Menjaga Api Semangat Menulis

| Agustus 01, 2008 | Sunting
Beberapa blog teman yang dulu saya kenal cukup giat menulis saya temukan tidak lagi diupdate. Ada yang sampai dua tahun malah. Terang saja saya bertanya-tanya, kemana mereka? Apa mereka ganti blog?

Salah seorang teman dengan enteng menjawab, "Sudah malas mau nulis sekarang." Wah, padahal tulisan-tulisannya dulu adalah kesukaan saya. Ia piawai meramu humor dan sinisme dengan kalimat-kalimat yang jujur dan sederhana. 

Seminggu lalu seorang kawan yang lain mengatakan bahwa gairah menulisnya hilang. Ia sulit konsentrasi. Rancangan novelnya sudah lama tak tersentuh. Ia gelisah tentu saja karena pekerjaannya seolah hilang. Belum lagi dengan kepergian kekasih hatinya.

Saya berusaha menghibur sebisanya. Membesarkan hatinya. Sekenanya saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan utama penulis itu kan ya nulis, bukan ngantor atau yang lain. Waktu ngobrol dengan Bagis Takwin, kami mendapati ternyata beberapa di antra kelemahan kita adalah kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri sendiri, sulit membuat skala prioritas. Abibatnya banyak target menulis yang tidak dapat kita capai."
Menulis
Bila blog lama terbengkalai, draft tulisan tak rampung-rampung, bingung, itu tandanya seorang penulis tengah kehilangan motivasi ataupun writer's block. Ia kehilangan nyala api yang bisa memanaskan semangatnya berkarya. Apa yang bisa dilakukan?

Motif setiap orang untuk menulis berbeda-beda. Ada yang karena alasan materi, ingin meluahkan perasaan, mengungkapkan pikiran, kesaksian, hingga sekadar bersenang-senang. Tanpa motivasi seseorang bisa cepat bosan, bahkan kehilangan alasan untuk terus menulis. Terlebih bila hidupnya tengah menghadapi masa-masa sulit semacam kehilangan seseorang atau kekecewaan terhadap diri sendiri yang terlalu dalam.

Dalam kasus blog, boleh jadi si narablog bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awalnya membuat blog adalah untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya.

Dalam suatu wawancara, Jilly Cooper, seorang penulis novel laris asal Inggris, mengatakan, "Saya hanya sedikit melakukan kerja rumah tangga, karena saya mengupah orang lain untuk melakukannya. Itulah salah satu alasan utama saya ingin menulis banyak buku." Dari sana terungkap bahwa motivasinya menulis adalah untuk mendapatkan uang cukup supaya ia tidak perlu melakukan hal yang kurang disukainya, yaitu pekerjaan rumah tangga. Menulis membuatnya superior karena ia bisa memperkerjakan orang. 


Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang. Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."

Tapi sebagian orang menulis tanpa motif uang sama sekali. Anne Frank, Franz Kafka, Emily Dickinson, tidak menulis karena uang. Baru-baru ini Y.F. Nata, seorang suster, menerbitkan kumpulan puisi Cinta Itu Tidak Dosa sehabis mengalami kecelakaan lalu lintas parah, menyisakan tangan kanan sebagai anggota tubuh yang masih terbilang utuh. Dengan itu dia menulis, kadang-kadang bahkan lewat sms di HP. Dia menulis sebagai terapi mental. Orang-orang itu menulis murni untuk melampiaskan perasaan, menenangkan tekanan, menemukan pelepasan. Begitu juga dengan sejumlah blogger. Mereka menulis saja, baik untuk melatih menulis, mengungkapkan perasaan, memberi informasi, termasuk berbagi cerita.

Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.  Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong. Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat.

Satu hal, Horace Walpole mengingatkan bila seseorang menulis semata-mata karena uang. "Begitu orang menulis demi keuntungan, mereka biasanya jadi kurang peka." Uang memang bisa jadi motif yang besar, sebagaimana kata Mike Price. Dia bilang: "Lebih banyak orang punya bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi." Tapi di lain pihak, Maria Yudkin pernah bilang, dia menolak "menzinahi otak" agar bisa menulis. Apa itu "menzinahi otak"? Yakni memforsir sedemikian rupa agar otak (keinginan) sampai rela berbohong agar seseorang bisa menulis.

Bila sudah tahu motif menulis dan tahu cara menjaga api semangat terus menggerakkan tangan, mungkin orang bisa tetap antusias meski tulisannya diabaikan orang, atau bisa puas meski dibaca sendiri. Yang paling utama ialah berusaha sebaik mungkin menulis, bereksperimen, terus meningkatkan pencapaian. Dengan begitu dia kehabisan alasan untuk tidak meng-up date blog maupun berusaha lebih keras mencari cara menyelesaikan draft naskahnya.

[Republika, Minggu, 27 Juli 2008 ]

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine