Gempa... Gempa...

| Oktober 03, 2009 | Sunting
Sisa-sisa gempa yang mengguncang Padang
Gempa barangkali isyarat waktu: hidup itu ibarat hujan, nyaman tapi sebentar (atau sebentar tapi nyaman).
Gempa bumi mengguncang kawasan Sumatera Barat sore dua hari yang lalu. Dengan kekuatan goyang 7,6 pada skala Richter, gempa tektonik itu pun meruntuhkan gedung dan menelan ratusan, mungkin ribuan, korban meninggal dan luka-luka. Pada setiap bencana kita berharap kehadirannya tak menimbulkan luka. Tapi harapan semacam ini nyaris muskil terkabul. Mara dan bahaya adalah luka dan duka. Seperti siang dan malam. Kemarau dan penghujan. Gelap dan terang. Yin dan yang. Dua sisi satu mata uang. Benarkah alam sedang murka dan menghukum manusia?

Kita nampaknya memang harus menyadari kenyataan tentang kemanusiaan kita yang sama — apa pun perbedaan ras, agama, golongan kita satu sama lain. Kemanusiaan yang sama pada batas kematian, pada bencana, rasa sedih dan mungkin juga kegembiraan. Seorang penyair berkata untuk semuanya itu ketika ia menyebut, “Di bawah kaki kebesaran-Mu.”

Mungkin dia sadar bahwa manusia itu makhluk yang daif, lemah dan tiada berdaya di depan Penciptanya. Hanya kepada Dialah manusia berserah. Dan Chairil Anwar menulis, dengan satu kalimat yang kemudian termasyhur, “Hidup hanya menunda kekalahan.”


Lantas siapa yang kalah sebenarnya ketika rakyat tak berdaya, nun jauh di seberang sana ada sebagian wakilnya yang justru berpesta-pora merayakan kelahirannya sebagai kelas baru. Status elit. Sebuah mobilitas vertikal.


Perhelatan megah pun digelar. Jas-jas necis. Sanggul dan sasak menjulang. Kantong-kantong yang tebal oleh rupiah. Ruangan berpendingin. Kasur nan lembut lagi empuk. Di malam hari mungkin ada denting-denting gelas kaca berisi anggur yang diadu, lengkap dengan teriakan, “Cheers ….”


Demikianlah, lindu barangkali isyarat waktu: hidup itu ibarat hujan, nyaman tapi sebentar (atau sebentar tapi nyaman), untuk memakai sebuah tamsil dari padang pasir. Maka kita pun gentar oleh kekuasaan itu, tapi kita juga terhibur, bahwa sebagian dari kita tak perlu mengalaminya.


Lalu kita tahu bahwa 350 tahun yang lalu, dan 350 tahun yang akan datang, kita berbeda dari sebuah candi batu: lebih rapuh, tapi lebih berarti dalam rasa syukur

dari blognya ndorokakung

Dokumentasi paska gempa Padang, oleh Titian Foundation: http://goo.gl/fzk32L

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine