Sensasi Naik Angkot di Tanah Papua

| September 11, 2009 | Sunting
Naik angkot di pedalaman Papua adalah kenikmatan tersendiri. Inilah saat dimana kita bisa menikmati aroma tubuh penduduk lokal yang bercampur dengan aneka hasil bumi dan hewan peliharaan...hihihiii. Angkot juga dapat menguji kesabaran kita karena si sopir baru mau menyalakan mesin kendaraan ketika semua kursi sudah terisi. Untuk angkot yang menggunakan mobil jenis Kijang, jumlah penumpang minimal 12 orang (tidak termasuk sopir dan kernet). Bisa lebih dari itu, apalagi kalai si Ibu juga membawa anaknya. 

Angkot jenis L300 umumnya diisi 21 orang. Sementara barang bawaan diletakkan di atas kendaraan dengan jumlah tak terbatas. Butuh waktu 2 jam untuk mengisi angkot ini penuh penumpang. Setidaknya, 3 kali naek angkot dari terminal dekat pasar Jibama (pasar baru) di Wamena, ketiganya memaksa kita bersabar sekitar 2 jam hingga penumpang memenuhi masing-masing kursi. 

Ongkos angkot di Wamena relatif mahal karena harga bensin dan solar di sana gila-gilaan, Rp 20.000/liter! Mahalnya harga BBM ini juga membuat si sopir sering berulah, memanfaatkan kesempatan. Mereka sering minta tambahan lebih hanya untuk mengantar penumpang ke depan rumahnya yang berjarak tak sampai 200 meter dari terminal pemberhentian. Apalagi jika si penumpang punya barang bawaan banyak. "Tambah 5000 ya, bensin mahal nih...!" 

Sopir-sopir di Wamena umumnya pendatang dari Jawa dan Sulawesi. sementara yang jadi kernet biasanya bocah usia 12-an tahun, anak-anak Papua. Angkot yang kita naiki ini disopiri laki-laki dari Jawa Timur. Bukan angkot milik pribadi, tapi milik sang juragan yang merupakan salah satu pejabat di kabupaten. Hhmm... Pantas lah. Sejak tadi kita amat-amati angkot ini tak berplat nomor, tapi operasi jalan teruss...! 

*) Ini adalah oleh-oleh perjalanan Mbak Tita
Angkot L300 a la Papua
Halo cantik :)
Babi turun dari angkot
Penuh luar dalam
Mama pu anak tidur di angkot
Bercengkrama dalam angkot 
Mari, masuk angkot
Motorpun naik angkot :D

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine