Ramadhan: Sebuah Catatan

| September 18, 2009 | Sunting
Suasana salat tarawih di masjid Al Akbar 2009
Ibadah Ramadan telah hampir mencapai purnanya. Kesibukan orang yang berkaitan dengan ibadah puasa kembali terasa. Tempat-tempat ibadah yang semula "sepi" di pertengahan bulan ramai kembali dengan jamaah salat tarawih di malam hari dan jamaah subuh di pagi buta.

Demikian jamaah yang setia mengikuti ceramah para ustadz dan ustadzah beriringan dengan salat tarawih atau setelah salat subuh. Tidak ketinggalan antrean panjang pembelian tiket kereta api dan bus serta pesawat atau kapal untuk mudik. Semuanya dilakukan untuk mencari berkah bulan suci Ramadan yang nilainya lebih hebat dari 30.000 hari (seribu bulan).

Orang pun beramai-ramai ngalap (mencari) berkah bagi kehidupannya sendiri, sesuai pemahaman dan pengalamannya masing-masing, karena memang itulah pengetahuan yang selama ini dikenalnya. Berkah sendiri dipahami secara berbeda, sesuai pengalaman pendidikan, latar belakang sosial, dan cara berpikir seseorang atau suatu masyarakat.

Sebagian mencari berkah dengan puasa tiga puluh hari di siangnya, salat tarawih berjamaah di malamnya, membaca kitab suci Alquran di sela-sela waktu ngantor atau kegiatan dan pekerjaan lain. Sebagian lagi masih ditambah dengan ziarah ke makam ulama dan wali-wali terkemuka, bahkan ada sebagian bermalam berhari-hari di cungkup makam.

Ada juga yang mukim di masjid-masjid tua hingga beberapa malam, ada yang sampai satu bulan penuh. Semuanya dengan tujuan serupa, mencari berkah Ramadan dengan keyakinan akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Tidak sedikit yang percaya dengan ziarah dan bermalam di tempat-tempat keramat orang akan memperoleh limpahan berkah dari arwah yang jasadnya berada di makam keramat tersebut.

Keyakinan mistis ini lebih banyak menghinggapi masyarakat, terutama dari kelas masyarakat bawah, walaupun tidak sedikit dari pejabat atau politisi dan pengusaha yang mengalami ketidakpercayaan diri berlebihan.Lebih produktif keyakinan mistis berkah puasa dikaitkan dengan tindakan nyata, misalnya "berziarah ke makam-makam keramat berbuah berkah berlimpah rezeki yang terus mengalir jika disertai pembersihan makam, rumah, dan lingkungan tempat tinggal."
*** 
Syahdan, pedagang kaki lima di berbagai kota ngalap berkah dengan menjajakan makanan, kadang modalnya ngutang rentenir atau bank plecit. Maksud hati mengeruk untung, apa daya buntung yang didapat. Makanan yang dijajakan itu keburu disita petugas karena melanggar peraturan pemerintah.

Petugas itu menyita makanan di bulan suci didasari keyakinan berkah puasa, selain berkah atasan. Sementara pedagang itu berusaha melayani para musafir (orang yang sedang bepergian) yang memang boleh tidak puasa yang tentunya butuh santap siang atau sore. Amatlah bijak jika petugas menyanggong pedagang sejak pagi sehingga saat hendak menggelar dagangan, petugas ketertiban itu bisa mencegah, tidak perlu harus menyita.

Selain menambah pekerjaan juga rawan terjerat maksiat ketika makanan itu menjadi basi karena mubazir. Namun, tindakan demikian kurang sensasional dan tidak diliput pers. Jadilah apa yang dilakukan petugas itu tidak murni atau tidak ikhlas, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai riya, yaitu tindakan yang dilakukan dengan maksud mencari pujian dari atasan, bukan pujian dari Tuhan.

Sudah menjadi suratan atau nasib wong cilik tidak memahami aturan dan tidak mempunyai kekuatan membela diri. Kerugian pedagang itu pun berlipat. Tapi percayalah, jika niat pedagang itu ikhlas, hendak melayani musafir, kerugian akibat disita petugas itu pasti akan memperoleh ganti lebih hebat. Namun betapa susah dan menderita si pedagang saat menunggu sebelum pengganti rezeki dari Tuhan tiba.

Sering kali pemahaman berkah puasa itu berbeda berkah di bulan lain. Perolehan atau tindakan di luar bulan suci dipahami sebagai akibat bekerja dalam hubungan sebab-akibat. Sementara yang diperoleh dan dilakukan di bulan puasa dipahami sebagai limpahan rezeki, baik dalam bentuk uang dan materi, sehingga di bulan suci seseorang yang menerima uang atau harta benda lain dipandang sebagai berkah walaupun untuk itu dia harus bekerja.

Sementara tindakan yang dilakukan di bulan puasa, tapi dilakukan di bulan yang lain sering kali lain: dipahami sebagai maksiat. Berdasar pemahaman demikian itulah mungkin mengapa pencurian justru bisa terjadi di tempat ibadah saat orang menjalani ibadah puasa. Bedanya, si pencuri percaya dia tidak akan tertangkap karena telah memperoleh berkah puasa.

Seandainya tertangkap pun, dia pahami sebagai berkah. Berbeda pula bagi mereka yang kecurian sandal kulit di sebuah masjid saat berjamaah tarawih, misalnya, seperti terjadi di awal puasa di masjid terkenal di Yogyakarta. Seusai mengikuti kuliah subuh sehabis salat subuh berjamaah, seorang jamaah kelimpungan mencari sandal kulitnya.

Setelah mencari beberapa saat, dia menyadari si pencuri mungkin sedang ngalap berkah atas sandalnya itu, sehingga dia bisa memahami mengapa sandalnya hilang di masjid saat dia beribadah salat subuh dan mengikuti ceramah pagi.
*** 
Peristiwa lebih besar di bulan suci sering kali juga dikaitkan dengan ngalap berkah tersebut. Siapa bisa mengevaluasi ketika suatu berkah bulan suci menjadi hak prerogatif Gusti Pangeran (Tuhan) Yang Mahaadil, ketika Sang Pangeran juga Mahagaib atau Maha Tak Dikenal sedang berkehendak atas sesuatu.

Dalam ajaran Islam, Sang Maha Gaib itu dilukiskan sebagai laisa kamitslihi syai'un yang berarti tidak ada sesuatu pun yang menyerupai. Dalam ungkapan Jawa, ajaran itu dilukiskan sebagai tan keno kinoyo ngopo atau suatu subjek yang tidak bisa dibayangkan seperti apa. Sering kali manusia berusaha menempatkan diri seperti kemahaan Tuhan, misalnya hak prerogatif presiden dalam menentukan ketua DPR dari partai pemenang pemilu yang menempatkan sang presiden sebagai figur utama pendulang suara.

Raja-raja di zaman dulu juga memiliki hak-hak kemahaan demikian. Menjadi persoalan ketika alam demokrasi membutuhkan akuntabilitas dan transparansi setiap tindakan pejabat, apalagi yang dipilih rakyat, tapi siapa yang bisa menilai? Ramadan sebenarnya memiliki ajaran lebih dari sekadar berkah mistis dari fungsi kemahaan yang tak bisa dievaluasi. Berkah tidak mistis itu ialah ajaran kemanusiaan yang akuntabel dan transparan.

Seseorang dinilai puasanya berhasil jika bisa berfungsi bagi kebaikan dan kemuliaan umat manusia, tidak peduli manusia itu saleh atau kafir. Puasa seseorang dinilai berhasil manakala mempertinggi martabat kemanusiaan. Keberhasilan puasa itu terukur sepanjang berlaku dalam kehidupan empiris seperti lingkungan yang semakin bersih dan sehat sebagai akibat tidak membuang sampah sembarangan.

Orang yang bersangkutan (yang puasa) menjadi semakin peduli pada orang lain yang lebih menderita dan bernasib buruk akibat kelaparan dan kurang gizi. Puasa adalah ajaran kemanusiaan yang duniawiyah, sehingga orang yang berpuasa itu menjadi semakin manusiawi dan hidupnya semakin bermanfaat bagi lingkungannya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine