Kiamat Sudah 'Dekat'?

| Desember 03, 2009 | Sunting
Efek rumah kaca, pemanasan global, hingga perubahan iklim adalah istilah yang terdengar biasa saja hingga kemudian saya menyaksikan tiga buah film dokumenter: An Inconvenient Truth (2006), The 11th Hour (2007), dan Earth (2007).
Fakta yang memang tidak mengenakkan bukan?
Film pertama disutradarai Davis Guggenheim. Dan sebenarnya lebih tepat disebut sebagai 'kampanye' mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore. Di film ini Al Gore membawa lembaga panel iklim bentukan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurut kajian IPCC, bila tidak ada upaya masyarakat dunia untuk mengurangi emisi, diperkirakan 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi kelangkaan air pada tahun 2020. Sementara itu, kelaparan disebut akan meluas di Asia Timur, Tenggara, Selatan. Perkiraan yang jelas membuat saya bergidik.

Untuk Indonesia, IPCC juga menampilkan satu daftar risiko. Diperkirakan permukaan air laut akan meninggkat 8-29 sentimeter pada 2030. Karenanya Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2.000 pulau kecil. Penduduk Jakarta dan juga berbagai wilayah pesisir akan kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai disebut akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir sekaligus kekeringan yang mencekik kehidupan.

Al Gore tampil sebagai penyaji yang mudah dicerna orang awam. Topik pemanasan global tidak lagi menjadi bahasan yang membosankan. Apalagi belakangan saya tahu kalau ia sebenarnya mengecam bangsanya sendiri. AS adalah negara yang berkontribusi paling besar merusak alam. Tak kurang dari 25 persen produksi karbondioksida dunia berasal dari negara adikuasa ini.


Bumi ini semakin terhimpit sampah
Pemahaman tentang pemanasan global bertambah lagi saat menonton film kedua, The 11th Hour (2007), besutan Nadia Conners dan Leila Conners Petersen. Film ini menerangkan bahwa umat manusia tengah berada di menit-menit terakhir bumi jika tak berbuat sesuatu untuk mencegah pemanasan global. “Pemanasan global merupakan sebuah kenyataan.” ungkap Leonardo DiCaprio, sang narator film ini.

Sederetan ilmuwan dan tokoh dunia ikut berbicara dalam film ini, dari Stephen Hawking hingga Mikhail Gorbachev. Mereka memperkirakan titik akhir dari perubahan ekstrim iklim adalah punahnya umat manusia. Namun, mereka juga memberikan beberapa contoh hal yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Mulai dari perubahan spemakaian bola lampu listrik hingga memilih pemimpin yang berwawasan lingkungan serta produk yang tak merusak lingkungan.

Sulit untuk mengatakan The 11th Hour adalah film yang enak ditonton. Terlalu banyak komentar para tokoh dan narasi serta kurang menarik secara visual adalah gambaran akan film ini. Namun, secara keseluruhan tetap menggambarkan dampak menyeramkan perubahan iklim.
Beruang kutub dan lautnya yang kini sepi
Film ketiga adalah Earth (2007). Film arahan sutradara Alastair Fothergill dan Mark Linfield. Menyaksikannya, hanya satu kata yang terlontar: indah! Pengambilan gambar di udara, dataran beku dan berdebu, hingga dasar samudera, semuanya fantastis.

Kita diajak berwisata melihat aneka fauna Arktik di Kutub Utara hingga Gurun Kalahari di Afrika. Film ini menggambarkan migrasi keluarga hewan yang terancam punah oleh perubahan iklim. Beruang kutub yang tak lagi bisa mencari makan karena perubahan iklim yang tak diduga hingga kawanan gajah yang harus berjalan berminggu-minggu mencari seceruk air di padang gersang.

Pesan yang ingin disampaikan tetap sama. Akibat ulah manusia yang menerabas hutan tanpa aturan serta serapan air tanah yang tak terkendali, membuat alam tak lagi seimbang. Hutan tropis untuk menetralkan polusi tak lagi bisa diharapkan, sedangkan oase di tengah gurun makin sulit ditemukan.


Menyaksikan film ini kita disadarkan betapa selama ini manusia lupa kalau dia berbagi kehidupan di atas bumi dengan berbagai flora dan fauna. Sayang, kearifan yang tak dimiliki manusia turut merusak ekosistem flora dan fauna itu.
Para perempuan mengambil air di Rajhastan, India
***
Dari ketiga film tersebut, saya menjadi bertanya-tanya; sampai kapan bumi bisa bertahan dari sifat rakus manusia dan apa yang akan terjadi jika bumi tak kuat lagi menanggung beban itu? Sudahkah kiamat benar-benar dekat?

Jawaban itu datang ketika pekan lalu saya karya Roland Emmerich yang berjudul 2012 dirilis.

Meski Emmerich dikenal suka sekali menghancurkan kota-kota dan membuat manusia berlarian karena panik dalam beberapa film hasil karyanya, baru kali ini dia benar-benar menjadi perbincangan. Jauh dari perkiraan awal saya, Emmerich ternyata tidak banyak menyandarkan filmnya terhadap ramalan suku Maya akan kiamat pada 21 Desember 2012 itu. Ramalan itu hanya menjadi cantelan bagi film ini, dan tak lebih.

Emmerich tetap saja lebih suka “mengganggu” penontonnya dengan gambaran kehancuran demi kehancuran yang dialami oleh bumi serta beberapa manusia pilihan yang dibiarkan tetap hidup. Tidak ada yang baru sebenarnya dari penggambaran kehancuran dari kacamata Emmerich. Bumi bukanlah benda yang diam. Dia bisa berubah marah dan sulit dikendalikan dengan teknologi secanggih apa pun jika sudah tak kuat menanggung beban dosa manusia.

Pada akhirnya saya berpikir, tak perlu menunggu ramalan Suku Maya atau Nostradamus akan kiamat menjadi kenyataan. Kita juga tak perlu sibuk berdebat tentang benar atau tidaknya ramalan itu. Tanpa diramal pun, bumi ternyata memang tengah diambang kehancuran. Bukan ramalan yang membuat bumi tak kuat bertahan, sifat rakus manusia yang akhirnya membuat kiamat datang sebelum waktu yang telah ditetapkan Sang Pencipta.

Tanda-tanda ke arah itu hampir setiap hari datang ke hadapan kita. Lempeng bumi yang kini begitu suka bergoyang, musim hujan dan kemarau yang tak lagi mengikuti hukum alam, banjir di daerah kering dan kekeringan di pusat mata air. Hebatnya, semua yang terjadi saat ini sudah dituliskan Joseph Fourier dua abad silam. Sayang, manusia selalu alpa.

Sungguh memalukan kalau bumi akhirnya hancur karena kecerdasan manusia yang tak memiliki kearifan. Udara bersih, tanah yang subur, hingga kekayaan flora dan fauna kini hanya bernilai setumpuk uang. Greenpeace dengan jelas melukiskan hal itu dalam slogannya; When the last tree is cut, the last river poisoned, and the last fish dead, we will discover that we can’t eat money. Mungkin, hanya kiamat itu sendiri yang bisa menyadarkan manusia. Semoga Allah melidungi kita semua.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine