Wartati (45) tak pernah ingin meninggalkan Kampung Laut. Hatinya sudah tertambat pada perkampungan di wilayah laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Perempuan itu bertekad akan terus mengajar anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan bekerja bersama warga Kampung Laut, sampai tak bisa lagi melakukannya. Itu bukan pilihan mudah! Kampung Laut tidak menawarkan pekerjaan enak, pendapatan besar, dan kenyamanan hidup.Di sana hanya ada lahan luas yang basah pada musim penghujan; pepohonan rimbun; gua-gua alam; air jernih yang merembes dari tanah Pulau Nusa Kambangan, perairan luas dengan kepiting, kerang dan aneka jenis ikan; serta nelayan dan petani ramah beserta anak-anak mereka yang butuh sekolah.
Lokasinya juga tidak mudah dijangkau. Dari Cilacap, orang yang hendak pergi ke Kampung Laut harus naik "compreng"--perahu motor bermesin diesel dengan daya angkut sekitar 20 orang plus sejumlah barang, termasuk dua unit sepeda motor-- dari Dermaga Sleko dan menempuh perjalanan selama sekitar dua jam sampai di pemberhentian perahu Ujung Alang. Selanjutnya orang harus naik "jungkung", perahu motor dengan mesin tempel- untuk menjangkau "grumbul"--kelompok pemukiman-- di kampung yang sebenarnya merupakan kecamatan dengan empat desa itu. Jarak antar "grumbul" tidak dekat.
Dari rumahnya yang berada di "grumbul" Batu Lawang, Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Wartati harus naik "jungkung" selama sekitar satu jam untuk menjangkau tempat dia mengajar di sekolah filial SD Ujung Alang I yang berada di "grumbul" Pasuruan di dusun yang sama.
Namun Tatik jarang naik "jungkung" ke sekolahnya, sebuah bangunan seluas 30 meter persegi dengan dinding terbuat dari anyaman bambu tua dan lantai tanah yang berlubang di sana-sini dan baru-baru ini ambruk akibat terpaan angin dan hujan. "Ongkosnya Rp 20 ribu sehari, jadi tiap minggu harus keluar Rp 60 ribu untuk ongkos, kalau sebulan sudah Rp 240 ribu. Tinggal Rp 10 ribu honor bulanan saya kalau begitu," katanya tertawa.
Ibunda Nella Vita SW dan Cornellis Wisnu Wardani itu memilih berjalan kaki, menapaki jalanan tanah yang becek pada musim hujan dan berdebu pada musim kemarau sepanjang kurang lebih tujuh kilometer.
"Saya biasa berangkat pukul 06:30 WIB, sampai sekolah pukul 08:00 WIB, kadang kurang. Tapi untuk yang tidak biasa jalan kaki jauh, saya tidak tahu berapa lama untuk jalan ke sana," kata perempuan yang tidak tampak lelah atau mengeluh sakit kaki dan pinggang setelah berjalan sekitar lima kilometer itu.
Dulu, perempuan yang sejak 13 tahun silam bekerja sebagai guru honorer di Kampung Laut itu mengajar kelas I, II dan III SD dengan sekitar 48 siswa sendirian, tapi sekarang bebannya berkurang, ada tambahan seorang guru honorer yang diperbantukan di sekolahnya. Sekarang, dalam sepekan Tatik hanya harus mengajar selama tiga hari, Senin hingga Rabu. Sesudah itu kegiatan belajar mengajar di sekolah filial diambil alih oleh guru honorer yang lain.
Anak-anak SD Filial Ujung Alang I sebelumnya belajar dalam satu ruang yang dipisahkan menjadi tiga bagian dengan papan tulis. Namun sesudah bangunan sekolah ambruk, mereka menumpang di rumah penduduk untuk belajar.
"Tapi itu juga jadi masalah. Ada yang tidak mau lagi memberi tumpangan karena anak-anak bikin ramai dan kotor. Sekarang anak-anak belajar di rumah Pak Sugeng, guru honorer yang bergantian dengan saya mengajar di sana. Tidak tahu harus pindah kemana lagi selanjutnya, mana lokal untuk sekolah belum bisa diperbaiki," tuturnya.
Tatik sudah berulangkali mengajukan permohonan pembangunan bangunan dengan dua ruangan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah filial yang ada di Pasuruan itu ke Dinas Pendidikan setempat namun instansi tersebut tidak mengabulkan permohonannya.
"Katanya jumlah siswanya kurang, jadi sekolah tidak bisa dibangun. Sekarang sedang menunggu bantuan untuk perbaikan lokal lama yang roboh," katanya.
Ia mengatakan, karena masalah itu, tak lama setelah sekolah ambruk ia sempat tidak berangkat ke Pasuruan untuk mengajar selama beberapa hari karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Namun guru honorer lain memberitahu dia bahwa anak-anak ingin kembali belajar dan menunggunya di sekolah.
"Saya pikir, apa yang membuat saya tetap berdiam diri di sini sementara di sana, anak-anak umur enam sampai tujuh tahun yang sudah berjalan kaki berkilo-kilo meter tidak bisa belajar karena saya tidak datang," kata Tatik.
Dan lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Yos Sudarso Cilacap yang hanya mengenyam pendidikan keguruan melalui kursus mengajar Taman Kanak-Kanak (TK) selama tiga bulan di Solo tahun 1989 itu pun akhirnya kembali mengajar siswa sekolah filial di "grumbul" Pasuruan. Ia mengajar dengan metode sederhana, kadang membacakan buku, atau menulis isi buku pada papan tulis dan menyuruh para siswa menyalinnya ke dalam buku tulis mereka.
Fasilitasnya pun ala kadarnya, hanya bangku dan kursi kayu, papan tulis hitam, kapur tulis dan beberapa buku panduan mengajar yang dia dapat dari Dinas Pendidikan setempat.
"Kadang `geregetan` sama mereka itu, meski sudah masuk SD tapi susah sekali diajari pegang pensil dan menulis. Soalnya mereka tidak ada TK. Orang tua juga mungkin kurang memperhatikan, dan anak-anak kadang malas," ujarnya.
Namun itu tak membuat Tatik mengendurkan semangat. Dia tetap berjalan kaki tujuh kilometer ke sekolah setiap hari Senin, Selasa dan Rabu, untuk membantu anak-anak itu belajar supaya bisa melanjutkan pendidikan ke Sekolah Induk Ujung Alang dan kemudian ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Kalau lagi saya ada tamu atau keperluan, saya titip minta Pak Sugeng menggantikan, begitu juga sebaliknya," katanya.
Sumber: Antara
Kelas ibu guru Wartati |
Dari rumahnya yang berada di "grumbul" Batu Lawang, Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Wartati harus naik "jungkung" selama sekitar satu jam untuk menjangkau tempat dia mengajar di sekolah filial SD Ujung Alang I yang berada di "grumbul" Pasuruan di dusun yang sama.
Namun Tatik jarang naik "jungkung" ke sekolahnya, sebuah bangunan seluas 30 meter persegi dengan dinding terbuat dari anyaman bambu tua dan lantai tanah yang berlubang di sana-sini dan baru-baru ini ambruk akibat terpaan angin dan hujan. "Ongkosnya Rp 20 ribu sehari, jadi tiap minggu harus keluar Rp 60 ribu untuk ongkos, kalau sebulan sudah Rp 240 ribu. Tinggal Rp 10 ribu honor bulanan saya kalau begitu," katanya tertawa.
Ibunda Nella Vita SW dan Cornellis Wisnu Wardani itu memilih berjalan kaki, menapaki jalanan tanah yang becek pada musim hujan dan berdebu pada musim kemarau sepanjang kurang lebih tujuh kilometer.
"Saya biasa berangkat pukul 06:30 WIB, sampai sekolah pukul 08:00 WIB, kadang kurang. Tapi untuk yang tidak biasa jalan kaki jauh, saya tidak tahu berapa lama untuk jalan ke sana," kata perempuan yang tidak tampak lelah atau mengeluh sakit kaki dan pinggang setelah berjalan sekitar lima kilometer itu.
Dulu, perempuan yang sejak 13 tahun silam bekerja sebagai guru honorer di Kampung Laut itu mengajar kelas I, II dan III SD dengan sekitar 48 siswa sendirian, tapi sekarang bebannya berkurang, ada tambahan seorang guru honorer yang diperbantukan di sekolahnya. Sekarang, dalam sepekan Tatik hanya harus mengajar selama tiga hari, Senin hingga Rabu. Sesudah itu kegiatan belajar mengajar di sekolah filial diambil alih oleh guru honorer yang lain.
Anak-anak SD Filial Ujung Alang I sebelumnya belajar dalam satu ruang yang dipisahkan menjadi tiga bagian dengan papan tulis. Namun sesudah bangunan sekolah ambruk, mereka menumpang di rumah penduduk untuk belajar.
"Tapi itu juga jadi masalah. Ada yang tidak mau lagi memberi tumpangan karena anak-anak bikin ramai dan kotor. Sekarang anak-anak belajar di rumah Pak Sugeng, guru honorer yang bergantian dengan saya mengajar di sana. Tidak tahu harus pindah kemana lagi selanjutnya, mana lokal untuk sekolah belum bisa diperbaiki," tuturnya.
Tatik sudah berulangkali mengajukan permohonan pembangunan bangunan dengan dua ruangan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah filial yang ada di Pasuruan itu ke Dinas Pendidikan setempat namun instansi tersebut tidak mengabulkan permohonannya.
"Katanya jumlah siswanya kurang, jadi sekolah tidak bisa dibangun. Sekarang sedang menunggu bantuan untuk perbaikan lokal lama yang roboh," katanya.
Ia mengatakan, karena masalah itu, tak lama setelah sekolah ambruk ia sempat tidak berangkat ke Pasuruan untuk mengajar selama beberapa hari karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Namun guru honorer lain memberitahu dia bahwa anak-anak ingin kembali belajar dan menunggunya di sekolah.
"Saya pikir, apa yang membuat saya tetap berdiam diri di sini sementara di sana, anak-anak umur enam sampai tujuh tahun yang sudah berjalan kaki berkilo-kilo meter tidak bisa belajar karena saya tidak datang," kata Tatik.
Dan lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Yos Sudarso Cilacap yang hanya mengenyam pendidikan keguruan melalui kursus mengajar Taman Kanak-Kanak (TK) selama tiga bulan di Solo tahun 1989 itu pun akhirnya kembali mengajar siswa sekolah filial di "grumbul" Pasuruan. Ia mengajar dengan metode sederhana, kadang membacakan buku, atau menulis isi buku pada papan tulis dan menyuruh para siswa menyalinnya ke dalam buku tulis mereka.
Fasilitasnya pun ala kadarnya, hanya bangku dan kursi kayu, papan tulis hitam, kapur tulis dan beberapa buku panduan mengajar yang dia dapat dari Dinas Pendidikan setempat.
"Kadang `geregetan` sama mereka itu, meski sudah masuk SD tapi susah sekali diajari pegang pensil dan menulis. Soalnya mereka tidak ada TK. Orang tua juga mungkin kurang memperhatikan, dan anak-anak kadang malas," ujarnya.
Sumber: Antara