Mencari Tan Malaka

| September 18, 2009 | Sunting
Sosok Tan Malaka, salah satu Bapak Republik ini. Namanya seolah hilang dari sejarah.
Sesuai pemberitaan media massa, pada 12 September 2009 lalu dilakukam penggalian di tempat yang diduga sebagai makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Hasilnya, diperoleh sebuah kerangka jenazah yang sudah sangat rapuh dengan tengkorak, termasuk gigi. Tinggi tubuhnya diperkirakan sekitar 160 sentimeter. Tim forensik dari FKUI telah mengambil sampel untuk dicocokkan dengan DNA dari Zulfikar Tan, keponakan Tan Malaka. Uji DNA ini memerlukan waktu dua sampai tiga minggu. Sembari menunggu hasilnya, ada baiknya dijelaskan mengapa penggalian ini baru dilakukan sekarang? Kenapa harus menunggu 60 tahun setelah kematiannya? Pencarian makan ini sendiri dilakukan atas prakarsa keluarga yang tentu ingin memastikan dimana Tana Malaka dikuburkan, agar tahu kemana mereka harus berziarah. Tan Malaka sendiri sudah diangkat menjadi pahlawan nasional sejak 1963, sehingga sudah selayaknya makam pahlawan ini diketahui secara pasti.

Tertunda sekian lama, 3 dekade tidak diketahui rimbanya, oleh Departemen Sosial jaman Orba ia dianggap sebagai "off the record." Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tapi namanya dihilangkan dalam daftar. Baru setelah era reformasi namanya ditampilkan kembali. Bermunculanlah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa sebelumnya sempat dilarang. Seorang sejarawan Belanda, Harry Poeze, menulis disertasi tentang Tan Malaka pada 1976.

Karya akademis ini diterjemahkan menjadi dua jilid dalam bahasa Indonesia, volume pertama Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 terbit 1988 dan dibredel tahun 1989. Jilid dua, Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 baru bisa beredar 1999. Poeze melanjutkan kisah Tan Malaka sampai akhir hayatnya, tahun 1949. Tahun 2007 terbit karya Harry Poeze Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1949 (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949).

Berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur, maka diperkirakan Tan Malaka ditembak di sebuah desa di kaki Gunung Wilis, Kediri. Ironis juga karena sejarawan Belanda yang serius mengkaji pahlawan nasional kita bukan sejarawan Indonesia. Jika penggalian makam tersebut membuahkan hasil, maka ada tiga pilihan. Pemugaran makam dilakukan di tempat tersebut (Kediri) atau dipindahkan ke kampung halamannya di Suliki, Sumatera Barat.

Pilihan ketiga adalah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Tentu pihak keluarga yang memutuskan hal itu. Selanjutnya kisah perjuangan Tan Malaka tentu perlu diajarkan dalam buku sejarah di sekolah dengan mengoreksi berbagai pemahaman/persepsi yang keliru. 

Pertama, selama Orde Baru, tokoh ini telah dizalimi dengan tidak mencantumkannya dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, statusnya sebagai pahlawan nasional tidak pernah dicabut. Hampir seluruh hidupnya telah diserahkannya untuk memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. 

Kedua, sang pahlawan telah disingkirkan dari dunia pengajaran sejarah nasional karena dia dianggap pemberontak. Ini tidak tepat, karena memang Tan Malaka menjadi tokoh penting dalam lingkaran generasi pertama PKI tahun 1920-an. Tokoh PKI masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Aktivis partai komunis di Padang Panjang dan Silingkang ini tak pernah meninggalkan salat, meskipun mereka dikejar-kejar oleh PID (intel Belanda). Dalam perkembangan selanjutnya Tan Malaka menentang kebijakan PKI yang melalukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda tahun 1926/1927 yang dianggap sebagai blunder. Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok pada 1927. Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka mendirikan partai Murba yang dalam berbagai hal berlawanan dengan PKI. Jelas dia tidak terlibat dalam gerakan komunis tahun 1926 dan 1948. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki beberapa kesamaan dengan Tan Malaka. Ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawab sinis. Bila punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka. 

Ketiga, Tan Malaka adalah seorang tokoh nasional yang juga memiliki reputasi regional Asia, bahkan internasional. Pada 1925 di Canton, China, dia mencetak buku tentang konsepsi negara Indonesia dalam bahasa Belanda berjudul "Naar de Repoeblik Indonesia".

Dia melakukan gerakan di Bangkok, Manila, Amoy, Hong Kong, Syanghai, Rangon, Singapura, dan pernah bekerja sama dengan Sun Yat Sen dan Ho Chi Minh. Tan Malaka sendiri pernah berujar di depan polisi Hong Kong yang menangkapnya pada 1927, "Di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras." Tan Malaka tidak sependapat dengan Komintern di Moskow yang menyepelekan bahkan memusuhi Panislamisme yang berkembang di Timur Tengah yang justru termasuk gerakan perlawanan antipenjajah.

Keempat, Tan Malaka bukan saja dikagumi generasi muda dan aktivis pergerakan kemerdekaan, tetapi juga oleh pemimpin nasional. Soekarno sangat menyanjung Tan Malaka, sehingga dalam suasana kritis pascaproklamasi, Tan Malaka adalah salah satu yang ditunjuk sebagai pemimpin bangsa bila Soekarno-Hatta ditangkap Belanda.

Kelima, Tan Malaka adalah pemimpin yang ide-ide dan perjuangannya masih relevan dengan kondisi nasional sekarang. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Awal 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dll, termasuk Masyumi dan PNI.

Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut ("Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen"). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota subkomite, Jenderal Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pemikiran untuk "Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan 100 persen" masih relevan sampai hari ini.Apakah dalam perundingan dengan pihak asing- seperti para peminjam utang- kita telah mendesakkan prinsip pengakuan kemerdekaan 100 persen ini? Apakah dalam membahas kontrak pengolahan kekayaan alam nasional, kita tidak didikte seperti semasa Orde Baru? 

Keenam, Tan Malaka adalah tokoh kaliber Asia, pejuang nasional yang sekaligus pemimpin lokal atau pemangku adat. Nama aslinya Ibrahim, dia diangkat menjadi datuk dari suku Koto, dengan gelar Tan Malaka. Perjuangannya sendiri bersumber dari nilai-nilai falsafah adat Minangkabau. Dia pejuang global dengan tidak melupakan nilai lokal

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine