Saat Kita Hampir 63 Tahun...

| Agustus 15, 2008 | Sunting
Lampu merah perempatan Monjali menyala. Afri-13-mendekati mobil-mobil yang berhenti sambil menenteng gitar kecilnya. Beberapa pengemudi memberinya uang logam Rp 100-an. Yah baru Rp 400 yang terkumpul di kalengnya siang itu. 

Afri menjadi anak jalanan sejak umur 10 tahun, meninggalkan bangku sekolah waktu kelas 4 SD. Dan semenjak itulah bayangan senangnya bersekolah sudah terlewatkan, berganti hitam-putih, suka-duka kehidupan jalanan. Karena itu pula dia jadi semakin jarang pulang ke rumah. Hidup beralaskan jalanan dan berteduhkan pada bentangan langit yang maha luas. 

"Malas ah sekolah, enak mengamen di jalan, bisa cari uang untuk jajan dan bantu ibu," tukas Afri.
Potret anak jalanan
Ironis memang yang tertangkap dari petikan berita tersebut. Apalagi sampai saat ini anak jalanan adalah masalah besar yang belum temukan jalan keluar. Bahkan terkadang orang tua adalah salah satu penyebab seorang bocah menjadi anak jalanan.

Kenapa? Karena tak jarang mereka yang memaksa anak-anak untuk bertarung di jalanan berebut gemerincing uang logam yang menari-nari lewat petikan gitar yang sumbang. Atau bahkan hanya dengan sodorkan kaleng rombeng pinta uang belas kasihan. Namun yang lebih ironis mereka itulah calon-calon penerus tampuk pemerintahan negeri. Negeri kita yang kaya raya ini ternyata masih belum juga mampu cukupi kebutuhan penerus bangsanya.

Sayangnya, seperti kalimat terakhir petikan berita di atas, mereka jangankan bisa sekolah, mengimpikannya saja mungkin sudah enggan. Lalu bagaimana nasib negeri kita ini nanti bila keadaan ini terus saja seperti terjadi?

Hampir 63 tahun umur negeri ini ternyata bukan pula jaminan kemakmuran bagi ayam-ayam yang tinggal di atas lumbung padi yang sudah tua dan berkelimpahan sekalipun masih kecil ayam-ayam itu...

Balasan

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine