Dongeng tentang Bintang-bintang

| Maret 13, 2009 | Sunting
Gemintang malam
Di bawah rinai gugus rasi, ketika suara-suara jangkerik seakan bersahutan dengan riuh gemeretak suara-suara katak dalam kebisuan, ketika desir angin dan gemerisik dedaunan seakan berpaduan dengan musik yang kudengarkan, ketika itu pulalah seorang lelaki menengadahkan wajahnya ke langit malam. Dikhayalkannya bintang-bintang serupa kerlap-kerlip lampu-lampu kota yang dibangun di atas awan. Dibayangkannya Aras nun jauh tempat para malaikat berada. Ketika ia sendiri ragu adakah surga tempat segala harapan dan keinginan terkabulkan seketika tanpa penantian. Ketika kita lupa segala yang pernah membuat kita kecewa dan putus-asa.

Andai kita sama-sama menghitung satu-satu bintang-bintang itu di bawah keteduhan malam sembari kau hamparkan urai rambutmu di dadaku yang bimbang dan ragu. Ketika itu kita hanya berharap pada yang biasa saja. Meski kita juga selalu bermimpi sekedar untuk menghibur hati. Ketika itu ingin kudengarkan setiap kata yang bergetar dan mendesah dari hatimu sembari kudekap mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang bergolak di dadamu. Ketika itu waktu bagi kita adalah saat-saat yang memberi detik demi detik yang riang untuk mengkhayalkan apa saja yang ingin kita angankan. Seakan apa yang telah berlalu tak sepenuhnya berlalu.


Ketika kita mempercayai bahwa kita semestinya selalu menjadi anak-anak untuk memenuhi hasrat kita pada kebebasan. Agar kita bisa selalu memaafkan kegagalan dan kekecewaan yang pernah kita alami ketika dewasa. Agar kita bisa tersenyum dan tertawa dalam kesedihan. Sebab apalah artinya sebuah kata jika karenanya kita menderita. Bukankah anak-anak merasa bahagia ketika mereka tak mempertanyakan arti sebuah permainan. Ketika mereka hanya tahu bermain dan tak pernah mempersoalkannya. Karena itu aku ingin usia tak mengalahkan jiwa kita.

***
Kuhitung satu-satu bintang-bintang di langit itu. Di antara bulan yang redup terhalang awan, kupandangi satu bintang yang bersinar lebih terang dari semua bintang-bintang yang kupandang. Ia telah menyita perhatianku seakan adalah harapan dan keinginan dalam kesunyian.

Konon bintang-bintang adalah perlambang masa-depan yang mendengar doa dan keluh-kesah kita. Dan bila kita tiada, kita pun akan menjelma bintang-bintang. Karena itu bintang-bintang adalah perlambang harapan sekaligus kehilangan. Kepada bintang-bintang kita pun menengadah dan berharap mereka mengabulkan apa yang kita inginkan. Dan di saat mereka tak tergapai, di saat itu pula harapan kita semakin kekal. Suatu hari yang entah kapan itu, kita pun akan bersatu dengan mereka di Aras nun jauh itu. Di sana kita kekal selamanya dan tak lagi takut pada kematian.

***
Malam itu kubacakan sajak-sajak romanku untukmu. Dan kau hanya terdiam di hadapanku. Lalu kau raih tanganku dengan keramahan yang tak kuduga sebelumnya. Saat itu aku percaya aku telah jatuh cinta dengan segera dan tiba-tiba.
***
Malam ini aku pun tiba-tiba teringat sebuah dongeng tentang sepasang kekasih yang mengalami kutukan. Ketika siang, yang perempuan berubah menjadi burung elang. Dan ketika malam, yang lelaki berubah menjelma anjing hutan. Yang lelaki menjadi pengembara siang dan sang elang kekasihnya itu selalu menyertai dan bertengger di pundaknya. Dan begitu pun sebaliknya, yang perempuan hidup di sebuah gubuk yang dibangun kekasihnya di hutan yang jauh dari perkampungan. Bila senja, sang elang lekas terbang menuju gubuk tersebut. Dan kekasihnya segera menyusulnya. Karena ketika malam-lah ia bisa melihat dan mengagumi kecantikan kekasihnya. Ia akan berbaring di pangkuan kekasihnya sembari mendengarkan keluh-kesah, doa, dan cerita-cerita kekasihnya tercinta. Di gubuk itu kekasihnya memandangi bintang-bintang dan si anjing hutan hanya mendekap di pangkuannya dengan lembut dan mesra.

Selama bertahun-tahun mereka seperti itu bergantian menjadi manusia dan binatang sembari terus berjuang untuk menemukan azimat yang dapat menghilangkan kutukan mereka. Agar tak lagi dipisahkan oleh siang dan malam. Yang tak lagi harus menunggu giliran untuk menjadi manusia ketika yang lainnya menjadi binatang.


Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka menjalani hidup saling setia dan terus berharap doa mereka terkabulkan. Begitulah bila malam mereka sama-sama berdoa kepada bintang-bintang agar kutukan bisa hilang dan kembali sama-sama menjadi manusia.

***
Dan adakah nubuat bintang-gemintangmu itu? Apa yang kau nubuatkan? Nasibkah atau harapan masa depan seperti yang dijanjikan para mesiah itu? Aku juga tak mengerti arti sebuah rasi dan gugusan galaksi yang hanya mampu kukhayali.

Mungkin kau berbicara tentang sesuatu yang tak dapat kita pastikan. Yang hanya mampu kita duga-duga karena ketakpuasan hasrat kita pada yang ada. Tapi aku tak ingin kau ragu akan ketulusanku. Ketika kau bilang padaku: “jiwaku lelah!” Karena rasa lelah adalah ciri kenormalan. Karena keluh-kesah adalah ciri hidup yang mesti kita syukuri tanpa ragu. Meski harapan bagiku tak lebih kerinduan bawah-sadar kita pada ketiadaan yang tak teramalkan. Dan tak dapat kita pahami kenapa kita menginginkannya sekaligus takut padanya.

***
Hari demi hari mereka jalani bersama dengan doa dan harapan yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Bila sang elang menjelma perempuan cantik saat matahari tenggelam, kekasihnya yang berubah menjadi anjing hutan akan selalu merebah di pangkuannya sembari mendengarkan dongeng-dongeng kekasihnya. Layaknya Syahrazad bercerita kepada Syahrayar dalam buku Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Begitu juga ketika matahari terbit di pagi hari, sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah akan selalu ditemani kekasihnya, sang elang, yang menjadi pemandunya mencari tempat-tempat untuk mencari pekerjaan dan makanan sehari-hari mereka.
***
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dalam kutukan, di suatu malam ketika mereka tertidur lelap, mereka sama-sama bermimpi sebuah bintang jatuh di hadapan mereka dan menjelma seorang Peri Cantik. Peri itu berkata kepada mereka: “Carilah oleh kalian sebuah pulau yang bernama Negeri Phantasmagoria. Kalian akan menemukannya jika kalian menengadahkan wajah dan berdoa kepada rasi Orion di atas langit malam kalian. Dan jika kalian telah sampai di negeri itu, carilah sebuah goa tempat Sang Naga. Bunuhlah Sang Naga itu dan ambillah jantungnya untuk kalian persembahkan kepada si Putri Duyung di Danau Phantasmata yang tak jauh dari goa tersebut. Setelah itu kalian harus saling berciuman tepat ketika waktu menunjukkan titik yang mempertemukan sekaligus memisahkan batas antara siang dan malam. Di detik terakhir matahari akan tenggelam.

Dan ketika Sang Peri itu pergi ke langit dan kembali menjadi bintang, mereka pun terbangun karena terkejut dengan mimpi itu. Mereka pun segera melakukan apa yang dikatakan Sang Peri itu.

***
Keesokan harinya sang anjing hutan yang telah berubah menjadi lelaki gagah pergi dengan ditemani kekasihnya, sang elang, menuju sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari gubuk mereka. Sesampainya di pantai yang mereka tuju, si lelaki segera mengayunkan alat yang mirip kapak pada sepohon besar yang rindang.

Dengan tekun mereka membuat perahu. Dan ketika siang, mereka pun telah menyelesaikan perahu yang mereka buat. Mereka pun menaiki perahu tersebut dengan si lelaki yang mendayungnya.


Selama setengah hari dan satu malam mereka mendayung bergantian dan belum juga mendapatkan tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Negeri Phantasmagoria. Ketika matahari terbit, maka sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah yang akan mendayungnya. Dan bila malam, sang elang yang berubah menjadi kekasihnya yang akan mendayung. Mereka pun terus mengarungi lautan selama delapan hari sebelum akhirnya mereka tiba di Negeri Phantasmagoria yang membuat mereka terkagum-kagum karena keindahannya. Negeri itu tertutup kabut putih keperakan yang lebih mirip dinding es tebal.

***
Tapi aku tak ingin meneruskan dongeng itu. Karena aku ingin kau menduga-duga sendiri akhir cerita itu. Aku ingin kau yang meneruskannya. Mengarangnya kembali dan menceritakannya kembali sebagai dongeng kehidupan layaknya Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Aku hanya ingin berkata arti pentingnya sebuah dongeng untuk mengobati kesepian. Agar kita selalu memiliki harapan dan tak menyerah untuk meraih apa yang kita inginkan untuk menjadi manusia. Aku tak ingin kau berhenti untuk terus berangan-angan. Aku ingin kau terus menuliskan dongeng-dongengmu sebagai penghiburan. Aku ingin kau memandang kesederhanaan dan kesahajaan sebagai sesuatu yang berharga. Agar kita bisa menerima kenyataan. Agar kita tak mencari kebahagiaan di tempat yang tak ada. Aku ingin dongeng itu dapat mencegah kita menjadi manusia yang terkutuk dan putus-asa. Dan aku ingin kau menyanyikannya.
***
Di atas langit itulah kini mereka telah menjelma bintang-bintang. Dan yang kuceritakan padamu hanyalah sepenggal kisah mereka untuk berjuang melawan kutukan yang telah menimpa mereka. Kutukan yang telah menjadi ikatan paling kuat dan paling setia cinta mereka yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Kini mereka bahagia di sebuah tempat nun jauh itu. Di sebuah tempat nun entah di mana, aku juga tak tahu.

*) tulisan Hudan Nur

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine