Rumah di Tengah Ilalang

| Juni 14, 2009 | Sunting
Ilalang yang Buana babat dengan sebilah arit seakan tak pernah habis. Selalu muncul tunas baru keesokan harinya. Dan ilalang itu tumbuh merata mengelilingi rumah sewaan yang dia tempati tiga hari lalu bersama Dinda, wanita yang dinikahi secara siri. Mereka memutuskan tinggal bersama di kampung itu tanpa sepengetahuan orang tua mereka masing-masing. Kehidupan mereka bak ilalang. Mereka belajar hidup jauh dari orang tua dan keramaian. Orang tua mereka yang berseteru, sama-sama tidak tahu dimana anak-anaknya kini berada.

Padahal dua sejoli ini merasa bangga memiliki orang tua yang cukup berpengaruh di pemerintahan. Orang tua mereka sama-sama menyandang gelar sebagai ketua umum partai besar yang punya begitu banyak massa. Dikarenakan misi kedua orang tua mereka berseberangan, akhirnya sering timbul perseteruan di panggung politik. Meskipun begitu, tidak ada atau belum terjadi adu massa yang dimiliki kedua belah pihak tersebut saling bentur di bawah. 

"Politik itu kotor dan jahat. Kita harus menghindarinya," kata Buana sebelum mereka memilih kabur dari perseteruan kedua orang tua mereka yang tak habis-habisnya itu.

Dinda menyetujui. Jalan pintas akhirnya mereka pilih. Nikah siri mereka jalani sebagai syarat agar dapat diterima tinggal bersama di tempat lain. Karena didasari oleh cinta yang suci sejak mereka duduk di bangku SLTP, dan terus berlanjut sampai lulus SMU, mereka sepakat untuk terus bersatu. Mereka sadar, mereka adalah harapan kedua orang tua, mestinya tak perlu harus kawin muda. Akan tetapi, di dalam hidup ini apapun bisa saja terjadi. Ada saja karakter dari tokoh yang harus mereka perankan. Entah sebagai tokoh apa. Tapi yang penting mereka harus berbuat sesuatu meski apapun bentuknya.

Ilalang terus tumbuh di pekarangan. Kapas yang bersemi di pucuk tangkainya berlepasan ditiup angin. Satu demi satu terbang di udara. Dinda kadang harus berlari kecil menangkap kembang ilalang yang beterbangan itu.

Di mata Buana, Dinda tampak semakin cantik berada di tengah ilalang yang menjulang tinggi. Sesekali gumpalan kecil kapas yang tercerabut dari tangkai ilalang oleh angin itu, hinggap di rambut Dinda. Buana mencabutinya satu demi satu kembang ilalang yang tersangkut di kepala dambaan hatinya itu.

"Apa tidak lebih baik dibakar saja?" seru Dinda sambil memperhatikan seekor anak belalang bertengger di pucuk ilalang yang terayun dimainkan angin.
"Dalam musim panas begini, amat riskan membakar ilalang, Dinda…"
"Tapi ilalang seperti ini bakal tumbuh lagi nantinya."
"Tidak apa, asal tidak sampai menutupi rumah kita."
***
RUMAH-rumah di perkampungan itu tak ada yang rapat. Di kanan-kiri rumah penduduk itu terdapat lahan yang ditanami tanaman merambat. Selain dibatasi oleh lahan yang ditanami ubi jalar, dibatasi juga oleh rumput ilalang yang tumbuh subur di tanah yang tak ditanami apa-apa. Akhirnya, Buana hanya membabat habis ilalang selebar jalan yang menuju pintu rumahnya.

Sebagai warga baru, mereka menyempatkan diri bersilaturahmi ke beberapa tetangga terdekat. Mereka tidak menceritakan kalau mereka anak siapa. Mereka hanya mengaku sebagai pengantin baru yang butuh suasana baru. Itu saja.

Dinda yang mahir berbahasa Inggris, bersedia memberi les bahasa tersebut secara gratis kepada para murid sekolah yang rumahnya berdekatan dengan rumah tinggalnya. Sedang Buana yang mahir melukis, menawarkan jasa untuk melukis wajah para orang tua yang anak-anaknya ikut belajar bahasa Inggris pada Dinda di rumahnya secara gratis pula. Buana juga memberi pelajaran dasar melukis kepada para remaja setempat yang berminat ingin bisa melukis seperti dirinya.

Dari cara mereka memperkenalkan diri, akhirnya para penduduk kampung mau menerima kehadiran mereka berdua secara baik. Bahkan para tetangga terdekat merasa kagum dan berterima kasih atas kemurahan hati mereka yang mau menurunkan ilmunya kepada anak-anak kampung yang sangat terbelakang akan seni dan budaya.

Musim kemarau tampak masih akan bertahan lama. Dan kehadiran mereka telah memasuki bulan ketiga tinggal di kampung yang cukup jauh dari kota itu. Ilalang masih terus memunculkan tunas-tunas baru yang siap menyejajarkan diri dengan ilalang yang sudah tinggi sebelumnya.

Di bulan keempat, Dinda sudah tidak mens lagi. Dia dinyatakan hamil oleh bidan yang memeriksanya. Kini Buana lebih bersemangat meladang di lahan yang terdapat di belakang rumah yang menyorok ke tepi sungai. Selain bercocok tanam seperti umbi-umbian, Buana juga merawat pohon-pohon yang tumbuh di lahannya seperti, pisang, papaya, dan beberapa pohon kelapa.

Buana tak menyadari kalau dirinya telah menjadi seorang petani. Jika pagi tiba, Buana membawa hasil ladang itu ke pasar untuk dijualnya. Hasil penjualannya dia belikan beberapa liter beras dan keperluan lainnya. Ketika malam datang, mereka bercengkerama tentang masa depan anaknya yang tengah dikandung. Bila si jabang bayi lahir, Buana akan bekerja sebagai sopir angkot yang routenya melewati jalan di depan rumahnya. Tujuannya adalah sambil mencari uang, Buana bisa mengawasi atau melihat kedua buah hatinya saat angkot yang dikemudikannya melintas di depan rumahnya.
***
MANDIRI adalah sebuah keharusan untuk menanggulangi kehidupan yang mereka tempuh. Tak ada kata menolak untuk kebaikan bersama. Buana tak perlu melihat dirinya anak siapa. Begitupun Dinda. Untuk hidup mandiri tak perlu melihat siapa orang tua mereka, yang harus dilihat, didukung dan dijaga adalah jalan hidup yang mereka ambil. Sekecil apapun yang didapat harus hasil dari tangannya, bukan kucuran atau subsidi dari orang tuanya yang kaya raya itu. Begitu mereka bersikap.

Di rumah itu mereka tak punya pesawat televisi, kecuali sebuah radio saku. Bila malam tiba, sesekali mereka duduk-duduk di teras depan rumahnya. Memandangi bulan purnama dari sela-sela ilalang yang tinggi menjulang. Bintang-bintang yang muncul mengelilinginya mereka coba hitung bersama. Jumlahnya selalu tak pernah sama. Mereka akan tertawa bila keganjilan itu mereka temukan.

Mereka jarang pergi jauh. Rotasi langkahnya hanya dari rumah ke ladang, dari ladang ke rumah atau sebentar melihat pemandangan di tepi sungai lalu kembali ke rumah. Pernah sekali waktu mereka pergi berdua menghadiri undangan perkawinan di kampung sebelah. Hiburannya waktu itu menampilkan musik jaipongan. Saat ngibing berlangsung, terjadi tawuran antarpemuda desa. Suasana tiba-tiba jadi kacau. Dinda terpisah dari Buana. Jerit ketakutan para pengunjung wanita membuat suasana semakin tak terkendali. Dinda lari masuk ke rumah penduduk. Sedang Buana menghindari tawuran lari menuju ke arah rumahnya.

Tiba di rumah Buana bingung karena Dinda belum sampai di rumah. Buana khawatir akan keselamatan istrinya. Namun satu jam kemudian, Dinda muncul diantar oleh sepasang suami-istri pemilik rumah yang dimasuki Dinda malam itu.

Sejak kejadian yang cukup mengerikan itu, mereka tak pernah lagi mau menonton hiburan malam di luar rumah.

Di pentas politik, kedua orang tua mereka masih terus berseteru. Saling cemooh, saling mengaku bahwa misi partainyalah yang benar. Dan negara akan ambruk jika lepas dari konsep mereka. Juga dari dua kubu tersebut mulai berkembang persoalan baru atas hilangnya anak-anak mereka. Mereka saling tuduh telah menculik anak mereka masing-masing. Dari dua kubu itu juga, selain polisi, diperintahkan juga para bodyguard untuk mencari anak-anak mereka yang belum kembali ke rumah masing-masing.

Di dalam rumah yang dikelilingi ilalang yang tak pernah habis dibabat, Buana sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Bidan kampung didatangkan. Para tetangga bahu-membahu membantu kelahiran anak pertama pasangan Buana dan Dinda.

Seiring kapas-kapas kembang ilalang yang beterbangan dibawa angin, si jabang bayi itu lahir ke dunia. Sehat, putih, gemuk, dan berkelamin laki-laki. Doa syukur dipanjatkan. Tali ari-ari dibenamkan ke bumi.
 ***
AKHIRNYA rumah di tengah ilalang itu semakin terbenam bila malam tiba karena Buana sudah jarang membabatnya setelah kehadiran anak pertamanya lahir. Buana bahagia sekali. Siapa pun tak ada yang bisa melihat bahwa ada kebahagiaan di tengah area ilalang yang berjuntai-juntai ditiup angin.

Namun, entah siapa yang membawa api dendam ke tengah-tengah ilalang itu. Di malam yang pekat, di saat udara dingin mengulum perkampungan penduduk, justru ilalang yang tumbuh di sekitar rumah sewaan yang ditempati oleh kedua anak tokoh politik itu tiba-tiba terbakar. Lidah api yang dibawa angin begitu cepat menjilat ke sekeliling. Kobaran api dari ilalang yang terbakar tampak seperti tangan raksasa yang muncul dari belahan bumi mencengkeram segala yang ada di sekitarnya termasuk rumah yang dihuni oleh ketiga anak manusia yang berada di dalamnya.

Buana pernah menyampaikan kepada Dinda kalau politik itu kotor dan jahat, sekarang terbukti. Dan ilalang yang selalu tumbuh di tempat yang sunyi itu, kini telah jadi saksi atas kematian mereka.

*) Cerpen Endang Supriyadi

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine