Nyala Radar Nasionalisme

| Oktober 02, 2012 | Sunting
Itu cuma gara-gara kau di Malaysia aja Yuang (baca: Bas). Cobalah kau ada di Yogya atau Jakarta misalnya, palingan juga ga pernah ketemu dan ga pengen-pengen amat buat ketemu.
Demikian tulis seorang saudara dalam percakapan kami di Facebook, menanggapi, "Ngobrol berlama-lama & jauh-jauhan ternyata membuat rindu untuk benar-benar bertemu ya Da?" Kami memang terpisahkan oleh dimensi jarak dan waktu saat obrolan hangat terjadi semalam. Aku tengah berjuang menaklukkan kantuk dan dinginnya Gombak di pukul 1 dini hari, waktu Malaysia. Sementara, di ujung percakapan, Depok - domisili Uda tersebut, jam masih menunjukkan pukul 12 tengah malam, waktu Indonesia bagian barat.
Walaupun saya pergi jauh...
Jawabannya memang terkesan spontan, meski sedikit menyindir, juga :D. Namun dari sanalah ingatanku kemudian melayang pada satu pepatah lama, "Kecintaan pada bangsa dan negara justru akan tumbuh ketika kita tinggal di luar negeri." Bunda Tatty Elmir dalam tulisannya juga sempat mengatakan, "... Watak sentimental perantau adalah “Rindu Kampung Halaman”. Lalu berbekal rasa rindu inilah akan lahir rasa cinta yang lebih dalam, dan penghargaan yang tinggi terhadap ranah kelahiran, akar kehidupan, yaitu tanah air pusaka." Aku memang belum cukup lama tinggal di luar negeri untuk mengatakan bahwa pepatah tersebut seratus persen benar. Namun, sebulan berada di tanah orang, aku merasa lebih sensitif terhadap hal-hal yang berbau Indonesia. Bahkan, detail-detail kecil keIndonesiaan yang mungkin tidak terlalu diperhatikan orangpun berhasil menyalakan radar nasionalisme dalam benakku.

Untuk sekadar memberikan pandangan, ada beberapa kejadian yang berhasil mengaduk-aduk perasaanku dalam sebulan ini. Kejadian pertama adalah kejadian di Masjid Sultan Haji Ahmad Shah IIUM pada hari Senin, seminggu yang lalu. Aku baru saja selesai menunaikan sholat Ashar ketika seorang anak berumur sekitar 5 tahunan berlari dari kejauhan. Ia kemudian duduk sekitar satu meter di hadapanku, di bawah tiang utama masjid. Pakaiannya biru muda, dengan celana kain berwarna putih. Namun, bukan pakaiannya yang menarik pandanganku, beberapa lembar kertas yang dibawanyalah yang membuatku terkesiap! Bocah kecil bermata bening itu membawa uang kertas Rupiah, yah RUPIAH! Yang lebih menarik adalah, permainan yang kemudian ia lakukan dengan uang-uang tersebut,

"Hai anak muda, kamu siapa?" katanya sambil mengangkat pecahan dua ribu rupiah.
"Saya Pattimura, dari Ambon. Saya pimpin pasukan saya, mengusir penjajah!" ungkapnya kemudian, sambil mengangkat pecahan seribu Rupiah.
"Wah, beraninya dirimu!"
"Saya hanya tidak ingin dijajah terus kok! Oh ya, kamu siapa?"
"Perkenalkan, saya Antasari dari Kalimantan Selatan. Saya juga memimpin rakyat saya melawan penjajah Belanda!"

Aku yang tertegun melihat dan mendengarkan permainannya tanpa sadar melelehkan air mata. Air mata bahagia tepatnya. Entah kenapa, namun pengetahuan anak kecil itu akan sejarah bangsanya benar-benar brilian bagiku. Ketika anak-anak seusianya sibuk bermain mobil-mobilan, robot-robotan, dan berbagai boneka, ia malah sibuk dengan Antasari dan Pattimura. Sangat mungkin pula anak-anak seusianya bahkan belum juga tahu siapa itu Pattimura, siapa itu Antasari, namun dia? Ah, betapa nasionalisnya ia (baca: betapa cerdas orang tua yang telah mendidiknya untuk menjadi anak bangsa).

Bahkan, sejak beberapa hari pertama di tanah Malaysia, selubung cintaku pada Indonesia sudah diuji saat prosesi penyambutan mahasiswa baru oleh Rektor IIUM. Sebagai sebuah upacara resmi, maka acara dibuka dengan lagu nasional Malaysia, Negaraku. Gemuruh suara lebih dari seribu mahasiswa baru dengan tangan mendekap dada, kontan meruntuhkan hatuku. Pelan-pelan kulantunkan Indonesia Raya untuk tetap menghormati tuan rumah. Ada hal lain yang menyeruak perasaan. Dari dulu, aku adalah orang yang selalu bersemangat dengan Indonesia Raya. Bahkan setiap kali perayaan upacara HUT RI disiarkan di stasiun TV, aku selalu menanti bagian dimana lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Dan ku akan tercenung di depan TV, ikut melantunkan lagu yang sama. Namun, jujur, sayup lagu yang kudengungkan hari itu terasa berbeda. Ada janji yang seolah dicatat dan disaksikan oleh semua orang yang datang ketika terlantun, "Di sanalah, aku berdiri, jadi Pandu Ibuku..." Ada gemuruh yang berbeda dari biasanya!

Ah, kau terlalu sensitif Bast, sentimentil, cemen!

Yah, boleh saja kau berkata demikian. Namun, aku tidak merasakannya sendirian. Bahkan orang yang sudah puluhan tahun di Malaysiapun ternyata masih merasakannya. Akan kuceritakan padamu sosok bernama Suliyem binti Karto, wanita berumur 45 tahun yang sudah puluhan tahun di Malaysia. Ia adalah satu dari ratusan pekerja Indonesia di IIUM, bertugas membersihkan asrama mahasiswa setiap harinya. Percakapan kami tidak sengaja terjadi semingguan yang lalu, ketika aku tengah mencuci baju. Sementara wanita asal Puger, Jember, Jawa Timur itu tengah membersihkan kamar mandi. "Saya meninggalkan desa pada awal 1990-an. Saya sudah 3 tahun bekerja di pabrik jam di Sidoarjo saat itu. Namun penghasilan tidak juga mencukupi untuk hidup. Apalagi suami saya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Jadi, akhirnya saya beranikan diri menerima ajakan Paklik untuk ke sini. Sangunya waktu itu dipinjami dulu sama Paklik!"


Sekian lama di Malaysia, ia menyebutkan sudah memiliki IC Merah Malaysia - sejenis KTP untuk bisa bekerja dan mendapatkan kemudahan secara ekonomi disini. Dan selama sekian lama itu pula, "Saya sudah merasakan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari pabrik kayu lapis, kebun kelapa sawit, di pasar, hingga jadi tukang bersih-bersih di sini ini. Hanya satu yang belum pernah saya rasakan: jadi pembantu rumah tangga. Bukan apa-apa, namun kok rasanya tidak menghargai diri sendiri dengan bekerja seperti itu. Teman-teman saya memang banyak yang mbabu, tapi saya tidak!", tuturnya dalam bahasa Jawa yang sudah tercampur dengan bahasa Melayu.


"Kalau dulu masih sering pulang. Njenguk orang tua. Bapak Mamak saya kan tinggal sendiri. Suami saya nyusul kesini tahun 1994 (suaminya sudah meninggal pada tahun 2002 karena asma). Mamak saya meninggal tahun 1998, setelah itu Bapak saya menikah lagi. Selepas itu saya sudah jarang pulang ke Puger. Kalau mau kirim uang, saya kirim lewat rekening. Saya terakhir pulang tahun 2009, bulan Puasa. Saudara-saudara bertanya kapan pulang (berhenti bekerja) dari Malaysia. Ada juga yang bertanya apa tidak mau menikah lagi. Namun, saya hanya diam saja."


Lantas bagaimana dengan masalah tanah air? "Kalau ditanya enak dimana, sebenarnya enak di rumah, di Puger. Saudara banyak, bisa ketemu kapan saja. Di sini saudara juga banyak, namun semuanya kerja. Saya sudah semakin berumur, anak saya satu-satunya sudah menikah sama orang Gombong, anaknya sudah dua! Dulu waktu menikahkan mereka saya buat besar-besaran, namanya juga anak satu-satunya. Kalau di desa kan banyak saudara yang datang, membantu. Di sini ya ada yang bantu, tapi lebih banyak yang disewakan orang. Di saat-saat seperti itu muncul perasaan tidak enaknya tinggal di negeri orang."


"Tapi, saya juga ingin nanti kalau sudah tua bisa hidup enak. Seperti bapak saya sekarang, tua tapi tidak susah. Untuk itulah saya harus bekerja keras dulu sekarang!"


"Bikin jantungku berdebar, akupun terpesona. Ada isyarat cinta dari kerling matamu, malu aku jadinya. Baru seminggu saja kukirim surat cintaku. Kini kau telah berada tepat di depanku.", suara wanita itu bergetar, mendendangkan lagu berlirik cinta yang aku sendiri tidak pernah mendengarnya.


"Itu lagu kesukaan saya dulu. Lagunya Hary Mukti! Ingat-ingatan seperti itu yang membuat keinginan saya bisa pulang, suatu hari nanti, bertambah besar. Kalau ditanya tabungan memang sudah lumayan, namun saya masih ingin bekerja. Tapi ya itu, saya ingin pulang!" Lama berpanjang lebar, kutersadar, mata wanita paruh baya berkerudung itu sembab! Aah..


Orang-orang seperti Bu Suliyem barangkali tidak pernah belajar soal nasionalisme, cinta tanah air, namun rasa yang dipegang dan disimpannya nyata-nyata adalah aktualisasi dari semua itu. Rasa cinta yang kemudian memupuk semangatnya untuk bekerja keras, untuk masa tua yang disebutnya bahagia!

Beberapa darimu mungkin memprotes, kenapa representasi Indonesia dikisahkan melalui seorang pekerja kasar? Tukang bersih-bersih? Kok kesannya Indoensia itu bangsa pembantu? Ahh, kau mungkin berusaha untuk menutup mata, bahwa merekalah salah satu kelompok terbesar penduduk Indonesia di luar negeri. Dan bagiku, pernyataan orang-orang seperti mereka terdengar lebih jujur, tidak dibuat-buat, tidak dimanis-maniskan atas alasan pernah belajar ilmu bela negara. Dan benar adanya, rasa cinta mereka bukan sekadar teori, namun sudah berbukti. Dan aku juga yakin, 10 juta penduduk Indonesia di luar negeri lainnya pasti juga merasakan hal yang sama: para peneliti, para dosen, para pelajar, para duta besar, para pekerja rumah tangga, para teknisi, semuanya! Ku begitu yakin pula, cinta mereka pada negara akan mereka wujudkan dengan dedikasi tinggi, menyelesaikan pekerjaannya.


Pada akhirnya, berkarya untuk bangsa memang tidak harus dengan eksistensi secara fisik di tanah air. Mengutip ucapan mas Akhyari Hananto, “Ibarat rumah, negeri kita atapnya ada yang bocor, lantainya ada yang berlubang, banyak rayap dan nyamuk, dan dindingnya perlu dicat ulang. Mari perbaiki bersama-sama. Karena ini adalah rumah kita.” 


Satu kutipan lain dari Negeri van Oranje juga layak untuk kita resapi:
“….Namun, tolong jangan dilupakan bahwa sumbangsih bisa bermacam-macam bentuknya. Ambil contoh deh, India. Begitu banyak nama-nama India yang masyhur lewat prestasinya di luar negaranya. Mereka bekerja mengembangkan ilmu pengetahuan atau membangun bisnis dari luar India. Mengapa? Karena, bila ngotot bertahan di dalam negeri, mereka nggak akan berkembang! Lah, nggak ada fasilitasnya! Maka eksoduslah mereka mencari tantangan dan mengembangkan isi kepala mereka di luar India. Setelah puluhan tahun bermukim dan menimba sukses di luar, apakah kemudian nasionalisme mereka luntur? Tidak! Nah, setelah para perantau itu sukses, ternyata mereka kembali untuk menginvestasikan uang dan teknologi yang dikuasainya di berbagai kota di India. Implikasinya? Transfer teknologi berjalan dengan tingkat yang sangat mengagumkan, industri mereka garap, jutaan kesempatan kerja dibuka, ekspor meningkat, devisa mengalir. Apa itu tidak dihitung sebagai sumbangsih bagi tanah air? Saya kini balik bertanya, apakah pembangunan di India bisa secepat sekarang tanpa sokongan putra-putrinya yang berjuang di luar negeri?”
Semoga kita bisa berkontribusi bersama, membangun rumah kita! :')

catatan random menunggu kelas Akuntansi | Beberapa bagian percakapan dengan Ibu Suliyem sudah saya bahasa Indonesiakan | sumber gambar: @diasporaIndonesia

6 komentar:

  1. Hidup di tanah orang memang sesuatu yang sangat impressive. Bukan karena bisa mendapatkan fasilitas lain yang lebih baik disana, namun karena ada perasaan rindu ada tanah air yang berlipat ganda. Menambah semangat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali, semangat yang kemudian tertransformasikan ke dalam usaha keras untuk menyelesaikan tugas :)

      Hapus
  2. Miris euy, saya juga dari kecamatan puger. Dan memang banyak penduduk yang mencari penghidupan ke Malaysia...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga TKI tidak menjadi tumpuan hidup terakhir mereka sampai tua. Banyak potret mantan TKI sukses karena mau menabung selama bekerja, semoga semakin banyak lagi TKI2 seperti itu. Diri sendiri mentas, bisa bantu orang lain pula..

      Hapus
  3. Subhanallah.. :')
    Terus semangat dan menulis..

    BalasHapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine