Batik, Nafas Kehidupan Masyarakat Jawa

| Oktober 02, 2009 | Sunting
Secara resmi batik telah ditetapkan sebagai warisan dunia yang berasal dari Indonesia, suatu kebanggaan dan ketenangan tentunya. karena tak mungkin lagi akan ada ontran-ontran perihal kepemilikannya.

Penetapan ini tentu saja tak lepas dari sudah sedemikian lekatnya batik dengan keseharian masyarakat Indonesia. Bagi orang Jawa misalnya, batik tak pernah lepas dari kehidupan, sejak masih dalam kandungan ibu hingga ajal menjemput. 

Batik selalu menyertai kehidupan manusia Jawa. Setiap pola atau corak batik tradisional selalu mengandung nilai-nilai adiluhung. Ragam hias yang menyusun polanya selalu mempunyai arti filosofi. Pola batik Jawa juga mempunyai arti yang sakral untuk berbagai upacara, dari mitoni, kelahiran, memasuki usia dewasa, perkawinan sampai kematian.
Searah jarum jam: Sidoasih Yogya, Sidoluhur Yogya, Sidomulya Solo, Sidodrajat Solo, Sidomukti Solo, Sidodadi Solo
Batik sudah digunakan ketika anak manusia masih dalam kandungan. Calon ibu berganti busana sebanyak tujuh kali dengan pola batik berbeda. Antara lain Sidomulya (jadi mulia), Sidoasih (jadi berbelas kasih), Sidomukti (jadi sempurna, bahagia), Sidoluhur (jadi luhur), Sidodadi (jadi, menjadi), Sidodrajat (jadi berderajat). Selain itu juga diperlukan batik Babon Angrem, melambangkan kasih sayang dan kesabaran seorang ibu. Ataupun kain batik bermotif Wahyu Tumurun melambangkan permohonan agar selalu mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT. Pilihan juga bisa jatuh pada motif Semen Rama sebagai perlambang agar anak yang dilahirkan nanti mempunyai budi pekerti luhur. Sedangkan kain lurik digunakan adalah lurik pola Yuyu Sekandhang, sebagai lambang harapan agar si anak yang masih di dalam kandungan kelak dikaruniai rizki berlimpah.
Cuplikan batik motif Babon Angrem, Semen Rama dan Wahyu Tumurun
Batik juga menyertai kelahiran yang digunakan untuk alas yang disebut kopohan (basahan). Batik ini sudah lawas, milik nenek si bayi. Ini mengandung arti agar bayi kelak dikaruniai usia panjang seperti neneknya. 

Kain batik juga digunakan dalam upacara memasuki usia dewasa, khusus untuk gadis yang baru mengalami mens pertama. Setelah siraman mengenakan kain pola Grompol, lambang permohonan kebahagiaan dan kesejahteraan yang nggrompol selalu dikitari dan disukai oleh teman-temannya. Untuk pemuda, batik digunakan saat khitanan dengan mengenakan batik Parang Pamor yang melambangkan harapan agar setelah dikhitan tumbuh sebagai laki-laki yang cakap dan berbudi luhur, karena telah pecah ‘pamor’-nya.

Dalam upacara perkawinan batik juga berperan penting. Antara lain untuk lamaran, siraman, akad nikah dan resepsi. Pada upacara lamaran misalnya, yang digunakan motif Satria Manah, melambangkan pria tersebut memanah hati calon istrinya. Sementara calon istri mengenakan batik pola Semen Rante yang mengandung arti sanggup diikat dalam suatu perkawinan.
Cuplikan batik motif Satria Manah dan Semen Rante
Pada upacara siraman, calon mempelai putri mengenakan kain batik Wahyu Tumurun dan kemben Bangun Tulak, artinya agar kedua mempelai mendapat bimbingan dari Allah SWT dan terhindar dari marabahaya. Dalam upacara ini juga bisa mengenakan batik Wora-wari Tumpuk, melambangkan rezeki yang berlimpah.

Pada akad nikah, calon pria kembali mengenakan batik dengan pola yang berawal dengan Sido. Misalnya Sidomulya, Sidomukti, Sidoluhur. Semuanya mempunyai makna dan harapan baik pada kehidupan rumah tangga mempelai.

Pada busana basahan, dodot yang dikenakan dapat berpola Bondhet yang bermakna bundhet, digambarkan dengan dua tumbuhan yang menjalar dan bertemu ujung-ujungnya, berupa lung-lungan yang melambangkan dua insan yang selalu bergandengan dalam hidup berumah tangga. Acara resepsi yang selalu mengiringi upacara akad nikah, juga menghadirkan pola-pola batik yang penuh makna. Bagi kedua mempelai, digunakan batik dengan pola-pola sama dengan saat melaksanakan akad nikah.

Batik juga menyertai kehidupan manusia sampai ajal tiba, yakni pada saat dilaksanakan upacara-upacara adat Jawa. Sebelum dimasukkan dalam keranda, jenazah selalu ditutup dengan kain batik berpola Sidomukti, Sidomulya, Sidoluhur, Semen Rama dan Kawung yang bermakna kembali ke alam suwung atau Slobok. Selain itu juga digunakan kain batik yang merupakan kesayangan almarhum atau almarhumah atau kain batik yang semasa hidupnya belum sempat dipakai. Bagi pelayat, biasanya mengenakan kain batik pola Slobok yang berakar dari kata lobok atau longgar. Hal itu mengandung makna agar yang meninggal mendapat jalan lapang sedangkan yang ditinggalkan melepaskan dengan hati yang longgar atau ikhlas.
Motif Slobok
Yah, itulah batik bagi masyarakat Jawa. Namun mungkinkah tradisi-tradisi yang sudah mulai memudar itu juga akan memudarkan batik? Itulah tugas kita semua untuk menjaga eksistensi batik.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine