Klaim Malaysia - Putu Setia

| September 11, 2009 | Sunting
Pertama kali tadi saya buka blog, deg, saya kaget. Karena ternyata saya mempunyai pembaca-pembaca setia yang senantiasa menanti postingan di blog saya. Lihat saja misalnya di shout-box. permintaan untuk segera posting ternyata mengalir dari orang-orang yang, jujur, tidak saya kenal. Sehingga saya benar-benar matur suwun kepada para pembaca yang sudi mampir ke kamar saya ini, dan menuliskan sepatah- dua patah kata yang menjadi suntikan semangat tersendiri bagi seorang blogger amatiran seperti saya.
***
Hari ini, geger tari Pendet sudah menyurut. Acara berita di televisi sudah kembali fokus terhadap berbagai berita dalam negeri yang seolah tiada habis. Terakhir, dari yang saya tahu penyelesaian kasus Pendet yang merupakan identitas lokal kita ternyata dengan cara yang sangat Melayu. Pemerintah negara Malaysia mengaku tak tahu menahu tentang urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan oleh pihak swasta. Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itupun sudah meminta maaf karena mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang entah tak juga diketahui identitasnya, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di Bali--bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki lima.
Penari Pendet
Ya, kasus Pendet sudah selesai, mau diapakan lagi? Akan tetapi, yang kemudian harus dicatat adalah, Tari Pendet merupakan klaim yang kesekian kali yang dilakukan oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Sebelumnya, sekedar mengingatkan, ada reog Ponorogo, kain batik, wayang kulit, angklung, keris, beberapa lagu. Bahkan masuk pula nama tempe dan rendang Padang yang mereka akui sebagai makanan asli Malaysia. Urusan non-budaya juga ada, misalnya klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Hebatnya, Malaysia selalu menang. Artinya, mereka berhasil mendapatkan publikasi tanpa menerima hukuman apa pun, sedangkan di Indonesia, orang hanya teriak-teriak di jalanan sambil mengacungkan tangan: ganyang Malaysia.

Ketika sejumlah seniman Bali bersedih atas klaim tari Pendet ini, saya sempat tertawa dalam hati. Sebab, begitu bodohnya Malaysia mengklaim sesuatu. Begitu banyak jenis tari di Bali, baik yang tradisional maupun setengah tradisional, kenapa memilih tari Pendet? Hanya orang idiot yang bisa diyakinkan bahwa tari Pendet milik orang non-Bali. Jika promosi pariwisata itu dilakukan dengan cara-cara orang idiot, memangnya ada yang percaya? Apa turis yang mau disasar Malaysia adalah turis yang bloon? Jadi memprotes kerjaan orang bodoh, ya, sama juga bodoh.

Tari Pendet awalnya tari sakral, persembahan untuk Hyang Widhi, Tuhan dalam sebutan orang Bali. Meskipun diprofankan oleh seniman tari angkatan Nyoman Reneng, tetap saja bau sakralnya ada. Dan terus terang, irama dan busana tari itu tak cocok--atau bahkan bisa disebutkan bertentangan--dengan akidah Islam, agama mayoritas di Malaysia. Karena itu, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah "negara kerajaan" yang berbasis ajaran Islam berani mengklaim kesenian dari khazanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.

Saya menduga, Malaysia telah kehilangan jati diri, setidaknya kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri, terutama dalam hal budaya. Karena tak percaya akan modal bangsanya, negara itu lantas mengklaim berbagai kekayaan budaya negeri jirannya, Indonesia. Nah, kenapa kita justru ribut? Mestinya kita kasihan dan membantu Malaysia dengan menyodorkan lebih banyak lagi budaya kita untuk mereka klaim. Setelah batik, reog, wayang, angklung, Pendet, ya, jika perlu, nanti kita sodorkan jaipong, tayub, bedoyo, dan banyak lagi. Lalu, kita tawari mereka mengklaim Pancasila sebagai dasar negara, kemudian merah putih sebagai bendera bangsanya, dan siapa tahu nanti terus mengklaim Presiden SBY sebagai kepala negaranya.

Nah, setelah itu, kita tinggal mengundang para sultan di Semenanjung Malaysia ke Senayan dan Ketua MPR RI membacakan maklumat: "Dengan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, Semenanjung Malaysia resmi sebagai Daerah Istimewa Khusus Malaysia bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sarawak resmi menjadi Provinsi Kalimantan Utara."

Inilah sejatinya yang diniatkan Mahapatih Gajah Mada ketika mengucapkan Sumpah Palapa. Kini kita mewujudkan sumpah itu tanpa bau mesiu, karena dibukakan jalan damai: mulai dari klaim-mengklaim budaya. Selamat datang, Malaysiaku, Indonesia yang sebenarnya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine