Tulisan Dokter Belal Aldabbour
Seorang mahasiswaku mendapatkan nilai kedua terbaik meski dua bulan lalu adiknya mati ditembak |
Lagu-lagu Umm Kulthum yang diputar kencang beradu dengan deru mesin taksi. Aku meminta sang sopir, seorang lelaki akhir 20-an berkacamata, untuk menggantinya ke saluran berita saja. Sudah beberapa hari ini Israel kembali menggempur Gaza.
"Buat apa?" ia menyahut. "Nikmati saja lagunya. Bom-bom akan memberitahu kita saat perang dimulai."
Suasana di Jalur Gaza jauh lebih tenang bila dibandingkan dengan riuhnya media sosial. Dalam beberapa hari terakhir pendapat-pendapat pribadi tentang kemungkinan kembali meletusnya perang berseliweran di Facebook dan Twitter. Tak lupa juga berbagai analisis atas apa-apa saja yang mungkin (dan tidak mungkin) terjadi. Dan tentu saja doa mereka yang mengharapkan perang tidak kembali meletus, meski itu hampir mustahil.
Satu hal yang pasti: orang-orang Palestina di Gaza hidup dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, ketakutan, dan ketidakberdayaan, utamanya setelah lagi dan lagi Israel terbebas dari upaya hukum atas tiga perang sebelumnya. Juga diamnya dunia pada pengepungan dan pendudukan Gaza selama berdekade lamanya — yang nampaknya tak akan pernah berhenti.
Para korban disalahkan atas kematian, dan kesengsaraan, mereka sendiri |
Bagi sebagaian besar rakyat Palestina di Gaza, ini bukan lagi masalah apa yang akan terjadi jika Israel kembali menyerang kota. Itu sudah berulang kali mereka alami. Yang mereka tidak tahu adalah kapan itu akan terjadi. Berbagai ancaman Israel atas Gaza memang terus berlanjut. Hampir dua tahun pasca serangan besar-besaran tahun 2014, korban rakyat Palestina masih terus berjatuhan. Mereka juga masih diduduki, dikepung, dan dipecah belah.
Sepanjang tahun lalu saja, Israel setidaknya membunuh 30 orang Palestina di Gaza. Juga melukai lebih dari 800 orang. Sementara belasan lainnya ditahan. Tank-tank mereka setidaknya 50 kali menggilas Gaza. Sementara itu pengepungan terus berlanjut, lebih parah dari sebelumnya malah: Pasien-pasien medis meninggal karena menunggu izin berobat yang tak kunjung keluar, pintu masuk Rafah hampir tidak pernah dibuka, dan proses pembangunan kembali Gaza berjalan sangat lambat.
Bukankah sangat menyedihkan ketika kota di tepian Laut Tengah seperti Gaza harus mengimpor ikan dari Israel? Yah, Israel mengubah Laut Tengah yang luas jadi seperti kolam kecil dengan membatasi area boleh melaut.
Di Laut Tengah juga belasan rakyat Palestina tenggelam (dan ditenggelamkan) ketika berusaha lari dari Gaza.
Penutupan perbatasan juga membuat emigrasi tidak banyak jadi pilihan. Hari demi hari penantian bagi mereka yang berusaha melintasi perbatasan berlalu sebagai pengingat bahwa Gaza sudah tidak lagi ramah dan layak huni.
Petani-petani Palestina juga harus menelan kenyataan pahit bahwa sepertiga lahan pertanian di Gaza harus diberikan cuma-cuma untuk pembangunan zona penyangga Israel. Sebuah menara pemantau juga sudah dibangun, lengkap dengan senjata api yang otomatis akan menembaki setiap obyek bergerak. Sebaliknya, petani Israel bebas untuk mengolah tanah hingga puluhan meter di luar garis batas gencatan senjata.
Baru-baru ini Israel juga mengujicobakan kawasan bebas tanaman. Para petani Palestina terus dirundung cemas karena mereka tidak tahu kapan pesawat-pesawat Israel akan menyemprotkan toksin ke lahan mereka, membakar tanaman mereka, bahkan meratakan lahan mereka.
Dalam upaya untuk memuluskan rencana itu, dalam beberapa hari ini Israel sudah lima kali menyerang Jalur Gaza. Tetapi orang-orang Palestina gigih menghalangi dan tidak membiarkan mereka bergerak lebih jauh.
Tragisnya, apa yang kemudian muncul di berita bukanlah 15 serangan udara Israel atau meninggalnya seorang perempuan Palestina berusia lima puluh tujuh tahun akibat tembakan artileri. Agensi-agensi berita arus utama seolah menyalin mentah-mentah siaran dari pusat informasi tentara Israel. Bahwa misalnya, beberapa mortar ditembakkan para pejuang Palestina ke kendaraan-kendaraan lapis baja milik Israel.
Para korban juga disalahkan atas kematian mereka sendiri — kenapa mereka berada di sana, kenapa juga mereka alami pendarahan, kenapa juga mereka bernapas.
Apa yang lantas harus dilakukan oleh orang-orang Palestina di tengah keadaan yang carut marut begini: listrik padam, BBM langka, gas untuk memasak dijatahkan, gerak dibatasi, gaji ditahan, angka pengangguran meroket, dan juga serangan drone Israel yang tak henti? Haruskah mereka diam saja, menghitungi rahmat yang mereka dapat (kalau ada), dan berterimakasih pada para penjajah yang masih mengizinkan mereka bernapas?
"Ada beberapa hal yang memang harus kami relakan, tapi lebih banyak hal yang harus kami raih," kata Refaat Alareer dalam TEDx Shujaiya. Ia adalah seorang guru bahasa Inggris yang harus kehilangan rumah dan seorang saudara lelakinya pada tahun 2014. Dua tahun berlalu, Alareer masih harus menunggu giliran untuk membangun kembali rumahnya.
Seorang jenderal Israel, Yair Golan, menyatakan bahwa Israel adalah potret kolonialisme yang masih tersisa, bentuk masa kini dari kejadian-kejadian tak berperi yang terlangsung selama Holokaus di Jerman. Proses pendudukan Palestina secara terbuka menyerukan genosida, juga diskriminasi terhadap orang-orang non-Yahudi. Semuanya didukung oleh kelompok yang sudah berkali-kali menerima eksekusi tanpa pengadilan atas orang-orang Palestina.
Penindasan seperti inilah yang harus dihadapi oleh rakyat Palestina, utamanya agar tetap bisa hidup, dan harapannya agar bisa bebas merdeka.
Apa yang dilakukan Israel adalah reka ulang atas apa yang terjadi pada masa Holokaus |
Meski kami sudah berkorban begitu banyak, juga sudah muak atas perpecahan faksi-faksi di Palestina sendiri, tetapi kami tidak diam saja di tengah agresi ini. Kami masih mempunyai harga diri.
Tapi itu bukan berarti rakyat Palestina mengharapkan pergolakan-pergolakan lain di Gaza. "Kami belum siap menghadapi perang lagi," kata Alaa Rustom, seorang teman sesama dokter yang bekerja sukarela di rumah sakit Al Shifa. "Bekas perang sebelumnya saja belum sembuh. Begitu juga rumah sakit dan seluruh kota."
Apa pun yang terjadi, rakyat Palestina akan menerimanya dengan semangat yang tak pernah goyah. Seorang mahasiswaku mendapatkan nilai terbaik kedua meskipun ujian ilmu laboratorium klinisku tidaklah mudah. Padahal baru dua bulan lalu adik lelakinya mati ditembak tentara Israel.
Sulit sebenarnya memastikannya. Tetapi, apa mungkin rakyat Palestina sudah kebal, atau malah sudah masa bodoh, terhadap kematian? Tidak ada yang tahu pasti. "Kami harus menyesuaikan diri, dan sebisa mungkin menikmati getirnya hidup," kata si sopir taksi.
Yah, tentu saja, orang-orang telah belajar beradaptasi dan berusaha tetap bahagia meski hidup penuh sengsara.
Rakyat Palestina sudah menyadari bahwa selama pendudukan Israel masih berlangsung, keadaan tidak akan pernah benar-benar normal. Menurutku, bagian terburuk dari cerita Gaza sekalipun adalah buatan manusia: semua kesengsaraan bisa dihentikan hanya dengan goresan pulpen panglima perang Israel.
George Orwell dalam salah satu novelnya menulis: "Hapuskan manusia daripada pandangan, maka akar masalah kelaparan dan pemerasan pun akan terhapus untuk selamanya."
Hapuskan pendudukan, dan akar dari kesengsaraan kami juga akan terhapus selamanya.
Diterjemahkan dari Al Jazeera.
Balasan