Spanduk bertulis puisi untuk 1 Mei | Foto milik Petak Daud |
Penggalan puisi karya A. Samad Said, atau biasa dipanggil Pak Samad, menghiasi sebuah spanduk yang dibentangkan saat peringatan Hari Pekerja di Kuala Lumpur, 1 Mei kemarin. Hari Buruh.
Bunyinya: Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh. Hujan lebat, membasahi piket terjah. "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami keturunan manusia seperti tuan, juga!"
Puisi penuhnya berjudul Sebuah Kisah Resah Gelisah. Puisi ini pertama kali dimuat di surat kabar Utusan Zaman, 15 Januari 1956. Juga masuk dalam buku kumpulan puisi A. Samad Said: sebuah antologi puisi yang menghimpunkan karya-karya selama lebih setengah abad.
Sebuah Kisah Resah Gelisah
A. Samad Said, dari balik lensa kamera Azharuddin |
Titisan hujan ke atap penuh hiba merayap, ibu tua terbongkok sakit — terbatuk-batuk seksa menembus urat saraf, terlantar mereka yang mogok — keadilan tipis menjenguk.
Titisan hujan ke atap terus berdetap-detap, ibu tua berbatuk semakin melutut teruk. kisah derita yang menekan tenggelam segera ditelan deru kereta mengamuk di jalan liar yang sibuk.
Di kantor tuan bersandar membaca surat khabar cerut di bibir berputar — asap berkepul berpusar. Kenangan mesranya berlari ke gadis manis berseri ke jernih wiski dan brandi membuih lazat sekali.
Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh hujan lebat mencurah membasahi piket terjengah: "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami turunan manusia serupa tuan-tuan, juga!"
Hati anak berdebar seluruh jantungnya tercalar, kenangan pahitnya terlontar ke ibu tua terketar. Terlepas suaranya yang pilu dari dadanya yang sebu: "Mogok masih berlagu, majikan masih membisu."
Banyak manusia berpura-pura menyembah rasa mesra kenal keadilan — tapi cuma teorinya.
Balasan