1 Mei

| Mei 02, 2016 | Sunting
Puisi A. Samad Said
Spanduk bertulis puisi untuk 1 Mei | Foto milik Petak Daud

Penggalan puisi karya A. Samad Said, atau biasa dipanggil Pak Samad, menghiasi sebuah spanduk yang dibentangkan saat peringatan Hari Pekerja di Kuala Lumpur, 1 Mei kemarin. Hari Buruh.

Bunyinya: Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh. Hujan lebat, membasahi piket terjah. "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami keturunan manusia seperti tuan, juga!"

Puisi penuhnya berjudul Sebuah Kisah Resah Gelisah. Puisi ini pertama kali dimuat di surat kabar Utusan Zaman, 15 Januari 1956.  Juga masuk dalam buku kumpulan puisi A. Samad Said: sebuah antologi puisi yang menghimpunkan karya-karya selama lebih setengah abad.

Sebuah Kisah Resah Gelisah

A. Samad Said, dari balik lensa kamera Azharuddin

Titisan hujan ke atap penuh hiba merayap, ibu tua terbongkok sakit — terbatuk-batuk seksa menembus urat saraf, terlantar mereka yang mogok — keadilan tipis menjenguk.

Titisan hujan ke atap terus berdetap-detap, ibu tua berbatuk semakin melutut teruk. kisah derita yang menekan tenggelam segera ditelan deru kereta mengamuk di jalan liar yang sibuk.

Di kantor tuan bersandar membaca surat khabar cerut di bibir berputar — asap berkepul berpusar. Kenangan mesranya berlari ke gadis manis berseri ke jernih wiski dan brandi membuih lazat sekali.

Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh hujan lebat mencurah membasahi piket terjengah: "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami turunan manusia serupa tuan-tuan, juga!"

Hati anak berdebar seluruh jantungnya tercalar, kenangan pahitnya terlontar ke ibu tua terketar. Terlepas suaranya yang pilu dari dadanya yang sebu: "Mogok masih berlagu, majikan masih membisu."

Banyak manusia berpura-pura menyembah rasa mesra kenal keadilan — tapi cuma teorinya. 

Balasan

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine