Kebekuan Boko dalam Guratan Pena

| Maret 13, 2009 | Sunting
Gerbang depan Boko
tumpukan batuan kusam, bisu, mematung, tak berkata sedikitpun sebagaimana seorang tua yang telah tak kuat berucap namun masih juga menunjukkan kekokohan masa lalunya. dalam kebisuan ia pancarkan cerita masa lalu tentang kepemimpinan di puncak bukit boko.

gerbang nan kokoh seakan mengantar kita masuk ke dalam dimensi waktu ratusan tahun yang lalu, dan menjadikan kita raja di tengah istananya. menjelma boko yang menjaga heningnya perbukitan tuk lestarikan tampuk kekuasaan. laksana pula jonggrang yang tengah menikmati pagi di tengah puri.

Sumur-sumur putri
ini adalah keputren boko, inilah saksi kisah cinta yang berakhir nestapa, disinilah dahulu ksatria pengging bandung bondowoso itu melihat sinar di wajah roro jonggrang yang kemudian membuatnya jatuh cinta, air-air menghijau dalam cekungan danau seolah tak lagi pancarkan gairah tuk menjadi area pemandian setelah sang empu, jonggrang, hilang dijadikan pelengkap candi di prambanan. sungguh sebagian orang kemudian mempercayai air itu tetap mentransfer kecantikan jonggrang yang abadi. juga sebuah simbol kehidupan, meski tetap bertahan, suatu saat tetap akan mengenal kusam. tetapi sungguh, hanya kitalah yang mereka-reka tentang apa yang terjadi di sini, karena batu-batu hanya diam membisu. tak dapatlah menjawab tanya yang membuncah dalam dada.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine