Mengapa Takut?

| Agustus 14, 2008 | Sunting
Senthir
Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya

Dahulu, saat mati lampu - oglangan, di desa saya, kata Mamak, selalu menyiutkan nyali. Mitos genderuwo di pohon dhadhap serep pinggir desa selalu memerindingkan bulu kuduk. Ya, kegelapan memang membawa ketakutan dan kekhawatiran. Malam, kala angin mendesau merambati dinding, nyala lampu minyak - senthir, yang menghuni sudut kamar meredup. Api menari-nari laksana akan pupus. Saya menutup mata.Seluruh badan terasa kaku dan panas-dingin. Kegelapan seperti intaian monster ataupun buto ijo yang kerap kudengar dari Simbah waktu kecil.

Nyala senthir seolah telah mendekati ajalnya. Saya menahan napas. Tak ada seorangpun dalam kamar kecuali saya kala gelap mulai merambat cipta teror takut. Saya membayangkan kikik kuntilanak dan muka seram mbah genderuwo seolah mendekati saya. Mulut sibuk rapalkan doa sekenanya dengan mata yang terus coba terpejamkan. Sayang mata seolah tak mau terkatup sama lain. Sebaliknya... kesadaran masih pada puncaknya, rasa kantuk tak ada.

Kala kegelapan pencetus ketakutan terus mendesak, hanya satu hal yang terbayang dalam benak: CAHAYA! Perlahan angin yang masuk melalui sela-sela dinding bambu yang sudah kumal mengusap-usap nyala senthir. Uuuuhh. Dian semakin redup.

"Takut gelap? Jangan khawatir..." Ucap Mamak. "Mengapa takut? Bukankah masih ada dua senthir yang lain? Selagi senthir ini belum padam dan sebarkan cahayanya, ia akan menerangimu. Selagi ada harapan yang menyala tidak usah takut. Ia malah akan membantumu menyalakkan potensi-potensi cahaya lainnya."

Dan kini... Kegelapan yang membuatku bergidik itu kadang masih menyinggahi, namun nyala harapan dalam diri pantang dihabisi karena ia yang akan menyalakan semangat yang mati dan membuat dunia kembali berseri.

Belakangan saya baru mampu menerjemahkan. Ketika ribuan hambatan dan cobaan silih berganti datang,bahkan padamkan semua kebanggaan diri,ternyata sedikit harapan yang tersisa mampu membuat saya kembali berdiri. Dengan nyala harapan dan semangat saya, saya sudah bisa genggam harapan besar saya untuk mengejar asa.

Balasan

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine