Sekat di Antara Manusia

| Juni 21, 2009 | Sunting
Kita, para manusia
Kalau kita mau menyadari kehidupan ini dan mau dengan jujur melihat masyarakat di sekitar kita, seringkali antara manusia yang satu sulit untuk bergaul dengan manusia yang lain. Apakah yang menjadi penghalang? Pemisah atau penyekatnya itu memang tidak kasat mata, tidak mampu dideteksi dengan mata, tetapi mampu memisahkan manusia yang satu dengan yang lain. 

Apakah "pemisah" itu? Yang kadang-kadang amat jahat dan mungkin amat pekat untuk diterobos, yang mengalahkan persaudaraan, mengalahkan budi baik, hubungan baik, mengalahkan yang lain-lain; sehingga membuat kita sulit untuk bergaul dengan yang lain.

Pemisah atau penyekat itu tidak lain adalah predikat-predikat atau status yang kita punyai.

Kalau saya menyebutkan bahwa saya umat beragama A maka saya membuat penyekat dengan umat beragama lain. Saya dari umat beragama A dan kamu umat beragama B, saya biarawan dan kamu umat awam, saya murid dan kamu guru, saya orang mampu dan kamu bawahan. Sangat banyak! Kalau kita menuliskan predikat-predikat ini, mungkin lebih tebal dari buku telepon yang kita punyai. Saya ibu, saya ayah, saya anak, saya karyawan, saya majikan, saya pimpinan...sedangkan kamu bukan ! Begitu saya menyadari bahwa saya adalah saya dengan predikat beda, maka saya menganggap Anda berbeda dengan saya.

Memang predikat-predikat itu diperlukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Tetapi, untuk kepentingan batin kita, untuk pembentukan mental kita yang sehat, kalau suatu saat kita mau menyingkirkan semua predikat itu untuk sementara, apakah yang kita lihat? Kalau kita mau sesaat menyingkirkan predikat-predikat yang merupakan pagar, yang merupakan penyekat yang dahsyat itu, maka kita akan melihat akar yang sama pada setiap orang. 

Apakah itu? Tidak lain bahwa kita semua adalah manusia. Saya adalah manusia, demikian juga kamu, pimpinan kita adalah manusia, kamupun manusia. Kamu yang menjadi pimpinan adalah manusia dan yang Kamu pimpin juga manusia seperti kamu.

Kesadaran akan hakikat kita sebagai manusia inilah yang kadang-kadang dibungkus dan masih ditambah lagi dengan sekat yang berupa bermacam-macam predikat. Kalau kita sudah maju dan sukses, berhasil menjadi pimpinan, mempunyai jabatan tertentu-merasa atau menjadi peran tertentu, maka kadang-kadang kita berpikir seolah-olah kita sudah bukan manusia lagi, bahkan mungkin kita memandang yang lain menjadi bukan manusia lagi.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine