimuti salju berdiri tenang. Cemas menunggu siapa yang akan ditebang. Dan, tidak tahu dari mana, tiba-tiba seekor terwelu muncul dari hamparan salju, . Dan seperti biasa kakek akan berteriak:

"Tangkap dia, tangkap... tangkap diaaa! Ah, itu, iblis berekor pendek!"

Pohon yang sudah ditebang akan dibawa ke rumah majikan kakek. Dan mereka akan mulai menghiasinya. Si nona kesukaan Vanka, Olga Ignatievna, akan menjadi yang paling sibuk. Ketika Ibu Vanka, Pelageya, masih hidup dan menjadi pembantu di sana, Olga Ignatievna biasanya akan memberi Vanka permen. Lalu akan mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung sampai seratus. Bahkan juga mengajarinya menari quadrille. Tetapi setelah Pelageya meninggal, Vanka tinggal di belakang, bersama kakeknya bersama para pembantu. Dan setelah itu ia dikirim ke Moskow, untuk hidup bersama Aliakhin si pembuat sepatu...

"Ayolah Kek," Vanka melanjutkan, "Demi Tuhan aku memohon padamu. Ambil aku dari tempat ini. Kasihanilah aku, cucumu yang yatim piatu. Semua orang memukulku. Aku juga kelaparan. Di sini sangat menjemukan, sulit aku menceritakannya padamu. Aku menangis sepanjang waktu. Beberapa hari lalu tuan memukul kepalaku dengan sepatu. Aku terjatuh dan rasanya susah untuk pulih kembali. Hidupku di sini sangat menyedihkan, bahkan lebih buruk dari hidup anjing mana pun... Aku kirimkan juga salamku untuk Alyona, juga untuk si mata satu Yegorka, dan tak lupa kepada Pak Kusir. Oh ya Kek, jangan berikan harmonikaku pada siapa pun. Aku tetaplah cucumu, Ivan Zhukov. Kakekku, tolonglah aku, sungguh."

Vanka melipat kertasnya. Lalu memasukkannya ke amplop yang ia beli kemarin, seharga satu kopek. Setelah berpikir sejenak, ia mencelupkan penanya ke kotak tinta dan menuliskan:

Untuk Kakek di Desa.

Ia menggaruk kepalanya, berpikir sejenak, lalu menambahkan: "Konstantin Makarych." Kelewat senang karena ia tidak mendapatkan gangguan apapun selama menulis, Vanka memakai topinya. Tanpa memakai mantel ia berlari keluar. Hanya dengan kaos.

Pegawai di toko daging memberi tahunya kemarin bahwa surat-surat harus dimasukkan ke kotak surat. Dari kotak surat, semuanya akan dibawa ke seluruh dunia menggunakan kereta surat yang ditarik 3 ekor kuda. Oleh pengemudi yang selalu mabuk. Dan dengan bel yang bergemerincingan. Vanka berlari ke kotak surat terdekat dan memasukkan surat berharga itu ke mulutnya.

Terbuah oleh harapan, ia sudah tertidur lelap satu jam kemudian. Ia memimpikan sebuah kompor. Di atas kompor itu kakeknya duduk. Ia mengayun-ayunkan kakinya yang tanpa alas. Ia tengah membacakan surat Vanka kepada para juru masak.

Eel berjalan mengitari kompor, mengibas-ngibaskan ekornya.

Desember 1886
Diterjemahkan dari cerita berjudul sama yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris oleh Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky. Cerita ini bagian dari buku Stories by Anton Chekhov (Bantam Books, 2000). Ada beberapa kalimat yang saya rujuk dari terjemahan lain, karya Ivy Litvinov dalam buku Anton Chekhov's Short Stories (W. W. Norton & Company, 1979). Ilustrasi merupakan lukisan karya pelukis Ivan Bogdanov, the Apprentice.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine