Rachel Corrie, Ia yang Terlindas

| Juni 13, 2010 | Sunting
International media and our government are not going to tell us that we are effective, important, justified in our work, courageous, intelligent, valuable. We have to do that for each other, and one way we can do that is by continuing our work, visibly. - Rachel Corrie
16 Maret 2003. Pada hari itu, Rachel Corrie, seorang wanita Amerika Serikat berusia 23 tahun menjadi tumbal perjuangan hak asasi manusia untuk memperoleh perumahan yang layak. Ketika itu, ia berjuang seorang diri, berhadapan dengan kekuatan raksasa yang menakutkan dunia. Pada hari nahas itu, Rachel terlentang tidur di antara rumah warga Palestina dan deretan buldozer milik Israel, di kawasan Rafah, Jalur Gaza. Wanita ini menentang upaya penggusuran ilegal yang dilakukan Israel kepada rumah-rumah warga Palestina.
Rachel Corrie
Tetapi Israel tak bergeming. Buldozer-buldozer itu pun melindas tubuh Rachel, lalu menggaruk rumah-rumah warga Palestina yang menjadi sasaran utamanya. Rachel meregang nyawa. Tubuhnya remuk, tentu saja. 

Kekejaman ini, sebagaimana kekejaman-kekejaman Israel sebelumnya, seolah terkubur bersama tubuh Rachel. Namanya seolah hilang dari sejarah, meski video yang menggambarkannya tengah meregang nyawa bertebaran di YouTube.

Namun tidak semuanya lupa. The Centre On Housing Rights and Eviction (COHRE) memberikan penghargaan Pembela Hak-hak Perumahan 2003 kepadanya. Rachel dinilai sebagai ikon penentang ketidakadilan Penghargaan itu juga penghormatan atas dedikasi dan keberanian Rachel yang telah menempuh risiko maksimal untuk sebuah perjuangan HAM.

Tujuh tahun kemudian, 31 Mei 2010, iring-iringan enam kapal yang hendak mengirimkan bantuan ke Jalur Gaza dihentikan tentara Israel. Kali ini belasan nyawa meregang. Misi kemanusiaan itu pun terhenti. Dunia kembali berteriak, meski sejak awal sudah hampir dipastikan Israel akan teguh dengan posisinya.

Tapi, apakah insiden ini membuat asa itu padam? Tidak. Tanpa banyak diketahui publik, sebenarnya ada tujuh kapal yang sedianya ikut dalam rombongan ke Gaza. Namun, kapal ketujuh tertinggal jauh dari rombongan karena kerusakan mesin. Dan kapal itu bernama MV Rachel Corrie, milik pemerintah Irlandia.

Di atas kapal ini, terdapat 15 orang aktivis. Di antaranya adalah Pemenang Nobel Mairead Corrigan-Maguire dan mantan diplomat PBB, Denis Halliday. Meski enam kapal rekannya tak kuat menembus blokade, mereka tetap bertekad melanjutkan perjalanan.

Pemerintah Irlandia sendiri secara resmi meminta Pemerintah Israel agar mengizinkan kapal itu merampungkan perjalanan dan menurunkan pasokan bantuan kemanusiaan di Gaza. Namun, permintaan itu ditiolak.

Tapi, bukan itu yang menarik dari kehadiran MV Rachel Corrie, sebuah kapal dagang yang dibeli para aktivis pro-Palestina. Rachel seorang warga AS, namun adalah aktivis Irlandia yang kemudian dengan bangga memberi nama kapal mereka dengan sosok wanita pemberani itu. Mestinya ini tamparan memalukan bagi AS, yang seolah sudah membuang jauh nama Rachel - warganya sendiri.

Pada dasarnya, AS memang tak pernah menginginkan Palestina menjadi sebuah negara yang berdaulat. Kalaupun AS terlihat ingin membentuk kawasan Timur Tengah yang lebih tenang, itu tak lebih untuk membangun citranya sebagai adikuasa. 

Setelah kemenangannya pada Pemilu AS 4 November 2008 semisal, Obama mengatakan: Fajar baru kepemimpinan Amerika sedang menyingsing. Kepada kalian yang meruntuhkan dunia, kami akan mengalahkan kalian. Kepada kalian yang mencari perdamaian dan keamanan, kami mendukung kalian.

Namun, apa kita lihat saat ini, jelas tak semanis itu. Apa yang dilalukan Israel di perairan internasional terhadap para relawan kemanusiaan dari berbagai negara pada dini hari itu jelas-jelas sudah meruntuhkan tatanan hukum yang dianut dunia internasional. Tapi, yang kita lihat kemudian, Obama tak mampu berkata-kata. Dia hanya buru-buru menelepon Perdana Menteri Turki untuk menyatakan simpati. Sedangkan untuk Israel, tak ada sama sekali kritik atau nada kecewa atas perilaku keji yang diperlihatkan negara itu. 

Pada kesempatan lain, Obama juga berpidato untuk pertama kalinya sebagai Presiden, pada 20 Januari 2009. Dengan nada pelan dia berucap: Bagi dunia Muslim, kami akan mencari cara baru ke depan berdasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati. Bagi para pemimpin dunia yang berusaha menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang Anda musnahkan.

Semua hal-hal negatif yang dia sebutkan, berusaha menanam bibit konflik dan membungkam pihak yang tidak setuju, bukankah identik dengan perilaku yang ditunjukkan Israel? Lantas, kenapa Obama tak memberikan sedikitpun pernyataan bahwa negara yang dilindunginya itu keliru?

*disarikan dari tulisan mas Rinaldo

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine